Pemerintah sudah mengandalkan teknologi modifikasi cuaca sejak tahun 1977. Namun, apakah teknologi modern ini mampu menjadi solusi mitigasi dalam jangka panjang?

Oleh Budiawan Sidik A, Zikrina Ratri

Pemerintah sudah mengandalkan Teknologi Modifikasi Cuaca atau TMC sejak tahun 1977. Namun, apakah teknologi modern ini mampu menjadi solusi strategis dalam mitigasi bencana alam jangka panjang?

Pada pekan lalu, tepatnya pada Minggu malam (2/3/2025), kawasan Jabodetabek diguyur hujan berintensitas deras dengan durasi relatif panjang. Tingginya intensitas hujan juga terjadi di daerah hulu seperti di kawasan Puncak, Bogor. Malam itu, Bendungan Katulampa di Bogor terpantau berstatus siaga 1 karena debit air terus mengalami kenaikan. Lonjakan debit di kawasan hulu tersebut juga turut berdampak pada peningkatan aliran air di sungai-sungai utama seperti Ciliwung, Cikeas, dan Cisadane.

Tingginya intensitas hujan terus berlangsung hingga Rabu, 5 Maret 2025 sehingga mengakibatkan lebih dari 110 RT di Jakarta terdampak banjir. Tidak hanya Jakarta, kawasan Bodetabek lainnya juga turut terdampak akibat intensitas hujan yang tinggi serta ditambah debit air yang meningkat dari kawasan hulu. Bencana banjir pun terjadi di sejumlah tempat dan wilayah Bekasi menjadi salah satu area terparah akibat bencana itu. Setidaknya ada delapan kecamatan di wilayah Bekasi yang lumpuh akibat banjir tersebut.

Terkait kejadian banjir itu BMKG bersama BNPB melakukan langkah mitigasi dengan modifikasi cuaca pada tanggal 5-8 Maret 2025. Deputi Bidang Modifikasi Cuaca BMKG, Tri Handoko Seto, mengatakan operasi modifikasi cuaca (OMC) dilakukan pada periode tersebut, tetapi juga menyesuaikan dengan perkembangan prediksi cuaca terbaru. Melalui siaran pers pada Kamis lalu (6/3/2025), disampaikan bahwa operasi ini berfokus pada pengurangan curah hujan di kawasan tangkapan air di Sungai Ciliwung dan Cisadane.

Jika menilik ke belakang, memang beberapa bulan terakhir frekuensi bencana banjir meningkat di sejumlah tempat. Dari awal periode musim hujan pada November 2024 sudah terjadi beberapa fenomena bencana akibat tingginya curah hujan. Sejak November 2024 hingga Februari 2025 sudah terjadi beberapa bencana hidrometeorologi yang tergolong parah seperti banjir dan longsor di Sumatera Utara, Sukabumi, Pekalongan, hingga beberapa titik di Jawa Timur.

Infografik riset Transformasi Teknologi Modifikasi Cuaca di Indonesia
 

Saat memasuki fase musim penghujan di akhir tahun lalu pada November 2024 Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sudah mengeluarkan peringatan dini sejak Oktober 2024. BMKG juga turut memperingatkan adanya pembentukan fase La Nina lemah dan beberapa fenomena anomali cuaca lainnya yang turut berpengaruh pada curah hujan yang akan berlangsung di periode musim penghujan hingga awal tahun 2025.

Selain melakukan pembaruan pantauan cuaca, BMKG bersama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan pihak-pihak lembaga lainnya turut menghadirkan OMC sebagai solusi mitigasi bencana. Operasi modifikasi cuaca ini merupakan salah satu cara antisipasi bencana yang sudah diterapkan sejak lama oleh pemerintah.

Transformasi TMC

Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) sudah digunakan sejak tahun 1977 di era pemerintahan Soeharto. Meskipun demikian, TMC ini terus bertransformasi mulai dari tujuan penggunaannya hingga teknologi yang diterapkan.

Bila dirunut sejarahnya, teknologi hujan buatan dikelola di bawah Direktorat Pengembangan Kekayaan Alam (PKA) yang merupakan bagian dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang didirikan pada tahun 1978. Pada tahun 1985, Unit Pelaksana Teknis (UPT) Hujan Buatan resmi dibentuk melalui SK Menristek/Kepala BPPT.

Pada mulanya teknologi yang digunakan sangat sederhana, yakni penyemaian awan dengan garam (NaCl) atau kalsium klorida (CaClâ‚‚) yang disebarkan menggunakan pesawat ringan seperti Cessna untuk memicu hujan atau bahkan menghalau pertumbuhan awan di wilayah tertentu.

Dari teknologi sederhana berbasis pesawat dan garam pada tahun 1977 itu, TMC di Indonesia kemudian bertransformasi dengan sistem yang lebih canggih serta terintegrasi. Transformasi ini turut didorong karena adanya kebutuhan dari sektor pertanian serta upaya mitigasi bencana.

Istilah Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) resmi digunakan pada tahun 2015 melalui Peraturan Kepala BPPT No. 10/2015 menggantikan istilah Hujan Buatan seiring berdirinya Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca (BBTMC).

Dalam upaya pengendalian cuaca, BMKG melakukan sejumlah kerja sama dengan berbagai instansi seperti BNPB, BRIN, TNI Angkatan Udara hingga swasta dalam pengembangan dan pelaksanaannya. Pada saat ini penggunaan TMC di Indonesia sudah melibatkan penggunaan teknologi seperti artificial intelligence (AI) hingga pemanfaatan drone.

Hasilnya, TMC semakin memiliki tingkat keberhasilan dan efektivitas yang tinggi dalam mengendalikan cuaca sehingga upaya ini menjadi langkah mitigasi yang dapat diandalkan oleh BMKG. Deputi Modifikasi Cuaca BMKG, Tri Handoko Seto (BMKG, 9/12/2024) menyatakan TMC akhir tahun lalu turut digunakan dalam upaya mengurangi curah hujan di Jakarta, sehingga risiko genangan berkurang juga secara signifikan.

Keberhasilan dan efektivitas pengendalian hujan dengan TMC juga turut dikuatkan dengan pernyataan Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati dalam siaran pers BMKG. Operasi modifikasi cuaca (OMC) ditujukan sebagai upaya mengurangi bencana hidrometeorologi yang berpotensi melanda Jakarta saat curah hujan meningkat. Operasi yang dilakukan pada 7-8 Desember 2024 itu diklaim berhasil menurunkan curah hujan mencapai intensitas pengurangan 13 persen hingga 67 persen.

Dengan efektifitas yang tinggi dalam mendistribusikan curah hujan, operasi modifikasi cuaca saat ini menjadi solusi strategis pemerintah dalam menanggulangi potensi dampak bencana yang lebih buruk. Bahkan, selain digunakan dalam mitigasi bencana hidrometeorologi hingga polusi udara, operasi modifikasi cuaca juga kerap digunakan dalam pengendalian cuaca saat penyelenggaraan event besar. Misalnya, seperti agenda MotoGP Mandalika 2024 dan mendukung Pembangunan infrastruktur IKN Nusantara pada 2023-2024.

Beragamnya manfaat penggunaan itu menjukkan bahwa teknologi modifikasi cuaca telah bertransformasi untuk berbagai keperluan. Tak hanya mengendalikan cuaca , tetapi juga meluas ke berbagai sektor kegiatan serta menjadi langkah mitigasi mengurangi dampak bencana di berbagai ruang wilayah.

Bukan solusi satu-satunya

Intensitas penggunaan TMC semakin tinggi dan semakin canggih dalam berbagai keperluan. Hampir seluruh negara menggunakan modifikasi cuaca seperti halnya penyemaian awan (cloud seeding) untuk untuk mengatasi kekeringan, meningkatkan curah hujan, atau bahkan mencegah hujan di acara tertentu. Umumnya, teknologi tersebut melibatkan penggunaan bahan kimia seperti silver iodide (Agl) atau dry ice untuk memicu pembentukan kristal es dalam awan.

Hanya saja, penggunaan TMC dalam jangka panjang berpotensi menimbulkan dampak terhadap ekosistem alam. Semakin meningkatnya intensitas penggunaan TMC menimbulkan kekhawatiran bahwa intervensi berulang pada siklus alamiah cuaca dapat mengganggu keseimbangan lingkungan.

TMC sebagai geoengineering produk untuk mengatasi ketidakpastian cuaca dan iklim serta sebagai pengontrol cuaca telah menimbulkan banyak perdebatan. Pasalnya, solusi teknologi ini berpotensi mendatangkan bencana lainnya seperti perubahan pencemaran udara dan air, gangguan sistem hidrologi, serta dampak pada ekosistem lokal.

Dalam konteks penanganan banjir, TMC secara efektif dapat digunakan sebagai langkah mitigasi karena mampu mengurangi curah hujan hingga sekitar 60 persen. Tapi jika dilihat secara realita permasalahan sesungguhnya ternyata bencana banjir itu bukan semata-mata karena curah hujan yang tinggi, tetapi juga melibatkan faktor lain yang skompleks.

 

Dilansir dari liputan Kompas.id (7/3/2025), ahli Hidrologi IPB, Hidayat Pawitan mengatakan banjir Jabodetabek merupakan bentuk dari rusaknya ekosistem hulu-hilir. Hal tersebut diperburuk oleh perubahan iklim yang berpengaruh pada meningkatnya intensitas hujan ekstrem berdurasi pendek (kajian BMKG).

Meski mengandalkan TMC sebagai langkah solusi strategis mitigasi bencana, pemerintah tidak boleh abai melihat solusi yang lebih konstruktif dalam memperbaiki akar masalah utama banjir, yakni kerusakan ekosistem hulu hingga hilir.

Solusi jangka panjang, seperti perbaikan ekosistem hulu-hilir terutama terkait tata guna lahan, jauh lebih baik diterapkan karena dapat mengatasi akar masalah kerusakan ekosistem secara lebih luas. Jadi, TMC itu sifatnya hanya sebagai langkah pendukung, bukan sebagai langkah prioritas upaya mitigasi. Dengan pembenahan tata guna lingkungan secara lebih baik yang mengedepankan prinsip keberlajutan maka risiko bencana akan semakin dapat ditekan. (LITBANG KOMPAS)