Hasil bumi membusuk di kebun, listrik kerap padam, dan perputaran ekonomi nyaris berhenti karena akses pelayaran terganggu.
Oleh Adrian Fajriansyah
BENGKULU, KOMPAS - Hidup di Pulau Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu, kini bak menapaki hari-hari getir yang tak berujung. Sejak akhir Maret 2025, pelayaran dari dan ke pulau ini terganggu akibat pendangkalan alur di Pelabuhan Pulau Baai, Bengkulu.
Akibatnya, hasil bumi warga membusuk di kebun, listrik hanya menyala setengah hari, dan denyut ekonomi nyaris berhenti. Warga terpaksa berutang demi bertahan hidup dan melanjutkan pendidikan anak-anak mereka. Guna melihat kondisi warga secara langsung, Kompas bertandang ke Pulau Enggano, sejak 23 Juni 2025 hingga Senin (1/7/2025).
Iwan Rifki Kauno (46), warga Desa Malakoni, mengajak Kompas menyusuri kebun pisangnya yang kini jadi saksi bisu keruntuhan ekonomi keluarga. Ratusan tandan pisang kepok ukuran jumbo dibiarkan membusuk di pohon. "Daripada rugi panen tapi tidak laku, lebih baik kami biarkan jadi santapan burung liar," ujar Iwan.
Sebelum krisis ini, Iwan meraup Rp 6 juta per bulan dari hasil panen pisang yang dikirim ke Bengkulu. Kini, tak sepeser pun ia kantongi. Bahkan untuk biaya kuliah anaknya di Bengkulu, ia terpaksa berutang Rp17 juta dalam empat bulan. Penjualan pun mustahil karena biaya sewa kapal nelayan mencapai Rp17 juta per perjalanan, membuat para pengepul membeli dengan harga hanya Rp15.000-Rp20.000 per tandan, jauh di bawah harga normal Rp50.000-Rp60.000.
Infografik Pulau Enggano
Keadaan serupa dirasakan warga lain. Handoko Karubi (49), dari Desa Meok, mengaku warga tak bisa melaut karena tak punya modal membeli bahan bakar minyak (BBM) dan logistik. Hasil pertanian yang tak laku membuat tak ada uang untuk memulai aktivitas perikanan.
Efek domino menjalar cepat. Warung makan milik Warmarida (53) sepi. Ia tetap buka demi menyambung hidup, meski pendapatan menyusut drastis. Warung kelontong dan penginapan keluarga Dipo Karubi juga terpukul. Harga barang naik karena harus diangkut dengan kapal sewaan, sementara omzet warung turun dari Rp15 juta menjadi Rp3 juta-Rp5 juta per bulan.
Sementara itu, pasokan BBM menipis. Listrik yang sebelumnya menyala 24 jam kini hanya tersedia 13 jam per hari. Warga kembali ke zaman "bahulak". Hiburan malam lenyap, internet lumpuh, dan malam-malam hanya ditemani sunyi dan langit berbintang. "Kami sudah terbiasa hidup dengan AC dan TV. Sekarang, semua itu jadi mewah," kata Riswan Kauno (41), warga Desa Malakoni.
Kondisi ini membuat sektor pariwisata kolaps. Firdaus Kauno (57), pemilik penginapan, kehilangan tamu. Listrik terbatas dan pelayaran tak menentu membuat wisatawan enggan berkunjung. Tanpa generator karena kelangkaan solar, ia tak mampu menawarkan kenyamanan dasar.
Meskipun pemerintah daerah menyebut telah memberi bantuan sembako, warga merasa bantuan itu tidak sepadan. Ida Rohani (36), warga Malakoni, menyebut sembako hanya berisi 10 kilogram beras dan empat bungkus mi instan. "Pasar murah pun percuma, karena kami tidak punya uang," ujarnya.
Kritik keras juga datang dari Paabuki atau Koordinator Kepala Suku Enggano, Milson Kaitora (58), Menurut dia, masyarakat Enggano tidak mau mengemis uang atau berharap pemerintah memberikan bantuan sembako. Masyarakat hanya berharap akses pelayaran normal agar mereka bisa menjual hasil bumi.
Percepatan pembangunan
Kini, harapan tertuju pada Instruksi Presiden (Inpres) tentang Percepatan Pembangunan Pulau Enggano yang diteken Presiden Prabowo Subianto pada 24 Juni 2025. Inpres itu diharapkan menjadi langkah konkret untuk mengatasi keterisolasian.
Instruksi itu memberi mandat kepada berbagai lembaga, termasuk Kementerian Perhubungan dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), untuk mempercepat pengerukan pelabuhan dan memperbaiki infrastruktur konektivitas laut.
Tak hanya menyentuh soal fisik, inpres tersebut juga mengamanatkan penguatan layanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, energi, dan logistik. Ini berarti, ke depan, distribusi BBM dan akses listrik akan dijamin lebih stabil, serta koneksi internet diperkuat demi mendukung aktivitas ekonomi dan sosial warga.
Pemerintah pusat juga didorong untuk memanfaatkan pelabuhan alternatif seperti Pelabuhan Linau untuk sementara waktu, sambil menata ulang sistem transportasi logistik ke Enggano. Langkah cepat dan tepat sangat menentukan agar hasil bumi tak lagi membusuk dan anak-anak Enggano bisa terus bersekolah.
Namun, warga menanti bukti nyata. Dalam inpres itu, DPR, kementerian terkait, dan pemerintah daerah diminta bersinergi memulihkan Enggano. DPR bahkan mendesak evaluasi pengelolaan pulau-pulau agar kasus serupa tak terulang.
Di lapangan, pengerukan Pelabuhan Pulau Baai terus berlangsung. Tantangan besar berupa longsoran pasir yang kembali menutup alur membuat pengerjaan tak kunjung tuntas. Sebanyak 15 kapal masih terjebak, sementara satu-satunya kapal, KMP Pulo Tello, hanya beroperasi seminggu sekali dan harus bersandar di tengah laut.
Anggota DPRD Provinsi Bengkulu, Suharto, menyarankan pemanfaatan Pelabuhan Linau di Kabupaten Kaur sebagai jalur alternatif. Meski lebih jauh dari Kota Bengkulu, pelabuhan itu memiliki fasilitas memadai dan dapat menjadi penyelamat ekonomi Enggano.
Pertamina sendiri telah mengirim BBM pada Mei dan bersiap mengirim lagi pada Juli. Namun, distribusi tetap terkendala jika akses pelabuhan belum pulih. Pemerintah daerah diimbau tak lagi terpaku pada Pulau Baai dan segera cari solusi jangka panjang, termasuk pembangunan tanggul pemecah ombak agar pendangkalan tak berulang.
Antropolog dari Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah VII Bengkulu-Lampung, Rois Leonard Arios, menyampaikan, sama seperti masyarakat di Pulau Mentawai, Sumatera Barat, dan Pulau Nias, Sumatera Utara, masyarakat Enggano cenderung berkultur agraris. Mereka tidak berkultur maritim walaupun hidup di pulau yang jauh di ujung barat Sumatera di Samudra Hindia.
Itulah yang membuat hasil bumi dari sektor pertanian dan perkebunan menjadi sumber utama pendapatan di Enggano, bukan dari sektor perikanan yang berpotensi sangat besar di laut sekitarnya. ”Karena itu pula, masyarakat Enggano rentan menghadapi masalah saat konektivitas penumpang, barang, dan jasa dari Bengkulu dan sebaliknya terganggu,” ujar Rois.