Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 menyatakan pemilu nasional dan lokal digelar terpisah mulai 2029. Putusan ini menimbulkan perdebatan politis, bahkan DPR menganggap MK telah melampaui batas kewenangannya. Mengapa ada tafsir seperti itu, bukankah putusan MK sifatnya final dan mengikat?

Perbedaan tafsir tersebut mengarah pada ranah kewenangan pembentuk undang-undang (UU).

MK dianggap tidak konsisten dengan Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang telah memberikan enam opsi model keserentakan pemilu dan menyerahkan pilihan itu kepada pembentuk UU melalui kebijakan hukum terbuka (open legal policy). Namun, dalam putusan terbarunya, MK justru menetapkan sendiri salah satu dari enam model itu (Kompas, 30/6/2025).

Jalur perubahan UU

Idealnya reformasi kepemiluan dilakukan melalui kombinasi jalur akademik-politis. Penyusunan naskah akademik menitikberatkan pada bukti-bukti akademik yang bisa menjadi dasar bagi perubahan sebuah regulasi dan kebijakan.

Masalahnya, perubahan regulasi kerap kali kurang menghadirkan partisipasi bermakna (meaningful participation).

Hampir selama sepuluh tahun terakhir, kecenderungan perubahan UU mengarah pada ”jalan sunyi atau senyap”. Partisipasi bermakna sering kali kurang menjadi bagian penting dari perubahan UU karena para penyusun terjebak pada konflik kepentingan, baik secara politis, sosial, maupun ekonomi.

Dalam konteks perubahan UU terkait pemilu, kewenangan pembentuk UU terjebak pada perhitungan politis-elektoral dan untung rugi atas dampak dari perubahan norma pada UU Pemilu yang akan diubah.

Para politisi lebih memilih jalur perubahan UU melalui jalan sunyi. Partisipasi publik sekadar formalitas karena para pembuat UU sudah memiliki agenda tersendiri.

Jalur inilah yang kemudian dipotong oleh masyarakat sipil melalui uji materi (judicial review) sebagai jalan konstitusional yang memberikan harapan terjadinya perubahan.

Dari berbagai kasus putusan MK yang telah dikeluarkan, MK dianggap berperilaku ganda. Di satu sisi berposisi sebagai negative legislature yang hanya menyatakan suatu norma konstitusional atau tidak, dan terkadang bertindak seperti positive legislature dengan membuat norma baru.

Dokumen Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 menyebut dorongan masyarakat sipil (dalam hal ini Perludem sebagai pemohon) kepada MK agar memberikan pilihan tafsir atas open legal policy pada Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 sebagai akibat tidak adanya perubahan norma UU Pemilu oleh pembentuk undang-undang.

Faktornya memang tersembunyi samar-samar, tetapi cenderung menyiratkan ada permufakatan politik kelas tinggi sehingga meskipun berbagai norma baru telah diputus oleh MK terkait UU No 7/2017, perubahan UU ini tidak kunjung dilakukan.

Dalam konteks itu, posisi MK sebagai positive legislature bisa dipahami. Tujuannya otokritik terhadap proses penyusunan UU yang terlaku ”kental” dengan konflik kepentingan dan pertimbangan-pertimbangan politis yang tak berujung.

Implikasi pemisahan pemilu serentak

Konsekuensi logisnya, para pembentuk UU saat ini tidak bisa lagi ”bergerak bebas” memberikan tafsir atas enam model keserentakan pemilu yang pernah diputus MK di tahun 2019.

Pembentuk UU (pemerintah dan DPR) terkerangkeng atas makna konstitusionalitas pemilu serentak yang harus dipisah, ”pemilu untuk memilih presiden, DPR, dan DPRD yang terpisah paling cepat 2 tahun dan paling lama 2 tahun 6 bulan dengan pemilu kepala daerah, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota”.

Lalu, apa yang perlu dilakukan oleh para pembentuk UU? Pertanyaan lainnya, insentif apa yang akan diperoleh dari desain keserentakan pemilu yang dipisah dibandingan dengan pemilu serentak borongan (lima kotak)?

Mitigasi risiko apa yang perlu dibangun agar permasalahan yang sama tidak terulang dan asumsi-asumsi yang menjadi dasar pemohon dan pertimbangan MK pada Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 bisa dicapai?

Saya mencatat ada sejumlah insentif yang akan terjadi ketika keserentakan pemilu dipisah.

Pertama, proses penyelenggaraan pemilu tidak serentak akan lebih mudah dilakukan. Penyelenggaraan pemilu tidak lagi rumit dan kompleks.

Kedua, partai politik bisa lebih fokus menyiapkan kader-kader terbaiknya untuk proses pencalonan presiden/wakil presiden serta calon anggota DPR. Apalagi, MK telah menganulir pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden menjadi nol persen.

Pembentuk UU bisa mendesain proses pencalonan presiden/wakil presiden yang jauh lebih demokratis, melalui penataan norma baru pada UU Pemilu. Kualitas demokrasi elektoral prapemilu bisa diatur lebih mendekati ideal, ada proses demokratisasi di internal partai, dan pengaturan koalisi partai juga bisa ditata ulang.

Ketiga, partai politik bisa didorong lebih berbenah dalam membangun skema penyiapan calon-calon anggota legislatif.

Keempat, para pembentuk UU bisa memitigasi agar para penyelenggara pemilu lebih profesional dalam menyiapkan penyelenggaraan pemilu, khususnya pada tahapan yang rawan seperti verifikasi partai politik yang dalam dua periode pemilu lalu (2019 dan 2024) selalu menimbulkan permasalahan validitas dan reliabilitas metodologi verifikasi partai peserta pemilu.

Padahal, partai peserta pemilu telah diberi ”tiket gratis” oleh MK untuk mencalonkan calon presiden/wakil presidennya tanpa ambang batas pencalonan presiden/wakil presiden (presidential threshold).

Kelima, keniscayaan perubahan prosedur dan kualitas penyelenggaraan pemilu bisa ditata jauh lebih baik, serta penyelenggara pemilu memberikan jaminan atas komitmen perbaikan tata kelola kepemiluan.

Selain itu, penyelenggara pemilu dan para pemangku kepentingan (stakeholders) terkait juga bisa memperbaiki kualitas pemilih agar partisipasi pada demokrasi elektoral menjadi bermakna dan punya arti.

Meskipun ada insentif positif, pemisahan keserentakan pemilu juga bisa membawa insentif negatif terhadap politik dan demokrasi Indonesia.

 

Pertama, dari pengalaman keserentakan pemilu, magnet politisnya ada pada pemilu presiden, sementara pemilu legislatif (DPR, DPRD provinsi/kabupaten/kota) lebih sepi. Pemilu serentak di sejumlah negara dan juga Indonesia (2019 dan 2024) telah terbukti mendongkrak partisipasi pemilih.

Sementara kecenderungan partisipasi pemilih pada pemilihan kepala daerah (pilkada), sejak pilkada langsung terjadi pada 2015 hingga 2024 yang lalu, angka partisipasi pemilihnya selalu menjadi catatan. Banyak daerah di provinsi/kabupaten/kota angka partisipasinya di bawah 50 persen.

Pemisahan keserentakan pemilu bisa menimbulkan juga efek penurunan partisipasi ini. Asumsi dengan ada jeda 2,5 tahun pemilih bisa memberikan koreksi terhadap partai atas kinerja mereka di eksekutif dan legislatif juga kurang memiliki bukti data yang kuat.

Kedua, basis kepesertaan pemilu legislatif lokal (DRPD provinsi dan kabupaten/kota).

Apakah basis peserta pemilunya adalah partai politik peserta pemilu serentak nasional ataukah partai politik yang memperoleh kursi di DPR? Sementara, dari hasil Putusan MK soal ambang batas parlemen (parliamentary threshold) juga belum ada kesepakatan, apakah akan tetap 4 persen atau di bawah 1 persen?

Ketiga, selain isu perpanjangan masa bakti kepala daerah dan legislatif lokal, ternyata MK dan para pemohon juga mengesampingkan mekanisme pencalonan kepala daerah.

Apakah akan menggunakan dasar pada hasil Pemilu 2024 untuk pemilu serentak lokal (pilkada) tahun 2031 ataukah para pembuat UU bisa menghapus ambang batas pencalonan kepala daerah?

Ada kritik bahwa tiket hasil Pemilu 2024 pada DPRD provinsi/kabupaten/kota yang akan digunakan sebagai basis pencalonan kepala daerah pada pemilu serentak lokal tahun 2031 mengulang isu proses pencalonan presiden/wakil presiden pada tahun 2019.

Keempat, dengan proses pemilihan legislatif lokal yang terpisah dengan legislatif nasional, persoalan akan timbul ketika isu desentralisasi partai politik tidak menjadi dasar pertimbangan pada Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024.

Mengasumsikan bahwa pemilu serentak lokal bisa mendorong proses kaderisasi partai politik, tanpa menyinggung kewenangan desentralisasi partai dalam penentuan calon anggota legislatif lokal, bisa menimbulkan bias elektoral, akibat adanya intervensi dan mekanisme demokrasi dalam rekrutmen politik yang tidak setara.

Kelima, keputusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 bisa juga menggeser tingkat kompleksitas dan beban penyelenggaraan pada pemilu serentak lokal karena hanya berkurang satu kotak.

Akan ada empat kotak (gubernur/bupati/wali kota/DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota) yang bisa saja berdampak sama dengan pola keserentakan pemilu pada tahun 2019 dan 2024.

Bayangan semu daftar pemilih

Terakhir dan juga cukup penting, konsekuensi logis dari pemisahan pemilu nasional dan lokal akan menimbulkan bayangan semu daftar pemilih.

Persoalan ini tidak pernah tuntas hingga pilkada serentak 2024. Kondisi ini bisa menimbulkan masalah baru akibat basis pemilih yang akan berbeda antara pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal.

Selain isu-isu di atas, anggaran juga bisa menjadi rancu, apakah akan ada model sharing dari APBN untuk pemilu legislatif lokal dan APBD untuk pemilihan kepala daerah atau semuanya ditanggung oleh APBD? Pengalaman pilkada serentak 2024 menunjukkan kerumitan soal anggaran ini, apalagi kalau harus ada pemungutan suara ulang.

Moch Nurhasim, Peneliti Utama Pusat Riset Politik BRIN