Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 35/PUU-XXII/2024 kembali menghangatkan mesin pemilu. Setelah lima tahun sejak putusan MK Nomor 55/2019, mesin pemilu tidak bergerak ke arah yang lebih baik.
Pembentuk UU (DPR dan pemerintah) sengaja tak memperbaiki pemilu melalui revisi UU No 7/ 2017 tentang Pemilu.
Dua kali pemilu digelar, yakni Pemilu 2014 dan 2019, tetap menggunakan aturan UU No 7/2017. Padahal, MK telah menawarkan melalui putusan No 55 /2019 ke DPR dan pemerintah, enam jenis keserentakan pemilu, yang harus dipilih pembentuk UU dan dimasukkan dalam revisi UU No 7/2017.
Karena tak ada niat pembentuk UU untuk memperbaiki pemilu, MK mengambil putusan dengan memilih salah satu jenis keserentakan pemilu, yakni dengan memisahkan pemilu nasional untuk memilih calon anggota DPR, DPD, dan calon presiden dan wakil presiden; serta pemilu lokal untuk memilih calon anggota DPRD provinsi, kabupaten/kota dan gubernur, dan bupati/wali kota.
Setelah putusan MK Nomor 35/2024, sudah ada niat pembentuk UU untuk memperbaiki pemilu secara serius. Sebagaimana yang disaksikan saat ini, mesin pemilu kembali dihangatkan melalui perbaikan UU No 7/2017 yang akan dilakukan secara kodifikasi. UU Pemilu dan UU Pilkada dijadikan satu. Saat ini, tengah bergulir di parlemen.
Apa perbaikan yang hendak disasar MK melalui putusan Nomor 35/2024 tersebut?
Setelah membaca dengan sangat hati-hati putusan MK No 35/2024, penulis berpandangan, ada tiga sasaran penting atau sasaran perbaikan yang dituju MK melalui putusannya.
Pertama, perbaikan partai politik. Parpol sebagai langganan tetap peserta pemilu setiap pemilu digelar adalah organisasi yang bersifat publik pertama yang hendak diperbaiki MK. Perbaikan yang diharapkan MK adalah agar parpol serius dan sungguh-sungguh melaksanakan fungsi kaderisasi.
Dengan pemilu digelar lima kotak, parpol belum maksimal melakukan kaderisasi. Ketika pun ada, hanya saat pemilu digelar. Alih-alih melakukan kaderisasi untuk diorbitkan mengisi jabatan-jabatan di lembaga legislatif dan eksekutif, parpol justru lebih memilih orang-orang yang tak pernah menjadi kader di partai.
Lalu, orang itu dicalonkan secara tetiba di lembaga legislatif, baik untuk menjadi calon anggota DPR, DPRD provinsi maupun di DPRD kabupaten/kota. Pada kondisi ini, yang perlu bagi parpol bukan jam terbang calon di panggung pengaderan, melainkan modal yang kuat untuk membiayai pencalonan.
Kapasitas kader ada di urutan kesekian, yang penting calon berkantong tebal. Partai sudah berubah menjadi firma politik yang mengeruk keuntungan sesaat. Transaksional ada tiket ada uang, sulit dielakkan.
Ini sama saja dengan memelihara kelapa condong. Setelah kader partai merawat kelapa dengan memupuknya agar berbuah, setelah berbuah justru orang lain yang memetiknya. Ini pulalah yang menyebabkan orang enggan masuk ke partai.
Sudah tidak ada gaji yang diterima tiap bulan, harus menyumbang pula baik tenaga maupun uang dalam kegiatan-kegiatan partai. Tiba waktu pencalonan, harus gigit jari karena diimpit kesempatannya oleh orang yang punya modal.
Dengan desain pemilu yang dipisahkan MK, ada harapan parpol serius melakukan kaderisasi di internal partai. Parpol tidak akan grusa-grusu mencari kader. Ada cukup waktu bagi parpol untuk menyiapkan kader, baik untuk pemilu nasional maupun pemilu lokal. Tidak akan ada lagi parpol mencari kader dengan memasang iklan di bursa kerja.
Parpol tidak akan dirasakan kehadirannya lagi ketika pemilu tiba, akan tetapi fungsi-fungsi parpol, terutama fungsi kaderisasi, akan dirasakan sepanjang waktu oleh masyarakat. Dan, yang tak kalah penting adalah ada jeda waktu sebagaimana yang disebutkan MK dalam putusannya selama 2 tahun atau 2,5 tahun untuk mengevaluasi partai di pemilu lokal.
Kedua, penyelenggara pemilu, terutama Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), organ Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang berada di lapis bawah. Ini juga termasuk sasaran yang ingin diperbaiki MK melalui putusan No 35/2024. Dengan pemilu lima kotak pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019, semakin menunjukkan bahwa begitu beratnya tugas yang diemban KPPS.
Mereka menghitung perolehan suara untuk lima kotak jenis pemilu dengan jumlah suara yang akan dihitung sangat banyak, dari berbagai tingkatan mulai dari pemilu DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan pemilihan presiden/wakil presiden (pilpres).
Tak sedikit di antara mereka meninggal akibat beban pekerjaan yang amat berat. Lalu, negara hanya memberi mereka gelar sebagai pahlawan demokrasi. Bagaimana nasib anak-anak dan istri mereka saat ini tak lagi menjadi perhatian setelah orang yang mereka hitung suaranya pada dua kali pemilu itu dilantik dan menduduki singgasana kekuasaan.
Ketiga, pemilih. Pemilih adalah sasaran yang ingin diperbaiki MK. Bagaimanapun, segala perbaikan pemilu pasti ditujukan untuk kemudahan pemilih dalam memberikan hak suaranya. Pemilu lima kotak telah membuktikan bahwa begitu susahnya pemilih dalam memberikan suaranya.
Apalagi, dengan jumlah caleg yang sangat banyak, baik untuk DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, maupun DPD, pemilih tak mengenali para caleg. Jika kenal pun, hanya caleg kabupaten/kota yang memiliki hubungan emosional yang dekat dengan pemilih.
Selebihnya, pemilih hanya melihat di baliho, iklan di televisi, dan alat peraga lainnya. Kesulitan pemilih dalam memberikan hak pilih menyebabkan banyaknya suara tak sah, yang jumlahnya selalu mengalami peningkatan setiap pemilu digelar. Padahal, suara itu cerminan kedaulatan rakyat. Ia tidak boleh terbuang hanya karena persoalan teknis. Banyak pesan di balik suara tidak sah. Namun, ia tak dihitung karena pemilih salah dalam memberikan suara.
Tiga sasaran itu yang hendak diperbaiki MK melalui putusan No 35/2024. Perbaikan itu saat ini belum menjadi nyata karena baru ada dalam putusan MK, dan tugas pembentuk UU menindaklanjutinya menjadi nyata dengan memasukkannya dalam revisi UU No 7/2017 tentang Pemilihan Umum. Semoga.
Zennis Helen, Dosen Hukum Tata Negara, Pemilu, dan Kepartaian Fakultas Hukum Universitas Ekasakti Padang