Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) akhirnya disahkan sebagai rancangan undang-undang usul inisiatif DPR. Beberapa catatan perlu dikemukakan agar RUU tersebut nantinya menjadi undang-undang (UU) yang mampu menjawab tantangan nyata di masyarakat dan dapat diaplikasikan.

Pengarusutamaan hak korban menjadi tantangan yang mendasar karena hal tersebut merupakan ”roh” proses peradilan yang lebih memperhatikan korban. Hal ini perlu diwujudkan pada setiap tahap proses peradilan.

 

Non-kriminalisasi korban

Pengarusutamaan dapat terwujud jika petugas memiliki pengetahuan dan kompetensi tentang perspektif korban, termasuk hak-hak korban dalam regulasi. Salah satu hak korban TPKS adalah hak untuk tidak dituntut secara hukum, baik perdata maupun pidana, atas kesaksian dan/atau laporan yang telah korban berikan, kecuali jika kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan itikad baik.

Jika terdapat tuntutan hukum terhadap korban atas kesaksian dan/atau laporan yang telah diberikannya, tuntutan hukum itu wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau berikan kesaksiannya telah diputus pengadilan dan berkekuatan hukum tetap (BHT).

Ini diatur di Pasal 10 UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban untuk menjamin kelancaran proses hukum atas tindak pidana yang menjadikannya sebagai korban.

Berdasarkan pengalaman LPSK, tuntutan hukum terhadap korban merupakan salah satu bentuk serangan balik kepada korban yang bertujuan melemahkan posisi korban dalam meraih keadilan.

Kasus Baiq Nuril adalah contoh serangan balik berupa tuntutan hukum terhadap korban yang dipersalahkan melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Jika terdapat relasi kuasa antara korban dan pelaku, serangan balik dapat berupa mutasi korban ke tempat kerja lain, ancaman tidak lulus sekolah/kuliah, ancaman dilaporkan balik dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik, dan lain-lain. Kasus Baiq Nuril adalah contoh serangan balik berupa tuntutan hukum terhadap korban yang dipersalahkan melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Sepanjang 2021, LPSK memberikan perlindungan kepada lebih dari 500 korban TPKS dan banyak di antara korban mendapatkan serangan balik dari pelaku. Untuk melindungi korban itu, LPSK memberikan perlindungan hukum. RUU TPKS perlu mempertegas hak korban untuk tidak dikriminalisasi.

Ini dapat dilakukan, antara lain, dengan mencantumkan perumusan non-kriminalisasi terhadap korban sebagai asas pengaturan (Pasal 2 draf RUU). Prinsip non-kriminalisasi terhadap korban telah diterapkan pada kasus perdagangan manusia (human trafficking) sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UU No 21/2007 dan ASEAN Convention against Trafficking in Persons, especially women and children (2015).

Baca juga: Pembahasan RUU TPKS Mesti Berperspektif Korban

 

Kerahasiaan identitas korban

Korban mempunyai hak untuk dirahasiakan identitasnya. Ini diatur, antara lain, dalam Pasal 5 UU No 31/2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan Pasal 17 UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 7 Ayat (2) UU No 40/1999 tentang Pers jo Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik juga menentukan wartawan tak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

Hak korban untuk dirahasiakan identitasnya sungguh penting guna menghindari reviktimisasi terhadap korban, ketidaknyamanan, dan ancaman terhadap privasi korban, sebagaimana diatur dalam Basic Principle of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power (1985). Jika korbannya anak, pengungkapan identitas korban akan mengganggu keberlanjutan pendidikan anak, bahkan putus sekolah karena merasa malu.

Anak korban TPKS yang identitasnya terungkap merasa malu untuk meneruskan sekolah di tempat yang sama dan ingin pindah ke sekolah lain. Juga malu bergaul dengan teman-temannya. Di antara 500 orang lebih korban TPKS yang dilindungi LPSK sepanjang 2021, ada setidaknya 75 anak yang menerima program perlindungan rehabilitasi psikososial LPSK, di antaranya berupa fasilitasi keberlanjutan pendidikan.

RUU TPKS perlu mempertegas eksistensi prinsip kerahasiaan identitas korban. Ini bisa dilakukan dengan memasukkan prinsip ini sebagai bagian integral dari asas kepentingan terbaik korban dalam penjelasan Pasal 2 draf RUU atau memasukkannya secara eksplisit ke dalam norma Pasal 17 draf RUU. Prinsip kerahasiaan identitas korban perlu dipertegas kembali karena masih banyak pelanggaran atas prinsip ini.

https://assetd.kompas.id/wk2ps0iVyZlIB1wkbbKy3kIKBYA=/1024x712/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F01%2F18%2Fee7d4ba3-caef-48c8-8440-7eca40acbd2e_png.jpg

Rapat Paripurna DPR menyetujui RUU TPKS sebagai RUU inisiatif DPR, Selasa (18/1/2022).

Restitusi untuk korban

Restitusi atau ganti kerugian untuk korban TPKS diatur dalam Pasal 23-25 draf RUU. Diatur bahwa restitusi dapat dimohonkan sebelum atau sesudah pelaku dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (BHT). Restitusi yang dimohonkan sesudah pelaku dinyatakan bersalah berdasarkan putusan yang BHT perlu diatur lebih rinci, antara lain, tentang bagaimana teknis pelaksanaan pemeriksaan permohonan restitusi itu.

Pengaturan lebih rinci ini diperlukan segera dan perlu ada dalam draf RUU TPKS, mengingat peraturan Mahkamah Agung (perma) yang dimandatkan oleh Pasal 31 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2018 hingga sekarang belum selesai dibuat. Perma tersebut akan mengatur tentang teknis pelaksanaan pemeriksaan permohonan restitusi yang diajukan sesudah terdakwa dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang BHT. Tak adanya pengaturan yang lebih rinci di draf RUU TPKS bisa berpotensi mengurangi pemenuhan hak korban atas restitusi.

Berdasarkan pengalaman LPSK, keberhasilan permohonan restitusi pascaterdakwa dinyatakan bersalah oleh putusan yang BHT, perlu terus diperjuangkan. Sepanjang 2021, LPSK telah memfasilitasi permohonan restitusi untuk ratusan korban tindak pidana.

Draf RUU TPKS mengatur pengadilan memerintahkan penuntut umum untuk menyita harta kekayaan terpidana dan melelangnya untuk pembayaran restitusi (Pasal 23 Ayat 10). Konsep ini mencontoh Pasal 50 Ayat (3) UU No 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Berdasarkan pengalaman LPSK melindungi korban TPPO, Pasal 50 Ayat (3) UU No 21/2007 belum pernah dapat diimplementasikan.

Berdasarkan pengalaman LPSK, adanya upaya hukum terhadap putusan pengadilan memang mengurangi restitusi yang diperoleh korban.

Agar penyitaan dan pelelangan harta kekayaan terpidana untuk pembayaran restitusi korban TPKS dapat diimplementasikan, sebaiknya Pasal 23 draf RUU TPKS mengamanatkan dibuatnya peraturan pelaksanaan, misalnya PP, peraturan LPSK, atau perma. Sebaiknya pula dicantumkan batas waktu penyusunannya agar bisa semakin mempercepat pemenuhan hak korban.

Hal lain yang perlu dipertegas adalah nasib restitusi dihubungkan dengan upaya hukum, baik itu banding, kasasi, maupun peninjauan kembali (PK). Dalam sistem peradilan pidana (SPP) adalah hal yang lazim jika ada upaya hukum, baik diajukan oleh terdakwa/terpidana maupun oleh jaksa penuntut umum.

Apabila terdapat banding terhadap putusan pengadilan negeri yang memidana terdakwa dengan hukuman penjara dan membayar restitusi kepada korban, apakah serta-merta restitusi tersebut ikut menjadi terbanding? Bagaimana mekanisme pemeriksaannya jika restitusi ikut menjadi terbanding? Berdasarkan pengalaman LPSK, adanya upaya hukum terhadap putusan pengadilan memang mengurangi restitusi yang diperoleh korban.

Baca juga: Tiga Catatan Kritis ICJR terhadap RUU TPKS

Draf RUU TPKS perlu mengatur tentang kriteria dan mekanisme penentuan dalam hal pelaku/terpidana tak mampu membayar restitusi. Misalnya, ditentukan bahwa kriterianya berdasarkan keputusan pejabat daerah setempat dan mekanismenya adalah berdasarkan permohonan jaksa atau LPSK. Atau mengamanatkan pembentukan peraturan pelaksanaan tentang hal ini.

Masih ada waktu untuk menyempurnakan draf RUU TPKS demi menjawab tantangan nyata yang ada. Sekaligus mengusahakan bahwa UU tersebut nantinya dapat diterapkan.

Antonius PS Wibowo, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

 
 
Editor:
SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN