Dalam jangka panjang, investasi pertambangan berpotensi mendegradasi lingkungan dan menurunkan kualitas pembangunan. Apalagi, regulasi yang mengaturnya kian melemah.
Oleh Budiawan Sidik A
Investasi merupakan komponen penting dalam mendukung kemajuan ekonomi suatu bangsa. Namun, ketika investasi itu ditanamkan pada sektor industri ekstaktif, dalam jangka panjang investasi tersebut berpotensi mendegradasi lingkungan yang menurunkan kualitas pembangunan. Apalagi, jika disertai regulasi yang terkesan tidak melindungi alam, kerusakan lingkungan menjadi sebuah keniscayaan.
Berdasarkan laporan BPS, usaha ekstaktif, khususnya pertambangan dan penggalian, menjadi salah satu lapangan usaha unggulan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Pada tahun 2022-2024, kontribusi sektor pertambangan ini bagi produk domestik bruto (PDB) Indonesia rata-rata sebesar 10 persen atau sekitar Rp 2.100 triliun per tahun.
Sumbangan tersebut menempati urutan keempat setelah sumbangan sektor industri pengolahan; sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan; serta sektor perdagangan. Posisi ini menunjukkan bahwa sektor industri pertambangan masih menjadi primadona ekonomi nasional di antara 17 sektor lapangan usaha penyumbang kemajuan bangsa.
Meskipun demikian, besarnya konstribusi sektor pertambangan itu relatif hanya meningkatkan kesejahteraan ekonomi bagi segelintir orang. Satu indikasinya terlihat dari jumlah tenaga kerja yang terserap pada industri ekstraktif ini.
Berdasarkan laporan Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Februari 2025, BPS menyebutkan jumlah tenaga kerja sektor pertambangan hanya sebanyak 1,64 juta orang. Jumah ini hanya menyumbang sebesar 1,13 persen dari total pekerja di Indonesia yang mencapai 145,8 juta orang pada awal tahun ini. Serapan jumlah pekerja ini relatif sangat minim, yakni rata-rata kurang dari 2 persen dari waktu ke waktu.
Kondisi tersebut membuat lapangan pekerjaan di sektor pertambangan memiliki tingkat penghasilan di atas rata-rata nasional. Bahkan, menjadi yang terbesar dari seluruh lapangan pekerjaan yang tersedia di Indonesia.
Pada Februari lalu, rata-rata upah pekerja di sektor pertambangan sebesar Rp 5,09 juta per bulan. Nominal ini merupakan yang terbesar dan jauh dari tingkat upah rata-rata pekerja di Indonesia yang berkisar Rp 3,09 juta sebulan. Upah pekerja tambang secara rata-rata mengalahkan upah sektor usaha lainnya yang juga tergolong bonafide, seperti sektor listrik dan gas; jasa keuangan; informasi dan komunikasi; serta real estate. Keempat lapangan pekerjaan ini upah rata-ratanya di kisaran Rp 4 juta hingga Rp 5 juta per bulan atau tidak lebih tinggi dari usaha pertambangan.
Untuk lapangan usaha lainnya lagi memiliki tingkat penghasilan per bulan rata-rata kurang dari Rp 4 juta. Bahkan, ada pula sektor pekerjaan yang memiliki tingkat upah di bawah rata-rata nasional. Di antaranya sektor pengolahan sampah dan air; pendidikan; perdagangan; akomodasi-makan minum; pertanian; serta jasa lainnya yang memiliki tingkat upah kurang dari Rp 3,09 juta.
Hal itu menunjukkan bahwa dampak langsung dari aktivitas pertambangan relatif sangat terbatas, yakni hanya sebagian pihak yang terlibat langsung dalam usaha itu. Indikasinya terlihat dari besarnya ketimpangan penghasilan antara sektor usaha tambang dan sektor usaha lainnya. Secara tidak langsung menggambarkan usaha ekstraktif pertambangan itu cenderung eksklusif secara perekonomian. Nilai ekonomi yang besar dari usaha itu hanya mengalir pada segelintir pihak.
Investasi industri ekstraktif
Investasi yang berkaitan dengan usaha ekstraktif masih menjadi andalan di Indonesia hingga saat ini. Berdasarkan data dari BPS, kontribusi komponen pembentukan modal tetap bruto (PMTB) bagi PDB nasional berkisar 29 persen setahun. Artinya, PMTB atau investasi turut menyumbang sekitar 29 persen bagi kemajuan Indonesia.
Posisi investasi menempati urutan kedua setelah konsumsi rumah tangga yang berkontribusi sekitar 54 persen bagi PDB nasional. Hal ini menunjukkan bahwa investasi merupakan salah satu komponen yang krusial untuk mendorong kemajuan ekonomi setiap tahun. Semakin besar investasi yang masuk, maka peluang untuk meningkatkan usaha atau skala produksi semakin besar sehingga mampu menyediakan dan menyerap banyak tenaga kerja.
Bila menelusuri investasi yang ditanamkan di Indonesia menunjukkan bahwa tren penanamam modal terus meningkat setiap saat. Berdasarkan data dari Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM pada kurun 2016-2024, investasi Indonesia rata-rata meningkat sekitar Rp 137 triliun atau 14 persen per tahun. Peningkatan ini membuat jumlah investasi yang ditanamkan kian membesar sehingga pada tahun 2024 lalu jumlah investasinya mencapai Rp 1.714 triliun.
Pada rentang 2016-2024, investasi yang ditanamakan di Indonesia sebagian besar dari investasi asing. Rata-rata sebesar 52 persen investasi merupakan penanaman modal asing (PMA). Sisanya, sekitar 48 persen, merupakanan penanaman modal dalam negeri (PMDN). Artinya, ketergantungan Indonesia terhadap investasi asing dalam mendorong kemajuan ekonomi sangatlah besar. Dapat dibayangkan, apabila terjadi penyusutan investasi dari luar negeri, maka akan berdampak pada perlambatan ekonomi nasional yang cukup signifikan.
Bila ditelusuri lebih dalam lagi dari bentuk investasi yang ditanamkan di Indonesia, baik itu PMA maupun PMDN, hampir semuanya mengarah pada sejumlah sektor tertentu saja. Pada rentang 2021-2024, dari delapan sektor usaha yang menjadi primadona investasi, sektor pertambangan dan industri pengolahannya selalu menjadi sasaran investasi terbesar.
Proporsinya sekitar 22 persen dari total investasi yang ditanamkan setiap tahun. Tren investasi pada sektor usaha ini trennya kian membesar hingga menguasai hampir 25 persen investasi nasional pada awal tahun 2025 ini.
Hal itu menunjukkan bahwa potensi sumber daya alam yang melimpah di Indonesia menjadi data tarik pemodal untuk mengembangkan usaha terkait dengan pertambangan dan hilirisasinya.
Salah satu komoditas sumber daya alam yang menjadi incaran investor saat ini adalah nikel. Sepanjang tahun 2024, investasi pemurnian industri mineral didominasi oleh nikel. Dari Rp 245 triliun investasi di bidang smelter atau pemrosesan biji mineral, sebesar 62 persennya senilai Rp 153 triliun merupakan smelter nikel.
Bila dilihat dari segi geografinya, investasi hilirisasi nikel pada tahun lalu, mengerucut di dua wilayah. Pertama, adalah wilayah Sulawesi Tengah dengan investasi hilirisasi senilai Rp 90 triliun, di mana sekitar 90 persennya ditujukan untuk hilirisasi nikel. Lokasi kedua adalah provinsi Maluku Utara dengan total investasi Rp 57,6 triliun, dengan proporsi hilirisasi nikel sebesar 99,5 persen.
Sayangnya, masifnya investasi dan hilirisasi pertambangan nikel di daerah tersebut belum memberikan andil ekonomi yang cukup menyejahterakan bagi masyarakat setempat. Indikasinya terlihat dari jumlah pengangguran yang masih cukup banyak di kedua wilayah tersebut, yakni Sulawesi Tengah sebesar 3,02 persen dan Maluku Utara 4,26 persen.
Meskipun kedua wilayah itu masih di bawah rata-rata pengangguran nasional yang sebesar 4,76 persen, tetap saja hal ini cukup ironis bagi daerah yang kaya potensi sumber daya dan cadangan nikel terbesar di Indonesia. Masifnya investasi belum mampu menyerap dan menumbuhkan usaha-usaha pendukungnya untuk memberikan lapangan pekerjaan yang cukup bagi segenap angkatan kerja di wilayah bersangkutan.
Bahkan, kedua wilayah sentra pertambangan itu juga lekat dengan persoalan kemiskinan yang tinggi pada tahun lalu. Maluku Utara tingkat kemiskinannya 6,03 persen dan Sulawesi Tengah sebesar 11,04 persen atau lebih tinggi dari pengangguran nasional sebesar 8,57 persen. Hal ini menunjukkan masifnya industri yang mengekstraksi kekayaan alam ternyata belum mampu menyejahterakan masyarakat setempat secara keseluruhan.
Deforestasi dan regulasi
Di sisi lainnya, usaha ekstraksi pertambangan itu memicu munculnya sejumlah ancaman, salah satunya terkait kelestarian lingkungan. Deforestasi karena hutan harus di babat guna mengambil potensi sumber daya mineral yang berada di bawahnya. Bila tidak disertai tata kelola yang baik, akan berisiko bagi lingkungan, seperti terganggunya ekosistem, kekeringan, banjir, hingga pencemaran yang mengotori udara, tanah, dan perairan.
Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, khusus aktivitas pertambangan telah berdampak pada pengurangan areal hutan hingga seluas 43.000 hektar sejak kurun 2001-2024. Daerah yang masif mengalami deforestasi dari aktivitas pertambangan ini adalah Sulawesi Tenggara seluas 25,4 ribu hektar, Sulawesi Tengah 21,2 ribu hektar, dan Maluku Utara seluas 12,3 ribu hektar. Untuk wilayah lainnya, seperti Sulawesi Selatan, Maluku, Papua Barat, dan Papua, terjadi deforestasi bervariasi dengan rata-rata di bawah 6.000 hektar.
Fenomena tersebut tentu saja akan menimbulkan ancaman yang serius bagi lingkungan apabila tidak dilakukan tata kelola pertambangan yang baik dan mengedepankan kaidah kelestarian alam. Salah satu yang menjadi tantangan dari aktivitas pertambangan adalah reklamasi pascatambang. Setelah hutan dibabat dan tanah dikeruk secara masif, apakah para investor akan bertanggung jawab memulihkan seperti sedia kala?
Infografik Deforestasi Di Kawasan Potensi Sumber Daya Nikel
Jawabnya tergantung dari regulasi yang mengaturnya. Bila ada dasar hukum yang tegas dan memaksa para investor memulihkan hingga berhasil 100 persen, ancaman terhadap lingkungan akan dapat diminimalisasi. Namun, apabila pemerintah terkesan tidak tegas, akan muncul celah untuk ”bernegosiasi” dan akan cenderung merugikan bagi lingkungan serta masyarakat setempat.
Sayangnya, regulasi yang mengatur tentang pertambangan dan reklamasi itu tampaknya kurang bersikap tegas. Indikasinya terlihat dari UU No 2/2025 tentang Perubahan Keempat Atas UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Pada perubahan keempat itu, pemegang izin usaha pertambangann (IUP) atau izin usaha pertambangan khusus (IUPK) hanya diwajibkan menempatkan dana jaminan reklamasi atau dana jaminan pasca-ambang yang nominalnya ditetapkan menteri. Reklamasi dapat dilakukan pihak ketiga yang ditunjuk kementerian apabila pemegang IUP/IUPK tidak melakukan reklamasi seperti yang direncanakan.
Aturan baru itu terkesan mundur karena pada regulasi sebelumnya, yakni pada UU No 3/2020 tentang Perubahan Atas UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara bersifat lebih tegas. Regulasi itu mengatur pemegang IUP/IUPK untuk melakukan reklamasi pascatambang hingga tingkat keberhasilan 100 persen. Bila tidak melaksanakan, diancam pidana penjara paling lama 5 tahun serta denda paling banyak Rp 100 miliar.
”Kemunduran” regulasi itu mengindikasikan ada sejumlah pertimbangan lain dari pemerintah. Bisa jadi untuk meningkatkan daya tarik investasi. Meskipun demikian, harus disadari bahwa hal tersebut rentan merugikan bagi lingkungan. Pemerintah dan stakeholder terkait harus menerapkan standar yang tinggi dalam tata kelola pertambangan agar berkah sumber daya alam itu bukan menjadi kutukan bagi generasi masa depan. (LITBANG KOMPAS)