Pembahasan revisi UU TNI harus mengacu pada koridor demokrasi dan supremasi sipil. Perluasan peran TNI tetap harus di bawah supremasi sipil. 

Pembahasan revisi UU TNI menuai polemik. Masyarakat sipil khawatir revisi UU TNI kembali membawa era otoritarian rezim lewat doktrin dwi fungsi ABRI.

Sementara itu tuntutan zaman juga tak dapat menafikan begitu saja perluasan peran militer di luar fungsi perang dan pertahanan. Revisi UU TNI seharusnya diletakkan dalam konteks menata kembali hubungan sipil-militer dalam negara demokratis.

Harus ada garis tegas dalam pembahasan revisi UU TNI bahwa peran baru apa pun yang nanti diemban oleh militer, tetap harus tunduk pada supremasi sipil.

Di Indonesia, menata kembali hubungan sipil-militer dalam konteks demokrasi memang tidak mudah. Sejarah negeri ini mencatat pemberontakan, represi penguasa terhadap rakyat hingga pergantian kekuasaan rezim, sebagai bagian dari dinamika hubungan sipil-militer.

Pasca-Reformasi 1998 sebenarnya konsolidasi demokrasi dengan penguatan supremasi sipil di Indonesia tampaknya telah mencapai garis akhir. Reformasi menandai akhir rezim otoritarian Orde Baru selama 32 tahun yang ditopang militer lewat doktrin dwi fungsi ABRI.

Reformasi 1998 menjadikan demokrasi dan supremasi sipil sebagai jalan bagi Indonesia mencapai cita-cita seperti termaktub dalam konstitusi.

Militer pun tunduk dalam supremasi sipil. Saat militer ingin berperan dalam ranah sipil, undang-undang mengharuskan mereka menanggalkan baju kemiliterannya.

Namun dalam perkembangannya, di era di mana militer tetap harus berperan pada masa damai, ada tuntutan perluasan fungsi tentara di luar perang dan pertahanan.

Terdapat kebutuhan operasi militer selain perang yang disesuaikan dengan persoalan-persoalan negara. Dengan konteks tersebut, maka hubungan sipil-militer perlu ditata kembali.

Harus diingat bahwa pembahasan perluasan peran baru TNI di luar perang dan pertahanan tetap harus mengacu pada kebutuhan zaman, tuntutan modernitas militer, koridor demokrasi dan supremasi sipil.

Selama ini kita tahu bahwa dengan organisasi terpusat dan terstruktur hingga ke bawah yang memungkinkan kemudahan koordinasi dan rantai logistik, peran TNI dalam penanggulangan bencana di negeri ini cukup besar. Apalagi bencana alam di Indonesia bisa datang sepanjang tahun. Di masa pandemi Covid-19, peran TNI terbukti cukup banyak membantu.

Namun perluasan peran militer di luar perang dan pertahanan juga tidak boleh keluar dari koridor keahlian spesifik yang dimiliki tentara. Apalagi dengan alasan mengatasi persoalan surplus perwira menengah dan tinggi tanpa jabatan di TNI.

Problem tersebut jelas harus diatasi dari hulunya, pendidikan di Akademi Militer dan penempatan dan pengisian jabatan yang meritokratis di lingkungan TNI.

DPR dan pemerintah yang tengah membahas revisi UU TNI harus bijak dan tepat menempatkan militer di ranah yang memang dibutuhkan. Jangan sampai perluasan peran TNI justru mendorong mereka tidak lagi professional. Apalagi sampai harus mengancam demokrasi dan supremasi sipil.