Area preservasi yang ditetapkan melalui UU KSDAE berpotensi menjadi rebutan oleh kepentingan industri pariwisata dan menjadi obyek perdagangan karbon.

Oleh Stephanus Aranditio

JAKARTA, KOMPAS — Raja Ampat dan pulau-pulau kecil lainnya yang memiliki potensi sumber daya alam di Indonesia tidak hanya terancam aktivitas tambang, tetapi juga terancam oleh industri pariwisata dan menjadi obyek perdagangan karbon. Masyarakat pesisir akan terdampak jika tidak dilibatkan dalam proses upaya preservasi.

Deputi Pengelolaan Program dan Jaringan, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Erwin Suryana mengatakan, area preservasi yang nantinya ditetapkan pemerintah berpotensi menjadi rebutan kepentingan industri pariwisata berbasis alam dan menjadi obyek perdagangan karbon. Ini bisa mengakibatkan masyarakat pesisir yang selama ini hidup dari wilayah tersebut tidak bisa lagi bebas beraktivitas.

”Wisata-wisata skala industri itu akan berusaha seolah-olah mengonservasi satu wilayah pesisir, tetapi aslinya terjadi penyingkiran terhadap warga lokal yang selama bertahun-tahun sudah hidup mengolah wilayah. Demikian juga dengan kepentingan perdagangan karbon,” kata Erwin dalam diskusi ”Hari Laut Sedunia” di Jakarta, Selasa (10/6/2025).

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAE), area preservasi dimaknai sebagai area yang berada di luar kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan kawasan konservasi di perairan, wilayah pesisir, serta pulau-pulau kecil yang dipertahankan kondisi ekologisnya untuk mendukung fungsi penyangga kehidupan dan kelangsungan hidup sumber daya alam hayati serta ekosistemnya.

Erwin menegaskan, konservasi maupun perservasi tetap harus mengutamakan partisipasi publik yang bermakna, bukan membangun proyek wisata maupun perdagangan karbon yang melupakan masyarakat pesisir. Dengan melibatkan masyarakat lokal, kesejahteraan mereka pun akan meningkat, bukan hanya untuk segelintir pihak.

Selain itu, wilayah mangrove, lamun, dan terumbu karang tetap harus dirawat dengan kearifan lokal yang selama ini diterapkan masyarakat lokal. Masyarakat yang bekerja sebagai nelayan pun harus tetap bisa mengambil sumber daya dari laut di wilayah preservasi tersebut.

”Masyarakat yang hidup di pesisir dan terutama mereka yang hidup sebagai nelayan, itu harus diberikan kebebasan untuk mengakses lautnya,” ujar Erwin.

Kasus semacam ini sudah dirasakan warga Pulau Pari sejak tahun 1980-an dan berkepanjangan hingga saat ini. Warga pejuang lingkungan Pulau Pari, Mustaghfirin, mengatakan, pulau kelahirannya telah terdampak krisis iklim, diperparah dengan aktivitas industri wisata yang mempersempit ruang hidup masyarakat lokal.

Tak hanya itu, industri pariwisata justru menimbulkan masalah sosial baru seperti munculnya sampah. Perusahaan pariwisata bahkan mengklaim kepemilikan Pulau Pari seluas 90 persen sejak 2016.

Warga diintimidasi, mulai dari dilarang mendirikan dan merenovasi bangunan, disomasi, hingga dikriminalisasi. Mustaghfirin bersama dua rekannya, Mastono dan Bahruddin, dipenjara pada 2017 karena dituduh melakukan pungutan liar kepada wisatawan saat meminta donasi untuk fasilitas pariwisata dan menyantuni kaum papa, serta mendirikan masjid.

Untuk itu, Mustaghfirin berharap, implementasi UU KSDAE yang tengah diuji di Mahkamah Konstitusi nantinya tidak menambah masalah hidup mereka. Dia menekankan, setiap upaya pemanfaatan Pulau Pari dan pulau-pulau kecil lainnya harus melibatkan masyarakat lokal.

”Yang sudah kita lakukan adalah penguatan terhadap apa yang ada di Pulau Pari, ini membuktikan kepada pemerintah bahwa kita bisa mengelola. Kenapa mesti orang lain kalau kita bisa?” kata Mustaghfirin.

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) mencatat, ada 12.696 desa pesisir dengan luas lebih dari 44 juta hektar. Sebanyak 4.569 desa di antaranya diklaim sebagai kawasan hutan dengan luas lebih dari 21 juta hektar.

Selain itu, 466 desa pesisir dibebani dengan izin hak pengusahaan hutan (HPH) seluas 485.985 hektar dan 478 desa pesisir dibebani izin hutan tanaman industri (HTI) seluas lebih dari 2 juta hektar.

Kemudian, 862 desa pesisir dibebani izin hak guna usaha dengan luas 973.599 hektar, serta 1.561 desa pesisir dibebani izin usaha pertambangan dengan luas lebih dari 2 juta hektar.

”Banyak sekali upaya penetapan kawasan hutan, tanpa ada identifikasi atau pelibatan masyarakat lokal. Padahal, dengan kita mengakui praktik konservasi masyarakat, enggak perlu sebenarnya negara ikut campur urusan konservasi,” kata Imam Mas’ud, Kepala Divisi Pengelolaan Pengetahuan JKPP.