Polemik kasus pemerkosaan massal menyadarkan pada semua bahwa mengakui masa lalu dengan jujur bukan tanda kelemahan, melainkan keberanian moral. 

Oleh Yohan Wahyu

Polemik soal kasus pemerkosaan massal yang terjadi saat peristiwa kerusuhan Mei 1998 membuka ingatan kolektif publik akan pentinya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu.

Polemik ini bermula dari pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam sebuah wawancara yang menyebut “tidak ada bukti” kasus pemerkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa pada Mei 1998.

Pernyataan ini mengguncang dan meramaikan ruang publik. Di satu sisi pernyataan ini bukan hanya membuka luka lama yang belum sembuh, tetapi juga menyingkap persoalan mendasar mengenai relasi antara ingatan sejarah, politik, dan keadilan transisional di Indonesia pasca-Orde Baru.

Pernyataan Fadli Zon ini disampaikan ketika disinggung soal rencana pemerintah menulis ulang sejarah Indonesia. Salah satu bagian dari sejarah yang akan ditulis ulang itu adalah Tragedi Mei 1998. Sebuah tragedi yang merupakan salah satu bab tergelap dalam sejarah Indonesia modern. Tragedi Mei memang menyimpan memori gelap yang sampai hari ini belum terpecahkan.

Di tengah krisis ekonomi dan politik yang memuncak, pecah kerusuhan besar di Jakarta dan sejumlah kota besar saat itu. Dalam kekacauan tersebut, laporan dari berbagai LSM, media, dan organisasi hak asasi manusia mengungkapkan terjadinya pemerkosaan terhadap perempuan, terutama yang berasal dari etnis Tionghoa.

Data dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) menyebutkan ada indikasi kuat bahwa kejahatan seksual terjadi dan menyasar kelompok tertentu.

Hal ini bisa dilihat dari pemberitaan Kompas 22 September 1998 yang menyebutkan, TGPF secara resmi menyampaikan rekomendasi temuannya yang berkaitan dengan kerusuhan 13-15 Mei 1998 kepada pemerintah melalui Menteri Kehakiman, Menhankam/Pangab, dan Menteri Negara Peranan Wanita.

Dalam temuannya, TGPF yakin telah terjadi penyerangan seksual pada saat terjadi kerusuhan tersebut. Temuan TGPF juga menyimpulkan, peristiwa perkosaan terjadi secara spontan dan korban tidak hanya etnis Tionghoa, serta tidak ditemukannya latar belakang kasus dari aspek agama.

Dalam perjalanannya, upaya pencarian keadilan atas kasus ini juga mengalami stagnasi. Laporan TGPF 1998 sendiri belum pernah ditindaklanjuti secara serius dalam bentuk penyelidikan yudisial. Pemerintah sejak era reformasi berganti, belum mampu memberikan kepastian hukum dan moral atas tragedi tersebut.

Bagaimanapun, sejarah merekam kasus ini sejak awal dibungkam oleh ketakutan, trauma, dan minimnya perlindungan hukum bagi korban. Hingga kini, tidak ada satu pun pelaku yang diadili, dan korban sebagian besar memilih bungkam atau tinggal di luar negeri karena stigma dan ancaman keamanan. 

Pernyataan Fadli Zon

Luka dan trauma sejarah itu kembali terbuka setelah dalam wawancara sebuah wawancara pada Juni 2025, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyatakan bahwa “tidak ada bukti kuat soal pemerkosaan massal,” dan bahwa peristiwa tersebut “dibesar-besarkan oleh pihak luar negeri.”

Pernyataan ini sontak menuai kecaman luas dari berbagai kalangan. Banyak yang menilai pernyataan tersebut bukan hanya menyakitkan bagi para penyintas, tetapi juga berbahaya karena berpotensi merevisi sejarah secara sepihak.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan 98 menyebut pernyataan Fadli sebagai bentuk pengingkaran sejarah. Komnas Perempuan, lembaga yang sejak awal mendokumentasikan testimoni korban, menegaskan bahwa pihaknya memiliki bukti dan laporan yang sahih soal kekerasan seksual pada Mei 1998.

Beberapa penyintas yang masih hidup turut angkat suara melalui media sosial, menyatakan kekecewaan dan trauma akibat pernyataan tersebut.

Infografik Rekapitulasi Korban Kekerasan Seksual di Jakarta dan Sekitarnya, Medan, serta Surabaya
 

Pernyataan Fadli Zon bukan yang pertama dalam upaya merelatifkan tragedi Mei 1998. Sebelumnya, sejumlah tokoh militer dan politik juga pernah meragukan validitas data pemerkosaan massal, dengan dalih minimnya korban yang bersaksi secara terbuka.

Argumen ini kerap digunakan untuk melemahkan upaya advokasi dan pengakuan negara atas tragedi tersebut.

Dalam pemberitaan Kompas, pada 4 November 1998 Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Hankam/ABRI Mayjen TNI Syamsul Ma'arif saat itu menanggapi laporan TGPF dan menyatakan bahwa kasus perkosaan yang selama ini dipandang sebagai peristiwa perkosaan massal adalah tidak benar.

Namun, ABRI tetap prihatin dan menyesalkan terjadinya peristiwa tersebut, serta mengharapkan kepada semua pihak agar tidak membesarkan masalah ini, yang mengakibatkan citra martabat bangsa Indonesia merosot di dunia internasional. 

Komitmen penyelesaian

Pada akhirnya komitmen penyelesaian terhadap kasus pemerkosaan massal pada Tragedi Mei 1998 adalah kunci yang selama ini diharapkan.

Sejumlah pejabat di era reformasi sebeanrnya sudah menunjukkan komitmen tersebut. Dalam database peristiwa di Harian Kompas terekam bagaimana komitmen sejumlah pejabat tersebut.

Pada 25 Februari 2000 Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Khofifah Indar Parawansa menyatakan kasus pelecehan seksual yang terjadi pada saat kerusuhan pertengahan Mei 1998, pada prinsipnya dapat dibuka kembali. "Rekomendasi TGPF waktu itu adalah penyelidikan kasus pelecehan seksual Mei 1998 tetap akan diteruskan," kata Khofifah seperti dikutip dalam pemberitaan Kompas.

Infografik riset Sejumlah Pernyataan Pejabat Negara Terkait Kasus Pemerkosaan Massal Mei 1998
 

Hal yang sama juga disampaikan pada 5 Agustus 2000 oleh Menteri Negara urusan HAM Hasballah M Saad yang menyatakan bahwa kasus perkosaan terhadap kaum perempuan etnik Cina pada Mei 1998 di Jakarta tidak terungkap karena tidak seorang pun saksi korban yang mempunyai keberanian dan ketegaran untuk melapor.

Di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, pada 23 Mei 2008 Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Farida Hatta Swasono menyerahkan dokumen tentang kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 kepada Jaksa Agung Hendarman Supandji.

Saat itu Herdarman berjanji akan mengevaluasi dan mempelajari bahan-bahan tersebut. "Kan katanya banyak orang mati dibakar. Perkosaan juga ada di situ. Nanti kami pelajari. Kalau bener ada peristiwa, kami tindak lanjuti," kata Hendarman kala itu. 

Merawat ingatan

Dari polemik yang bermula dari pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon ini, setidaknya bangsa ini kembali diingatkan bahwa ada bagian sejarah yang kelam yang tak bisa dilepaskan dari perjalanan bangsa.

Polemik ini sekaligus menjadi upaya merawat ingatan publik tentang pentingnya penyelesaian kasus-kasus yang bersinggungan dengan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu.

Tentu, polemik ini tidak lahir hanya untuk diskursus publik, tapi lebih dari itu, semestinya bisa menguatkan terus ingatan kolektif publik.

Selain itu semestinya juga mampu memperkuat kembali komitmen negara untuk menegaskan kembali pentingnya pendekatan yang lebih adil dan empatik terhadap sejarah, terutama sejarah kelam yang menyangkut kekerasan negara terhadap warganya sendiri.

Bagaimanapun, menghadapi masa lalu dengan jujur bukan tanda kelemahan, tetapi keberanian moral. Di situlah letak keadaban suatu bangsa. (LITBANG KOMPAS)