Manajemen emosi dalam transportasi tidak hanya mencakup aspek teknis, tetapi juga kebijakan dan praktik organisasi.
Oleh Inayah Hidayati
Mengelola emosi dalam transportasi umum merupakan tantangan kompleks yang berkaitan erat dengan dinamika mobilitas perkotaan. Pengalaman emosional pengguna dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk infrastruktur transportasi, interaksi sosial, dan kondisi lingkungan perjalanan. Memahami dinamika emosional ini sangat penting untuk meningkatkan kepuasan komuter, keselamatan, serta kesejahteraan emosional di dalam sistem transportasi publik.
Mobilitas penduduk di kota-kota besar semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan populasi dan urbanisasi. Keterbatasan kapasitas transportasi publik sering kali tidak sebanding dengan lonjakan jumlah penumpang, terutama pada jam sibuk. Hal ini menyebabkan kondisi berdesakan yang dapat memicu stres, frustrasi, dan ketegangan sosial. Selain itu, waktu tempuh yang panjang akibat kemacetan dan ketidakpastian jadwal angkutan umum dapat memperburuk pengalaman perjalanan, meningkatkan rasa lelah, serta menurunkan produktivitas masyarakat urban.
Faktor emosional dan pengalaman komuter
Pengalaman perjalanan individu sangat dipengaruhi oleh faktor emosional. Chatterjee dkk (2019) menemukan bahwa kemacetan, kepadatan, dan ketidakpastian dapat menimbulkan stres serta respons emosional negatif. Faktor-faktor ini tidak hanya mengurangi kepuasan perjalanan, tetapi juga membentuk persepsi jangka panjang terhadap transportasi umum.
Interaksi sosial dalam transportasi umum sering menjadi pemicu utama emosi, baik positif maupun negatif. Salah satu faktor utama adalah kondisi berdesakan dalam kereta atau bus, terutama pada jam sibuk pagi dan sore hari. Situasi ini dapat menyebabkan ketegangan antarpenumpang, yang sering kali berujung pada pertengkaran verbal, bahkan dalam beberapa kasus hingga kontak fisik.
Kereta komuter dan bus dalam kota dengan kapasitas tinggi sering mengalami kepadatan ekstrem. Ketika ruang gerak terbatas, gesekan fisik antarpenumpang dapat memicu kemarahan dan frustrasi. Salah satu contoh umum adalah perebutan kursi di KRL Commuter Line Jabodetabek, ketika beberapa penumpang bersaing untuk mendapatkan tempat duduk yang kosong. Hal ini tidak jarang memicu adu argumen atau bahkan konflik fisik.
Selain itu, ketegangan juga muncul ketika penumpang enggan memberikan kursi prioritas bagi warga lansia, ibu hamil, atau penyandang disabilitas. Atau bahkan penumpang yang bukan prioritas justru meminta kursi dengan sedikit memaksa kepada penumpang yang sudah duduk.
Di halte atau stasiun yang ramai, ketidaksabaran penumpang dalam naik dan turun kendaraan sering menjadi sumber stres. Banyak penumpang terburu-buru masuk lebih dulu untuk mendapatkan tempat duduk atau ruang yang nyaman, sementara penumpang yang ingin turun harus berjuang melewati kerumunan.
Kurangnya kesabaran dan kepatuhan terhadap etika antrean semakin memperparah situasi, meningkatkan rasa frustrasi dan stres di antara penumpang. Ramainya halte dan stasiun ini sering kali terjadi di saat jam-jam sibuk, yaitu pagi hari saat jam berangkat kantor dan sore hari saat jam pulang kantor, terutama di halte atau stasiun untuk transfer moda transportasi.
Manajemen emosi dalam transportasi tidak hanya mencakup aspek teknis, tetapi juga kebijakan dan praktik organisasi. Kajian Vaidya dan Myers (2022) menyoroti pentingnya memahami persepsi publik terhadap emosi dalam sistem informasi transportasi. Dengan mengelola tampilan emosi di ruang publik, operator transportasi dapat meningkatkan keterlibatan pengguna dan menciptakan pengalaman perjalanan yang lebih nyaman dan efisien.
Namun, pengelolaan emosi dalam transportasi tidak hanya menjadi tanggung jawab operator, tetapi juga individu yang menggunakannya. Regulasi emosional terjadi pada tingkat individu, dengan kemampuan seseorang dalam mengendalikan emosi berperan besar dalam menghadapi tantangan perjalanan.
Studi menunjukkan bahwa komuter dengan kecerdasan emosional tinggi lebih mampu mengatasi hambatan selama perjalanan, yang pada akhirnya meningkatkan kepuasan perjalanan dan kualitas hidup (Madrid dkk, 2020). Oleh karena itu, meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan mental dalam transportasi umum dapat membantu menciptakan lingkungan perjalanan yang lebih positif.
Selain faktor psikologis, aspek fisik dalam transportasi juga berpengaruh terhadap pengalaman emosional pengguna. Karakteristik desain lingkungan, seperti tata letak stasiun dan halte, berkontribusi dalam menciptakan rasa aman dan nyaman bagi penumpang. Penelitian yang dilakukan oleh Ingvardson dan Nielsen (2021) menunjukkan bahwa persepsi keamanan di fasilitas transportasi umum memengaruhi pilihan moda transportasi serta kepuasan perjalanan. Dengan meningkatkan fitur keselamatan, seperti pencahayaan yang baik dan pengawasan keamanan, operator transportasi dapat menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi pengguna.
Di era digital, faktor lain yang turut membentuk pengalaman emosional pengguna transportasi adalah interaksi di media sosial. Umpan balik dan keluhan pengguna yang disampaikan melalui platform digital dapat mencerminkan sentimen publik terhadap layanan transportasi. Studi menunjukkan bahwa analisis opini publik di media sosial memberikan wawasan berharga bagi operator transportasi dalam meningkatkan layanan mereka (Li dkk, 2019). Dengan merespons keluhan secara aktif dan menyesuaikan kebijakan berdasarkan masukan pengguna, perusahaan transportasi dapat meningkatkan pengalaman dan kepuasan pelanggan secara signifikan.
Transportasi publik yang lebih ramah emosi
Untuk menciptakan sistem transportasi umum yang lebih efektif dan ramah pengguna, operator harus mempertimbangkan faktor emosional dalam setiap aspek layanan. Dengan menerapkan strategi pengelolaan emosi, memanfaatkan teknologi pintar, menetapkan kebijakan berbasis pengguna, dan merancang lingkungan yang aman, transportasi umum dapat menjadi pilihan yang lebih menarik bagi masyarakat.
Seiring dengan itu, perubahan kebutuhan komuter menuntut lembaga transportasi untuk terus beradaptasi dan mengembangkan strategi yang tidak hanya berfokus pada efisiensi, tetapi juga kesejahteraan emosional pengguna. Dengan pendekatan ini, transportasi publik dapat berkontribusi pada mobilitas perkotaan yang lebih sehat, efisien, dan berkelanjutan.
Pada akhirnya, dengan menyadari bahwa faktor emosional memainkan peran penting dalam pengalaman perjalanan, operator dapat merancang sistem transportasi yang lebih inklusif, nyaman, dan responsif terhadap kebutuhan semua pengguna.
Inayah Hidayati, Peneliti mobilitas penduduk di Badan Riset dan Inovasi Nasional