Meningkatnya jumlah permohonan pengujian undang-undang (UU) ke Mahkamah Konstitusi (MK) dalam beberapa tahun terakhir memunculkan kekhawatiran publik akan dampak pada rendahnya kualitas proses legislasi.

Hingga akhir Mei 2025 saja, MK telah menerima 95 permohonan (Kompas, 31/5/2025). Pada 2024, MK juga telah memutuskan 158 perkara pengujian UU, jumlah tertinggi sepanjang sejarah.

Mengapa fenomena ini terjadi? Apa implikasinya dan bagaimana mengatasinya?

Implikasi yudisialisasi politik

Fenomena ini menunjukkan fakta pergeseran politik legislasi. Pertama, menguatnya fenomena yudisialisasi politik (judicialization of politics).

Menurut Ran Hirschl (2008) dalam ”The Judicialization of Mega-Politics and the Rise of Political Courts”,  fenomena ini menjelaskan pergeseran penyelesaian problem proses legislasi yang merupakan ranah politik di parlemen dan presiden ke ranah pengadilan.

Dalam konteks Indonesia, pembuat UU adalah DPR dan presiden, tapi ketika UU bermasalah dibawa ke MK dan ini menjadikan MK masuk ke dalam arena politik.

Kedua, peran MK kian dominan.  MK semakin sering diminta menguji UU. Hal ini menunjukkan ketergantungan DPR, presiden, dan publik pada lembaga ini dalam menyelesaikan masalah konstitusional.

Ketiga, proses pembentukan UU di DPR dan presiden buruk, dan hanya mengejar target, serta minus partisipasi publik dan transparansi.

Keempat, proses pengesahan rancangan undang-undang (RUU) menjadi UU di DPR lebih didominasi oleh kepentingan politik pembuatnya ketimbang kepentingan publik.

Di antara empat fenomena tersebut yang paling menonjol dan mengkhawatirkan adalah fenomena yudisialisasi politik karena akan berdampak pada tak sehatnya relasi ketatanegaraan tiga cabang kekuasaan (Trias Politika), yakni antara DPR, presiden, dan MK, berupa relasi yang tak berimbang.

Padahal, ciri negara hukum demokratis adalah keseimbangan hubungan antartiga cabang kekuasaan sebagai manifestasi doktrin checks and balances  dalam hukum tata negara.

Akhir-akhir ini cabang kekuasaan yang perannya paling dominan dalam desain ketatanegaraan Indonesia mutakhir adalah MK karena MK memiliki kekuasaan yang dominan dalam menentukan kebijakan publik dan arah negara.

Dalam sistem ini, putusan-putusan MK dalam pengujian UU atas UUD 1945 dianggap lebih penting, berwibawa, dan kuat daripada keputusan politik dari DPR dan presiden.

Seharusnya tak boleh terjadi adanya peran dominan dalam sistem negara hukum demokratis  (nomocracy).

Druscilla L Scribner (2010) dalam The Judicialization of (Separation of Powers) Politics: Lessons from Chile mencontohkan bagaimana pengadilan konstitusi di Cile terlibat dalam sengketa politik antara legislatif dan eksekutif, tetapi berujung dan mengarah pada keseimbangan hubungan kekuasaan dalam sistem politik.

Fenomena yudisialisasi politik di Indonesia ini pada titik tertentu akan berdampak buruk pada lembaga MK. Pertama, MK hanya akan menjadi keranjang sampah bagi DPR dan presiden. Ketika RUU yang disahkan cacat formil dan materi, lalu diprotes publik, maka akan segera direspons dengan nada dingin, ”Silakan diuji ke MK”.

Kedua, berpotensi melemahkan kredibilitas MK karena seringnya MK terlibat dalam pengujian UU yang cacat dapat berpotensi merusak reputasi dan kredibilitas lembaga ini.

Ketiga, akan berpotensi memunculkan ”politikasi keputusan MK”. Pelan tapi pasti, MK dapat terjebak dalam dinamika politik, dan menggerus obyektivitas dan independensinya.

Memotong yudisialisasi politik

Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk memotong mata rantai fenomena yudisialisasi politik  ini, yakni diperlukan  penguatan kualitas proses legislasi di DPR dan presiden.

Perlu pelibatan partisipasi masyarakat sipil, akademisi, dan para ahli dalam proses penyusunan RUU agar UU yang dihasilkan lebih berkualitas, serta memenuhi prinsip demokrasi dan prinsip hak asasi manusia (HAM).

Partisipasi publik ini juga diperlukan agar dapat mengantisipasi potensi pelanggaran konstitusional produk UU sehingga cacat UU tidak harus diselesaikan melalui pintu yudisialisasi politik  di MK,  tetapi bisa diselesaikan lewat pintu politik di DPR dan presiden saat undang-undang tersebut masih berbentuk RUU.

Agus Riewanto, Guru Besar Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta