Homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Pernyataan yang disampaikkan Thomas Hobbes dalam karyanya De Cive (1651) relevan dengan keadaan saat ini. Problematika hak cipta yang sedang ramai, yaitu pencipta lagu merasa kurang dihargai oleh penyanyi atau mantan partner dalam sebuah grup musik (band). Dulunya mereka adalah kumpulan musisi yang berjuang dan berkarya bersama, tetapi karena terjadi konflik muncul sentimen berujung kasus hukum.
Lagu dan/atau musik menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU HC) adalah obyek yang dilindungi hukum. Minimnya permasalahan hak cipta terjadi apabila pencipta lagu atau pemegang ciptaan atas lagu tersebut juga merupakan penyanyi. Penyanyi dalam UU HC disebut sebagai pelaku pertunjukan. Namun, permasalahan khususnya terkait hak ekonomi jamak terjadi apabila pelaku pertunjukan bukan merupakan pencipta lagu atau pemegang ciptaan.
Tercipta bahkan menjadi hitsnya sebuah lagu adalah perpaduan kemampuan dari berbagai subyek. Kepiawaian pencipta lagu ataupun aransemen musik ditopang dengan kecocokan penyanyi membawakan lagu sehingga diterima masyarakat merupakan mata rantai populernya sebuah lagu. Subyektivitas menjadi dominan dalam melihat salah atau benarnya subyek hukum yang terlibat, kecuali penilaian Hakim terhadap unsur kesengajaan melanggar hukum alias niat jahat (mens rea) terpenuhi.
Menarik mencermati persidangan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 22 Juli 2025 dengan agenda Mendengar Keterangan Ahli dan Saksi Pemohon Perkara Nomor 28/PUU-XXIII/2025 jo 37/PUU-XXIII/2025 terkait Pengujian Materiil UU HC.
Dalam sidang itu, Sammy Simorangkir, mantan vokalis band Kerispatih, tentu berperan dalam populernya lagu Kerispatih yang berjudul Bila Rasaku Ini Rasamu ciptaan Badai, sesama mantan Kerispatih. Namun, Badai selaku pencipta tidak memberi izin Sammy Simorangkir membawakan lagu kecuali memberikan honorarium Rp 5 juta. Sammy tentu merasa keputusan Badai tidak tepat karena faktanya lagu dengan hasil dari vokalnya tersebut juga sampai saat ini masih tayang dalam berbagai platform.
Menurut Arief Hidayat selaku Hakim MK dan Muhammad Fatahillah Akbar selaku Ahli Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada, iklim bermusik di Indonesia terancam apabila ancaman pidana sebagai primum remedium (upaya utama), bukan ultimum remedium (upaya terakhir) dalam penegakan hukum hak cipta. Penyanyi berbakat takut masuk penjara daripada ikut berperan memopulerkan karya lagu rekan, bahkan dalam keadaan sedang tidak berkonflik dengan rekannya tersebut.
Lawrence M. Friedman menyatakan, substansi hukum adalah salah satu elemen yang penting dalam sistem hukum. Implementasi substansi hukum adalah UU dan segala peraturan perundang-undangan lainnya. Pasal 95 UU HC menyatakan, alternatif penyelesaian sengketa (APS), khususnya mediasi, adalah jalan yang harus ditempuh sebelum melakukan tuntutan pidana. Pengaturan mediasi dalam UU HC ternyata sangat terbatas, dengan hanya 1 (satu) pasal.
Secara khusus UU yang mengatur APS adalah UU Nomor 30 Tahun 1999, tetapi hanya komprehensif mengatur arbitrase, padahal jenis APS lainnya adalah konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli. Perma Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan malah mengecualikan kasus hak cipta karena merupakan sengketa yang diselesaikan melalui prosedur Pengadilan Niaga.
Permenkumham Nomor 1 Tahun 2023 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Kekayaan Intelektual juga kurang serius dalam menerapkan pidana sebagai ultimum remedium karena menyatakan proses penyelesaian sengketa hak cipta melalui mediasi tidak menghentikan proses hukum pidana.
Meminimalisasi sengketa terkait hak cipta harus dilakukan dengan revisi UU HC, khususnya pada keseriusan penggunaan penyelesaian sengketa melalui APS. Menimbang urgensi akibat kegaduhan terkini adalah lebih tepat revisi pengaturan APS di dalam UU HC daripada harus membentuk baru UU APS yang sudah usang (berlaku sejak tahun 1999-sekarang).
Penambahan pasal terkait upaya dan sanksi administratif, atau kecuali pada tindak pidana berupa pembajakan diperlukan upaya keperdataan yang tidak bersamaan dengan proses pidana. Harapan juga kepada Mahkamah Konstitusi agar memberikan putusan judicial review atas UU HC yang memenuhi rasa keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum.
UU HC adalah pengaturan yang bersifat khusus di luar KUHP sehingga jangan setengah-setengah dalam memberikan pengaturan lex specialis. UU HC harus komprehensif mengatur sehingga tercapai kemanfaatan bagi masyarakat. Sebagaimana utilitarianisme dalam hukum bahwa hukum, menurut Jeremy Bentham, haruslah memberikan kebahagiaan bagi banyak orang.
Herlambang Fadlan Sejati, Analis Hukum Kementerian Hukum RI, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada