Tanpa perubahan mendasar politik tata ruang, banjir di Jabodetabek akan terus berulang sebagai konsekuensi kebijakan ruang yang tidak berpihak pada keberlanjutan.

Oleh Galang Geraldy

Banjir yang melanda wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi baru-baru ini cerminan dari problem struktural politik tata ruang di Indonesia. Dominasi kepentingan ekonomi dalam kebijakan tata ruang hanya salah satunya.

Secara umum, banjir yang melanda Jabodetabek ini disebabkan oleh hujan deras yang berlangsung sejak Senin (3/3/2025). Curah hujan tinggi menyebabkan banjir setinggi hingga 3 meter, menggenangi lebih dari 1.000 rumah dan kendaraan, serta memblokade beberapa jalan.

Peningkatan intensitas dan frekuensi curah hujan ekstrem, yang sering kali melebihi 100 milimeter per hari, berkontribusi signifikan terhadap terjadinya banjir.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mencatat fenomena cuaca ekstrem ini bisa dipicu oleh perubahan iklim dan fenomena atmosfer, seperti Madden-Julian Oscillation (MJO), yang menyebabkan intensitas sangat deras mengguyur wilayah Bogor sejak 2 Maret 2025 dengan curah hujan mencapai lebih dari 110 mm per hari.

Intensitas hujan tinggi di wilayah hulu, seperti Kota Bogor dan Kabupaten Bogor, menyebabkan aliran air meningkat ke wilayah hilir, termasuk Jakarta dan Bekasi (Kompas.com, 5/3/2025).

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) mencatat 3.384 jiwa mengungsi akibat banjir di sekitar 114 rukun tetangga dan dua ruas jalan di Jakarta (Detik.com, 5/3/2025).

Di Bekasi, banjir mencapai ketinggian hingga 3,1 meter di beberapa lokasi, merendam rumah dan fasilitas umum, seperti Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi, yang menyebabkan pemadaman listrik dan evakuasi pasien ke gedung lain. Stasiun kereta api di Bekasi lumpuh akibat banjir, mengganggu jadwal perjalanan dan mobilitas warga. Beberapa mal turut terdampak banjir, menyebabkan kerugian ekonomi dan penutupan sementara (Reuters.com, 5/3/2025).

Sebagai perbandingan, situasi saat ini, terutama di Bekasi, dilaporkan sebagai yang terburuk sejak 2020 ketika banjir menewaskan 60 orang akibat curah hujan tertinggi dalam sejarah sejak pencatatan dimulai pada 1866. Selain faktor cuaca, banjir di Jabodetabek juga terkait dengan kondisi infrastruktur, seperti sistem drainase yang tidak memadai, serta faktor lingkungan, termasuk alih fungsi lahan dan penurunan muka tanah. 

Ketimpangan tata ruang

Banjir besar yang melanda Jabodetabek pada Maret 2025 tak hanya merupakan fenomena alam akibat curah hujan tinggi, tetapi juga manifestasi dari ketidakseimbangan dalam tata kelola ruang perkotaan. Hal ini berkaitan dengan permasalahan struktural, terutama koordinasi antarwilayah, politik tata ruang, dan hilangnya wilayah serapan air.

Ego sektoral antarpemerintah daerah dalam kebijakan pembangunan dan tata ruang menyebabkan sulit menciptakan kebijakan pengendalian banjir yang terintegrasi. Misalnya, pembangunan di kawasan Bogor tidak selalu mempertimbangkan dampaknya bagi Jakarta.

Tak adanya regulasi yang terpadu—meski ada lembaga seperti Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung dan Komite Pengelolaan Terpadu Jabodetabekpunjur—menyebabkan implementasi kebijakan sering terhambat oleh tumpang tindih kewenangan antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.

Kurangnya pengelolaan air lintas wilayah juga mengakibatkan ketika hujan lebat terjadi di kawasan Puncak dan Bogor, air mengalir deras ke Jakarta tanpa ada sistem pengendalian yang memadai. Jika sistem polder dan kanal di Jakarta tidak cukup baik, banjir menjadi tak terhindarkan.

Dalam perspektif politik tata ruang, peristiwa banjir selalu memperlihatkan bagaimana kebijakan perencanaan dan pengelolaan ruang di wilayah metropolitan Jakarta masih diwarnai kepentingan ekonomi, politik, dan korporasi yang sering kali mengabaikan aspek keberlanjutan lingkungan. Banyak proyek properti besar dibangun di lahan yang seharusnya jadi daerah resapan air, seperti di Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan Bekasi.

Akibatnya, air hujan tidak bisa terserap dengan baik sehingga menyebabkan genangan dan banjir. Pembangunan itu berdampak pada perubahan fungsi lahan, seperti konversi ruang terbuka hijau dan lahan sawah menjadi area permukiman atau komersial, sehingga mengurangi kapasitas resapan air. 

Ketimpangan distribusi ruang dan penggunaan lahan

Pembangunan kawasan komersial dan permukiman elite yang masif sering kali tidak mempertimbangkan kapasitas ekologis wilayah, seperti keberadaan daerah resapan air. Perubahan fungsi lahan dari kawasan hijau dan rawa menjadi area permukiman atau industri menyebabkan berkurangnya daya serap tanah dan meningkatkan risiko banjir.

Proyek-proyek seperti reklamasi di kawasan pesisir Jakarta dan pembangunan di area ruang hijau, sempadan sungai, dan DAS kian memperparah situasi. Dinamika politik tata ruang yang lebih mengutamakan investasi dan kepentingan pemilik modal daripada daya dukung lingkungan adalah contoh nyata hegemoni politik dalam produksi ruang, sebagaimana diungkapkan Henri Lefebvre (The Production of Space, 1974).

Banjir yang terjadi juga memperlihatkan bagaimana politik ruang di Jabodetabek cenderung berpihak ke kelas menengah atas dan investor besar, sementara masyarakat miskin kota kian termarjinalisasi. Ini terlihat dari ketimpangan dalam mitigasi risiko banjir. Kawasan elite dan pusat bisnis sering kali dapat prioritas dalam pembangunan infrastruktur drainase, tanggul, dan pompa air.

Sebaliknya, kawasan padat penduduk di pinggiran sungai dan daerah rendah—yang dihuni kelompok berpenghasilan rendah—sering menjadi korban utama banjir tanpa solusi jangka panjang yang efektif. Perumusan kebijakan tata ruang lebih sering mengikuti logika kapitalisasi ruang ala David Harvey (Social Justice and the City, 2009), di mana ruang diproduksi dan dikendalikan oleh kekuatan modal, sementara kelas bawah dipaksa bertahan dalam kondisi yang makin rentan terhadap bencana.

Persoalan klisenya, meski sudah ada peraturan tata ruang yang mengatur wilayah lindung dan resapan air, banyak proyek yang tetap berjalan karena adanya kepentingan ekonomi dan politik, termasuk perizinan yang dipermudah.

Selain itu, juga hilangnya daerah resapan air, misalnya Puncak dan Bogor adalah daerah tangkapan air utama yang berfungsi menyerap air hujan sebelum mengalir ke Jakarta dan Bekasi. Pembangunan vila, hotel, dan permukiman di kawasan ini menyebabkan deforestasi besar-besaran sehingga air langsung mengalir ke hilir tanpa terserap. Hilangnya kawasan Puncak sebagai daerah tangkapan air (catchment area) menjadi persoalan serius dalam upaya pencegahan banjir di wilayah hilir.

Penggunaan aspal dan beton dalam pembangunan kota membuat air hujan sulit meresap ke tanah. Akibatnya, volume air yang mengalir ke sungai meningkat drastis, menyebabkan banjir di Jakarta dan Bekasi. Ruang terbuka hijau yang bisa berfungsi sebagai area resapan air juga minim di Jakarta dan sekitarnya. Selain itu, banyak situ dan waduk berkurang kapasitasnya akibat sedimentasi dan pembangunan di sekitarnya. 

Reformasi struktural

Banjir awal Maret 2025 cerminan dari problem struktural politik tata ruang di Indonesia. Dominasi kepentingan ekonomi atas kebijakan tata ruang, marjinalisasi masyarakat rentan, lemahnya koordinasi antardaerah, dan politisasi isu bencana memperlihatkan bagaimana tata kelola ruang di kawasan metropolitan Jakarta masih jauh dari prinsip keberlanjutan dan keadilan sosial.

Mengatasi banjir harus fokus pada perencanaan jangka panjang, pengelolaan wilayah yang berbasis ekologi, dan penerapan kebijakan yang konsisten. Penting dilakukan revisi kebijakan tata ruang agar pembangunan mempertimbangkan aspek mitigasi bencana dan daya dukung lingkungan.

Caranya, terutama, dengan menetapkan kawasan hulu sebagai zona konservasi permanen dan membatasi pembangunan vila serta permukiman baru, di saat bersamaan pengembangan pertanian berkelanjutan di kawasan hulu untuk mencegah erosi dan sedimentasi sungai yang memperparah banjir di hilir.

Lalu, di wilayah hilir membangun tanggul dan pintu air otomatis untuk mengendalikan aliran sungai dan mencegah luapan air sebagaimana konsep restorasi dan perlindungan wilayah serapan air dengan revitalisasi waduk, situ, dan rawa yang tersisa serta sistem kanal dan sungai perkotaan untuk meningkatkan kapasitas pembuangan air.

Kemudian, mewajibkan setiap proyek pembangunan memiliki ruang hijau dan sistem resapan air buatan seperti biopori dan sumur resapan sampai menerapkan moratorium pembangunan di daerah rawan banjir. Konsep Blue-Green Infrastructure ini sejatinya telah diterapkan di kota-kota seperti Singapura dan Rotterdam untuk menanggulangi banjir.

Semua itu tentu tak lepas dari koordinasi dan sinkronisasi kebijakan antarwilayah. Penting untuk mengintegrasikan kebijakan tata ruang antarprovinsi dan kabupaten/kota agar tak terjadi tumpang tindih dalam perencanaan. Model koordinasi seperti Metropolitan Planning Organization (MPO) di Amerika Serikat bisa diterapkan untuk sinkronisasi kebijakan tata ruang di Jabodetabek, misalnya membentuk otoritas pengelolaan banjir lintas wilayah (misal, Jabodetabek Flood Management Authority).

Solusi struktural dalam politik tata ruang untuk mengatasi banjir harus berorientasi pada pembangunan yang berkelanjutan, perlindungan kawasan tangkapan air, serta koordinasi lintas wilayah yang lebih baik. Tanpa perubahan mendasar dalam tata ruang dan perencanaan kota, banjir akan terus menjadi ancaman tahunan bagi Jabodetabek dan kota-kota lain di Indonesia. Tanpa perubahan mendasar dalam politik tata ruang, banjir di Jabodetabek akan terus berulang sebagai konsekuensi dari kebijakan ruang yang tidak berpihak pada keberlanjutan.

Kita semua berharap para kepala daerah yang dilantik pada Februari lalu mampu merumuskan kebijakan tata ruang yang sinergis dan berkelanjutan sebagai prioritas utama. Perlu sebuah upaya serius dalam reformasi politik tata ruang.

Galang Geraldy, Dosen Ilmu Politik UWKS; Mahasiswa S-3 Ilmu Sosial Peminatan Politik Tata Ruang