Jangan tergesa-gesa, langkah desa menerapkan KDMP hanya dilakukan setelah terbit peraturan menteri-menteri terkait.

Oleh Ivanovich Agusta

Banyak pihak telah mengingatkan pemerintah perihal rapuhnya fondasi Koperasi Desa Merah Putih, yaitu didirikan atas perintah Jakarta, minim suara warga, unit usaha diseragamkan, dan didominasi usaha ikutan badan usaha milik negara. Argumennya ditarik dari pengalaman 30 tahun koperasi unit desa dipadati pengurus elitis, tetapi lengang dari keanggotaan warga, lalu mati mendadak begitu Dana Moneter Internasional memotong rantai bisnis BUMN ke koperasi.

Lantaran Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) langsung dipadati utang bank dengan agunan dana desa (Kompas, 11/7/2025), risiko kerapuhannya menjangkiti desa. Efeknya kelak lebih berbahaya, sistemik, dan menjangkau kehidupan ratusan jiwa warga desa di Indonesia. Sebelumnya, pendataan Potensi Desa (Podes) 2024 yang dilakukan Badan Pusat Statistik pada Mei 2024 menunjukkan bahwa di Indonesia ada 84.276 wilayah administrasi pemerintah setingkat desa.

Dari data itu, Podes 2024 mencatat ada 75.753 desa, 8.486 kelurahan, dan 37 Unit Permukiman Transmigrasi (UPT), dan Satuan Permukiman Transmigrasi (SPT) yang masih dibina oleh kementerian terkait. Penduduk di 75.753 desa itu lebih dari 200 juta jiwa. Sementara data dari Kementerian Dalam Negeri mencatat ada 201 juta warganegara yang berdiam di 75.265 desa.

Terkait KDMP, agar terang, risiko sosial-ekonomi sistemik terhadap puluhan ribu desa itu hendak dianalisis berbasis data sehingga rumusan solusinya lebih mengakar.

Rp 680 juta per tahun

Gambaran program KDMP bertahap terbentuk. Seturut Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025, diinstruksikan KDMP melakukan kegiatan di kantor koperasi, seragam berbisnis pengadaan sembako, simpan pinjam, klinik, apotek, cold storage, dan pergudangan, serta logistik. Agar segera beraksi, Menteri Keuangan memutuskan opsi berutang ke Himpunan Bank Negara (Himbara) maksimal Rp 3 miliar dengan tenor 6 tahun dan bunga 6 persen per tahun.

Artinya, suatu KDMP yang mengambil seluruh kesempatan kredit pada akhir tahun ke enam mendapati bunga Rp 1,08 miliar, sehingga kredit bank menjadi Rp 4,08 miliar. Tiap tahun ia wajib membayar angsuran berikut bunga Rp 680 juta, setara Rp 56.666.667 per bulan atau Rp 57 juta per bulan

Kalkulasi bisnis berkonsekuensi seluruh usaha harus menghasilkan keuntungan minimal di atas kewajiban angsuran bank, menutupi biaya operasional, dan mencipta Sisa Hasil Usaha (SHU) kepada anggota. Katakan honor rendah tiga pengurus, satu manajer, dan enam pekerja untuk enam unit usaha sebesar Rp 10 juta/bulan, maka keuntungan usaha KDMP hendaknya di atas 57 juta/bulan, atau di atas Rp 684 juta/tahun. Bisakah KDMP segera menghasilkan profit sebesar itu?

Pada bidang pasokan, produksi dan perdagangan, untuk dapat meraup keuntungan sebesar itu bisa diupayakan melalui usaha beromzet minimal Rp 285 juta/bulan atau Rp 3,42 miliar/tahun. Namun, jika usahanya melulu simpan pinjam, butuh omzet pinjaman ke warga Rp 2,85 miliar/bulan atau Rp 34,2 miliar/tahun. Mampukan pemerintah desa memusatkan ekonomi warga ke unit usaha KDMP agar beromzet selangit?

Begitu KDMP gagal meraih keuntungan setingkat itu, atau merugi, terang dana desa diagunkan menjadi sumber pemenuhan angsuran. Kalkulasi di atas menyimpulkan dana desa yang disedot maksimal Rp 680 juta/tahun selama 6 tahun.

Untuk tahun ini saja, karena Rp 38,1 triliun dana desa telah dibelanjakan (setara 46,5 persen dari Rp 71 triliun), maka angsuran hanya mampu dibayar sekitar 6.000 desa penerima dana desa melebihi Rp 1,27 miliar/desa. Lebih banyak lainnya, sekitar 68.500 desa penerima dana desa di bawah ambang itu, malah butuh berutang lagi ke pihak lain guna menambal angsuran bank, atau menerima denda akibat lalai mengangsur tahun pertama tepat waktu.

Melemahkan desa

Untuk tahun kedua sampai keenam, sekitar 7.600 penerima dana desa Rp 680 juta praktis mengosongkan pembangunan karena habis untuk mengangsur utang. Sedangkan APBDes seluruh desa lainnya dapat berkurang Rp 680 juta/tahun. Jika meraih dana desa Rp 1,36 miliar/tahun saja mengurangi separuh tenaga pembangunan, dampak parah bakal dialami lebih dari 70.000 desa penerima dana desa di bawahnya.

Kiranya tinggal 505 desa terutama di Jawa-Bali dengan APBDes di atas Rp 5 miliar (tahun 2023), yang berpeluang menjalankan KDMP tanpa berutang, serta memajukan koperasi bersama lembaga ekonomi desa lainnya.

Indikator ketersediaan fasilitas dasar dan karakteristik kependudukan digunakan BPS guna membaca kemajuan desa-perdesaan menuju desa-perkotaan. Setelah APBDes dipadati dana desa mulai 2015 (sekaligus menyulut peningkatan transfer pemda ke desa), tercatat kenaikan 14 persen desa-perkotaan (11.861 desa). Sebaliknya, pada era sebelumnya desa-perkotaan turun 4 persen (3.006 desa).

Perbedaan laju desa-perkotaan mengonstruksi gambaran suram pelemahan desa seturut pengalihan drastis dana desa menjadi agunan utang KDMP. Kemenkeu sekaligus mengakhiri asas rekognisi secara kuantitatif (UU Nomor 6/2014 tentang Desa pasal 3), seraya memunggungi kewajiban pemerintah mendanai penugasan desa (pasal 22).

Solusinya, mengalihkan dana tugas pembantuan untuk memodali KDMP (Permenkop UKM Nomor 4/2023), pemdes memanfaatkan aset desa guna mengurangi sebanyak mungkin kebutuhan berutang, serta memanfaatkan utang terutama untuk membeli alat-alat produksi dan membangun insfrastruktur ekonomi. Jangan tergesa-gesa, langkah desa menerapkan KDMP hanya dilakukan setelah terbit peraturan menteri-menteri terkait.

Ivanovich AgustaSosiolog Perdesaan IPB University