Sebanyak 75,25 persen aparatur sipil negara atau ASN Indonesia menyadari pekerjaan mereka berisiko terdampak oleh teknologi dan otomatisasi. Namun, sebagian besar dari mereka belum memiliki strategi atau pelatihan untuk beradaptasi.
Ironisnya, banyak ASN tak tahu siapa pengganti mereka saat pensiun. Ini bukan sekadar soal disrupsi teknologi, melainkan juga krisis regenerasi dan keberlanjutan institusi publik.
Temuan di atas merupakan hasil survei Lembaga Administrasi Negara (LAN) RI pada Juni 2025 lalu, yang bertajuk ”Disrupsi Pekerjaan dan Keterampilan Strategis ASN dalam Mendukung RPJMN 2025-2029 dan Astacita Presiden”.
Indonesia sedang berada di titik krusial. Di tengah dunia yang bergerak cepat oleh algoritma dan akal imitasi (artificial intelligence/AI), birokrasi kita justru terjebak dalam langkah yang lamban.
Ketika negara-negara maju mulai menyerahkan sebagian fungsi layanan publik kepada mesin, kita masih sibuk mempertanyakan: bagaimana peran manusia bertahan dalam sistem yang makin otomatis?
Pekan lalu, Pemerintah Inggris menandatangani kerja sama strategis dengan OpenAI untuk mengintegrasikan AI ke sektor publik. Taiwan meluncurkan proyek AI senilai 510 miliar dollar AS sebagai fondasi ekonomi digital masa depan. Dunia sedang melompat menuju birokrasi yang cerdas, prediktif, dan otomatis.
Pertanyaannya, masihkah manusia dibutuhkan dalam sistem yang serba digital?
Meski realitas tersebut memprihatinkan, publik masih menunjukkan optimisme.
Survei Litbang Kompas, 30 Juni 2025, mencatat bahwa 51,1 persen responden puas dengan kinerja ASN, dan 74,1 persen yakin pelayanannya akan makin baik ke depan. Namun, persepsi ini diiringi keluhan klasik: korupsi (29,8 persen), rendahnya kompetensi profesional, dan lambannya respons layanan publik.
Menariknya, hasil survei LAN justru menyoroti bahwa lima keterampilan strategis masa depan ASN tak didominasi teknologi, melainkan: (1) etika, keberlanjutan, dan nilai publik, (2) keterampilan sosial-emosional, (3) kepemimpinan dan adaptabilitas, (4) berpikir analitis, dan baru kemudian keterampilan digital.
Hal ini mengindikasikan bahwa disrupsi tak hanya menuntut kecakapan teknis, tetapi juga fondasi moral, empati, dan kemampuan berpikir kritis yang lebih dalam.
Tantangan ASN hari ini tidak bisa dijawab dengan pelatihan reaktif atau digitalisasi parsial. Diperlukan sistem manajemen talenta nasional yang lebih strategis, lintas kelembagaan, dan berorientasi masa depan. LAN sebagai pengampu pengembangan kompetensi ASN memiliki posisi strategis untuk jadi arsitek ekosistem talenta publik nasional.
Beberapa negara telah lebih maju. Korea Selatan mengembangkan Talent Readiness Index untuk memetakan kesiapan talenta terhadap jabatan kunci. Singapura menyiapkan jalur suksesi ASN dengan sistem rotasi, pelatihan kepemimpinan, dan learning passport. Sementara kita masih terpaku pada pendekatan pelatihan generik yang tak menjawab kebutuhan jabatan masa depan secara spesifik.
Jika tidak segera disiapkan, birokrasi akan kehilangan bukan hanya pegawainya, melainkan juga memorinya, nilai publiknya, dan kepercayaan rakyat terhadapnya.
Kasus Vietnam menjadi pelajaran penting. Dalam dua tahun terakhir, lebih dari 80.000 pegawai negeri sipil (PNS) dipangkas untuk efisiensi fiskal, tetapi tanpa reformasi sistemik, sehingga pelayanan publik pun kolaps.
Sebaliknya, Singapura berinvestasi pada ASN sebagai ujung tombak perubahan: berintegritas, berbasis data, dan siap memimpin di era ketidakpastian.
Efisiensi memang penting, tetapi efisiensi tanpa kompetensi justru menciptakan risiko sistemik. Publik bukan sekadar membutuhkan layanan cepat, tetapi juga adil, adaptif, dan manusiawi. Maka, reformasi birokrasi bukan soal memotong jabatan, tapi menyiapkan generasi baru ASN yang mampu menjadi penopang masa depan republik.
Jika negara ingin birokrasi yang adaptif, berintegritas, dan berpihak pada rakyat, memperkuat LAN sebagai pusat pengembangan kapasitas nasional bukan sekadar pilihan, melainkan keharusan.
LAN tengah bergerak menjadi center of excellence dalam pengembangan kompetensi dan tata kelola sumber daya manusia (SDM) aparatur berbasis masa depan.
Namun, transformasi ini tak akan tuntas tanpa dukungan penuh, baik dari mandat lintas kelembagaan, pendanaan strategis, maupun integrasi sistem data talenta nasional.
Di tengah disrupsi birokrasi, peran LAN bukan lagi sekadar pelatih, melainkan arsitek ekosistem talenta publik yang menyiapkan aparatur unggul dan adaptif.
Seperti yang diungkap Peter Drucker, ”The best way to predict the future is to create it.” Maka, keberanian menciptakan masa depan ASN harus dimulai dari hari ini—dengan strategi, bukan sekadar pelatihan; dengan visi, bukan hanya prosedur.
Azizah Puspasari Analis Kebijakan Direktorat Advokasi dan Pengembangan Kinerja Kebijakan LAN RI