Penyelenggara pemilu jadi sorotan setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan pemungutan suara ulang atau PSU Pemilihan Kepala Daerah 2024 di 24 daerah. Pasalnya, sejumlah kesalahan yang berujung PSU terletak pada perbedaan persepsi di antara Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu. Jadi pelajaran berharga saat penyelenggaraan PSU mendatang serta masukan penting bagi pembuat undang-undang saat merevisi Undang-Undang Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah.
Pada 25 Februari lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan PSU Pilkada di 24 daerah. Sebanyak 14 daerah diminta menggelar PSU untuk seluruh wilayah, sedangkan 10 daerah lainnya PSU digelar di sebagian TPS.
Daerah yang melaksanakan PSU di seluruh wilayah adalah Provinsi Papua, Boven Digoel, Mahakam Ulu, Pesawaran, Kota Palopo, dan Bengkulu Selatan. Kemudian, Kota Banjarbaru, Pasaman, Tasikmalaya, Empat Lawang, Serang, Kutai Kartanegara, Gorontalo Utara, dan Parigi Moutong.
Adapun daerah yang melaksanakan PSU di sebagain TPS adalah Barito Utara, Magetan, Bangka Barat, dan Siak. Selanjutnya adalah Buru, Kota Sabang, Kepulauan Talaud, Banggai, Bungo, serta Pulau Taliabu.
Jika ditilik lebih dalam, pemicu keluarnya putusan MK soal PSU tersebut sebenarnya terjadi karena perbedaan persepsi soal kapan PSU harus digelar saat pilkada. Ada sejumlah rekomendasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang kemudian tidak ditindaklanjuti oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena perbedaan pengertian itu.
Rekomendasi Bawaslu terkait PSU yang tak ditindaklanjuti KPU itu seperti muncul di Barito Utara, Kalimantan Tengah. Seorang pemilih ketahuan menggunakan hak pilihnya lebih dari satu kali. Bawaslu telah memberikan rekomendasi PSU di TPS 1 Melayu, Taweh Tengah, dan TPS 4 Melawaren Taweh Baru. Namun, rekomendasi Bawaslu itu tidak dilaksanakan oleh KPU setempat.
Kasus lain, di Magetan, Jawa Timur, seorang pemilih di TPS 01 Nguri atas nama Surya Ardianto menandatangani daftar hadir dengan nama Suryaningsih. Padahal, Suryaningsih tengah berada di luar negeri. Begitu pula pemilih bernama Tri Andiriyanto tidak mencoblos di TPS 01 Desa Kinandang karena sedang di luar kota, tetapi pada daftar hadir pemilih tertera tanda tangannya yang jauh berbeda dengan tandatangan Tri.
Bawaslu Magetan kemudian melayangkan rekomendasi pelanggaran administrasi ke KPU setempat, tetapi hal itu tidak digubris oleh KPU. Kasus di Magetan serta Barito Utara itu pun menjadi salah satu penyebab MK memutuskan PSU di kedua wilayah tersebut.
KOMPAS/YOLA SASTRA
Warga memasukkan surat suara yang sudah dicoblos ke dalam kotak suara dalam pilkada serentak 2024 di TPS 3 Kelurahan Ujung Gurun, Kecamatan Padang Barat, Sumatera Barat, 27 November 2024.
Melihat sejumlah peristiwa itu, mantan Ketua Bawaslu Abhan menyatakan terdapat perbedaan cara pandang KPU dan Bawaslu dalam memaknai regulasi pilkada. ”Ini yang menyebabkan pemberian rekomendasi di (jajaran) bawah menjadi tidak sinkron,” katanya, Sabtu (8/3/2025).
Mengacu pada Peraturan KPU Nomor 17/2024 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara, PSU dilakukan apabila terdapat lebih dari seorang pemilih menggunakan hak pilih lebih dari satu kali, pada TPS yang sama atau TPS yang berbeda; dan/atau lebih dari seorang pemilih yang tidak terdaftar sebagai pemilih, mendapat kesempatan memberikan suara pada TPS.
”Ini kontradiktif dengan cara pandang Bawaslu yang menilai bahwa terdapat satu suara saja sudah lebih dari cukup untuk pemungutan suara ulang, berdasarkan Surat Edaran Bawaslu Nomor 117 Tahun 2024, tanggal 22 November 2024,” kata Abhan.
Namun, itu hanya satu persoalan. Ada pula kasus ketika KPU melaksanakan rekomendasi Bawaslu, tetapi rekomendasi itu keliru, sehingga MK memutuskan untuk digelarnya PSU di wilayah tersebut.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Warga melintas di depan baliho bakal calon wali kota Bekasi dan calon gubernur Jawa Barat yang akan maju dalam Pilkada di Bekasi Barat, Kota Bekasi, Jawa Barat, 19 Agustus 2024.
Kasus ini terjadi di Kabupaten Gorontalo Utara, KPU setempat telah mengklarifikasi status hukum calon wakil bupati, Ridwan Yasin, pada 14 September 2024. Dalam klarifikasi tersebut, Ridwan Yasin mengakui bahwa dirinya masih berstatus sebagai terpidana. Karena itu, KPU lalu menyatakan bahwa Ridwan tidak memenuhi syarat pencalonan.
Namun, Ridwan tidak terima dengan putusan KPU. Ia bersama pasangannya, calon bupati Gorontalo Utara, Muksin Badar, mengajukan sengketa ke Bawaslu Kabupaten Gorontalo Utara. Hasilnya, Bawaslu mengeluarkan putusan yang memerintahkan KPU tetap menetapkan pasangan tersebut sebagai peserta pilkada. KPU pun mengikuti putusan itu.
Belakangan, ketika hasil Pilkada Gorontalo Utara digugat ke MK, lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa pemilihan itu justru memutuskan Ridwan Yasin didiskualifikasi dari Pilkada Gorontalo Utara karena belum memenuhi syarat pencalonan akibat statusnya sebagai terpidana. MK juga memerintahkan KPU menggelar PSU.
Putusan itu dikeluarkan meskipun pasangan Muksin Badar-Ridwan Yasin memperoleh suara paling sedikit di antara dua kandidat lainnya, yaitu sebanyak 5.104 suara. Menurut MK, putusan diskualifikasi Ridwan Yasin merupakan perwujudan hak konstitusional pemilih yang harus tetap dilindungi melalui PSU.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, akhir Februari 2025.
Ketua KPU Mochammad Afifuddin sempat menyinggung kasus itu saat rapat koordinasi dengan jajaran anggota KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, beberapa waktu lalu. ”Ini tantangan kita untuk meyakinkan dan menjelaskan ke semua pihak bahwa inilah kompleksitas Pilkada kita,” katanya.
Adapun Ketua Bawaslu Rahmat Bagja mengatakan, pihaknya sedang mengklarifikasi kepada Bawaslu Gorontalo Utara mengenai rekomendasi yang dikeluarkan.
”KPU menjalankan rekomendasi Bawaslu. Jadi, ya. Ada tanggung jawab kami. Kami mengakui (Bawaslu) Gorontalo Utara yang bermasalah, menurut kami. Jadi kami sedang mengevaluasi teman-teman di Gorontalo Utara kenapa mereka bisa berpendapat demikian, melakukan putusan demikian,” ujarnya.
Di luar problem-problem tersebut, Ketua Departemen Politik dan Ilmu Pemerintahan Universitas Diponegoro Nur Hidayat Sardini menyoroti efektivitas pengawas tempat pemungutan suara (TPS). Menurut dia, ditemukannya kasus-kasus pelanggaran di TPS yang berujung pada putusan MK untuk PSU menunjukkan pengawas tidak berfungsi optimal. ”Padahal, pengawasan melekat adalah bagian dari tugas Bawaslu karena mereka bertugas sebagai embedded supervisor di TPS,” ujar Nur Hidayat.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Nur Hidayat Sardini (kanan)
Menurut dia, jika pengawas TPS bekerja secara efektif, kejadian PSU dapat dicegah karena pengawas memiliki kewenangan untuk menegur apabila ditemukan proses yang melanggar aturan di TPS.
Pengawasan ini mencakup seluruh tahapan, mulai dari penerimaan logistik sebelum pemungutan suara, pembukaan TPS, proses pemungutan dan penghitungan suara, hingga pemindahan suara ke formulir plano dan distribusi suara ke Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK).
”Pengawas TPS adalah anugerah bagi jajaran pengawas pemilu untuk memberikan kontribusi terhadap integritas proses dan hasil penyelenggaraan pemilu. Mereka harusnya memanfaatkan peran ini dengan baik,” ujarnya.
Ia juga mengkritisi kinerja kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) yang dinilai tidak efektif dalam menyelenggarakan jalannya pemungutan suara sehingga pelanggaran tetap terjadi.
Atas sederet problem yang ada itu, Nur Hidayat mengingatkan jajaran penyelenggara pemilu di seluruh tingkatan untuk menjadikannya sebagai pelajaran. Baik KPU ataupun Bawaslu harus memastikan kesalahan-kesalahan serupa tak terulang saat PSU mendatang. Mereka yang terbukti melakukan kesalahan sehingga berujung pada putusan MK soal PSU, bahkan seharusnya segera diganti sebelum pelaksanaan PSU.
Hal-hal tersebut penting mengingat bukan tidak mungkin hasil PSU kembali digugat ke MK dan diputuskan PSU kembali oleh MK jika kemudian terjadi kesalahan.
Mengacu pada putusan MK, gelaran PSU tidak serentak waktunya di 24 daerah. MK menetapkan tenggat penyelenggaraan PSU dan penghitungan ulang, dari paling lambat 30 hari hingga 180 hari setelah putusan MK dibacakan. Dari jadwal yang telah dibuat KPU, PSU bakal digelar di antara 22 Maret 2025 hingga 9 Agustus 2025.
Tak sebatas untuk gelaran PSU mendatang, problem yang muncul selama gelaran pilkada juga penting untuk jadi catatan perbaikan regulasi penyelenggaraan pilkada ataupun pemilu mendatang. Saat ini, DPR tengah menggodok rencana revisi UU Pilkada dan Pemilu. Begitu pula pemerintah. Jangan sampai problem yang ada dilewatkan sehingga kesalahan terulang di pilkada dan pemilu selanjutnya.