Kerja sama digital antara Indonesia dan Amerika Serikat baru-baru ini kembali menjadi sorotan. Salah satu isu yang paling krusial adalah menyangkut transfer data pribadi warga negara Indonesia ke luar negeri sebagai bagian dari kesepakatan teknologi dan ekonomi digital lintas negara. Pemerintah mendorong integrasi sistem digital yang lebih efisien dan terhubung dengan ekosistem global. Namun, di balik janji efisiensi dan pertumbuhan ekonomi digital, muncul pertanyaan yang tak kalah penting: siapa yang paling rentan ketika data pribadi dijadikan komoditas dalam kerja sama internasional?
Persoalan ini sangat politis dan berdampak luas pada tatanan sosial kita. Menurut Couldry dan Mejias (2019), data telah menjadi new oil dalam ekonomi global saat ini. Ia bukan lagi sekadar catatan dan angka agregat, melainkan kekuatan yang bisa membentuk arah kebijakan publik, memengaruhi strategi pasar, bahkan menentukan arah perkembangan kecerdasan buatan. Ketika data warga Indonesia, terutama yang paling minim akses informasi, mengalir ke server atau peladen asing tanpa sepengetahuan atau persetujuan yang jelas, kita menghadapi persoalan besar soal keadilan dan transparansi digital.
Shoshana Zuboff dalam bukunya The Age of Surveillance Capitalism mengingatkan bahwa kapitalisme pengawasan secara sepihak mengklaim pengalaman manusia sebagai bahan mentah gratis untuk diterjemahkan menjadi data perilaku. Dalam konteks Indonesia, pernyataan ini sangat relevan. Data warga terutama dari komunitas perdesaan telah dijadikan ”bahan mentah” oleh sistem yang tidak memberi ruang kepada mereka untuk memilih, menolak, atau memahami sepenuhnya bagaimana data itu digunakan. Mereka menjadi subyek yang diam dalam arus besar digitalisasi global.
Di balik kesibukan membangun ekosistem digital nasional, masyarakat desa justru menjadi aktor yang paling tak terdengar. Mulai dari program Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN), penyaluran bantuan sosial berbasis data, hingga sensus digital telah menghimpun data jutaan data warga desa dari seluruh Indonesia. Sayangnya, proses ini berlangsung secara satu arah. Warga diminta memberikan data identitas, biometri, dan informasi pribadi lainnya tanpa penjelasan mendalam mengenai penggunaannya, hak-hak digital mereka, atau ancaman kebocoran data.
Tidak ada forum publik di tingkat desa yang secara khusus membahas perlindungan data pribadi. Tidak ada literasi digital sebagai bagian dari kebijakan negara. Hasilnya, data dikumpulkan secara masif dari komunitas yang minim daya tawar, lalu diolah entah di mana, sering kali oleh pihak ketiga, bahkan luar negeri. Ketika proses pengambilan data dilakukan tanpa pemahaman, keterlibatan, dan pengawasan yang setara, yang tercipta adalah ketimpangan digital dalam wajah baru.
Ketimpangan ini semakin terasa jika dilihat dari sudut pandang global. Negara-negara Global North, seperti Amerika Serikat, yang menjadi pusat ekosistem digital global, memiliki infrastruktur dan sistem hukum canggih untuk mengelola data. Sebaliknya, negara-negara Global South, seperti Indonesia, sering kali hanya menjadi sumber data mentah, tanpa memiliki kontrol penuh terhadap nilai tambah dan arah pemanfaatan datanya. Ketika warga desa di Indonesia menjadi bagian dari basis data (database) global tanpa perlindungan dan partisipasi, kita sedang menyaksikan bentuk baru dari kolonialisme informasi.
Zuboff menekankan bahwa keberhasilan kapitalisme pengawasan bergantung pada kerahasiaan, eksklusivitas, dan kemampuannya untuk beroperasi di luar pengawasan dan kendali demokratis. Ini menjadi gambaran tepat bagi situasi kita: perjanjian antarnegara mengenai data digital dibuat di balik meja-meja diplomatik, tanpa pelibatan publik, apalagi warga yang paling terdampak: masyarakat desa. Ini bukan sekadar kegagalan transparansi, melainkan sebuah pengabaian terhadap prinsip demokrasi digital.
Dalam konteks tersebut, pendekatan top-down pemerintah dalam menyusun regulasi dan menjalin kerja sama digital internasional perlu dikaji ulang secara serius. Diplomasi digital yang tidak melibatkan komunitas lokal, baik dalam proses konsultasi maupun dalam perlindungan hak digital, berisiko mengabaikan aspek keadilan sosial dan kedaulatan data. Kedaulatan tidak boleh hanya dimaknai sebagai wewenang negara, tetapi juga hak komunitas atas data yang mereka hasilkan sendiri.
Sudah saatnya Indonesia mulai membangun pendekatan yang lebih demokratis dan desentralisasi dalam tata kelola data. Salah satu jalan ke depan adalah dengan mendorong narasi kedaulatan data berbasis komunitas, dengan warga desa yang tidak hanya diminta datanya, tetapi juga diberdayakan untuk memahami, mengelola, dan menjaga data tersebut.
Dalam konteks ini, pendekatan seperti Data Desa Presisi menjadi penting untuk dikembangkan dan direplikasi. Berbasis pemetaan spasial, sensus partisipatif, dan keterlibatan langsung masyarakat, Data Desa Presisi tidak hanya menghasilkan data yang lebih akurat dan kontekstual, tetapi juga mengembalikan kontrol data kepada komunitas itu sendiri. Hal ini bisa dimulai dengan membangun literasi digital di tingkat desa, mengadakan forum komunitas untuk membahas hak digital, serta membangun infrastruktur data lokal yang aman dan transparan.
Regulasi pun harus berubah dari sekadar melindungi negara dari serangan siber menjadi melindungi rakyat dari penyalahgunaan data. Mekanisme persetujuan yang jelas, transparansi dalam pemanfaatan data, dan perlindungan terhadap data komunitas adalah langkah-langkah minimum yang harus dijalankan. Apabila tidak, kita hanya akan menyaksikan bagaimana warga desa yang dahulu dimarginalkan dari ekonomi dan pendidikan kini juga dimarginalkan dari hak digitalnya sendiri.
Kedaulatan data sejati dimulai dari pengakuan bahwa setiap individu dan komunitas memiliki hak atas informasi yang mereka hasilkan. Pemerintah, akademisi, dan masyarakat sipil harus bersama-sama memastikan bahwa suara desa tidak dikecualikan dari arsitektur digital nasional. Desa bukan hanya sumber data, melainkan juga pemilik masa depan digital Indonesia. Sebab, dari desa, data Indonesia berasal. Maka, kepada desa pula kedaulatan itu harus dikembalikan.
Sampean, Mahasiswa Doktoral Sosiologi Pedesaan IPB University dan Peneliti Lab Data Desa Presisi, IPB University