Sidang uji formil UU TNI sudah rampung digelar. Kini, giliran sembilan hakim MK menentukan sikap apakah proses pembuatan UU tersebut konstitusional ataukah tidak.
Oleh Susana Rita Kumalasanti
Setelah melalui tujuh kali persidangan untuk tiap-tiap perkara, permohonan uji formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia memasuki babak akhir. Beberapa pekan ini menjadi masa-masa kritis di mana sembilan hakim konstitusi akan mengambil sikap, mengabulkan ataukah menolak uji formil yang diajukan oleh lima pihak beperkara.
Dari sekitar 14 perkara uji formil UU TNI, hanya tersisa lima permohonan pembatalan UU 3/2025 yang bertahan hingga pembuktian bahwa proses pembuatan UU tersebut cacat formil. Perkara lainnya sudah kandas lebih dulu karena para pemohon gagal menguraikan keterkaitan antara proses revisi UU TNI dan kerugian konstitusional yang mereka alami.
Dalam perkara ini, para pemohon sudah berupaya maksimal untuk membuktikan dalil-dalil mereka dengan menghadirkan sejumlah ahli dan saksi. Begitu pula pemerintah dan DPR. Bahkan, DPR yang biasanya jarang mengajukan ahli dalam persidangan di MK, pada perkara uji formil UU TNI ini, mereka mengajukan tiga ahli.
Pada Selasa (5/8/2025) lalu, para pihak sudah menyerahkan kesimpulan terhadap perjalanan perkara. MK memang sudah merampungkan sidang pada 28 Juli 2025.
Lantas, apakah MK mengabulkan permohonan pembatalan UU TNI secara keseluruhan?
Jawabannya beragam. Ada yang masih menyimpan harapan, tetapi tak sedikit yang sudah menyerah terhadap MK. Beberapa kalangan sudah tak menaruh lagi harapan bahwa MK akan meluruskan hal-hal yang dianggap ”bengkok” dalam proses legislasi UU TNI.
”Peluang dikabulkannya pengujian formil ke depan memang akan semakin sulit dan tertutup,” kata Viktor Santoso Tandiasa, advokat yang sehari-hari beracara di Mahkamah Konstitusi, saat dihubungi pada Jumat (8/8/2025).
Pendapat tersebut bukan tanpa dasar. Ia merujuk pada putusan MK Nomor 25/PUU-XX/2022 terkait perkara uji formil UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) dan 132/PUU-XXII/2024 tentang Pengujian Formil UU Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE).
Secara garis besar, putusan MK 25/2022 menolak semua dalil yang diajukan Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN) karena dinilai tak beralasan hukum. PNKN mendalilkan, proses pembentukan UU IKN mengabaikan prosedur pembentukan perundang-undangan yang diatur di dalam UU Nomor 12 Tahun 2011. Selain itu, UU IKN juga dinilai dibentuk secara diam-diam dan kilat (fast track legislation).
Namun, MK menolak dalil-dalil pemohon. MK menganggap proses penyusunan UU IKN sudah sesuai dengan prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan. Mengenai prosesnya yang relatif cepat, MK berpandangan proses pembentukan UU tidak tergantung pada cepat atau lambatnya pembahasan. Hal yang terpenting, proses tersebut sudah mengikuti kaidah di dalam UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP). Selain itu, juga telah dilaksanakan secara sungguh-sungguh dan serta penuh kehati-hatian.
”Terkait dengan waktu penyelesaian dan pembahasan yang terkesan seperti cepat atau fast track legislation merupakan bagian dari upaya pembentuk undang-undang untuk menyelesaikan undang-undang pada umumnya, termasuk dalam hal ini UU 3/2022, yaitu sejak suatu RUU diusulkan masuk dalam Prolegnas jangka menengah. Terlebih lagi, menurut Mahkamah, terkait dengan frame waktu pembentukan sebuah undang-undang, UU 12/2011 dan perubahannya sampai saat ini tidak memberikan ketentuan yang definitif kapan suatu RUU yang telah masuk dalam Prolegnas akan diselesaikan,” demikian dikutip dari pertimbangan hukum MK dalam putusan 25/2022 halaman 350.
Begitu pula terkait pembahasan proses RUU yang tertutup, MK juga menganggap hal itu bukan sebuah persoalan penting. Proses pembahasan tertutup itu pun tidak bisa menjadi alasan untuk membatalkan sebuah produk legislasi.
Pendapat tersebut setidaknya terungkap ketika tujuh hakim menyatakan tidak masalah jika sebagian besar rapat membahas RUU digelar tertutup. Dalam pertimbangan putusan nomor 132/2024 disebutkan, UU 32/2024 dibahas dalam 21 rapat pembicaraan tingkat I dan satu rapat pembicaraan tingkat II. Dari 22 kali rapat itu, empat di antaranya digelar terbuka, sedangkan 18 lainnya berlangsung tertutup.
”Sekalipun sifat rapat pembahasan RUU Perubahan UU 5/1990 ada yang dinyatakan sebagai rapat tertutup, informasi terkait isi rapat tidak dinyatakan rahasia sehingga informasi terkait dengan pembahasan yang telah dilakukan dalam rapat dapat disampaikan secara garis besarnya kepada masyarakat melalu awak media dalam wawancara setelah rapat pembahasan maupun wawancara terkait dengan perkembangan pembentukan RUU Perubahan UU 5/1990. Dengan demikian, meskipun rapat dinyatakan tertutup, masyarakat tetap dapat mengetahui pembicaraan dalam rapat dimaksud melalui catatan rapat baik seluruh maupun sebagian isi pembahasan,” demikian pertimbangan hukum putusan 132/2024 halaman 301.
Oleh karena itu, MK menolak permohonan untuk membatalkan UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang diajukan tiga lembaga. Ketiga lembaga itu adalah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara).
Viktor yang menjadi kuasa hukum perkara 132/2024 pun mengatakan, melalui putusan tersebut, MK telah memberi penafsiran terhadap asas keterbukaan dalam pembahasan sebuah RUU. Asas keterbukaan, menurut MK, tak harus dimaknai harus dilakukan dalam sidang terbuka, tetapi yang penting informasi dapat diketahui publik.
Pengajar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Allan FG Wardhana, mengatakan, dengan membaca putusan UU 32/2024, arah putusan MK terkait uji formil UU TNI sudah terlihat.
”Wis cetho welo-welo (sudah terang benderang),” ujar Allanm yang juga tidak terlalu optimistis uji formil UU TNI dikabulkan.
Menurut dia, MK memang belum benar-benar menerapkan semangat pengujian formil yang berimplikasi pada dibatalkannya UU secara keseluruhan. Mengacu pada ketentuan Pasal 52 Ayat (2) UU MK, seharusnya MK bisa membatalkan secara keseluruhan UU yang tidak memenuhi syarat formil. Dengan demikian, fungsi check and balances antara MK dan para pembentuk undang-undang dapat terjaga.
”Belum terdapatnya preseden pembatalan keseluruhan UU bisa menjadi legitimasi pembentuk UU untuk terus membentuk UU dengan mengabaikan syarat formil. Salah satunya syarat partisipasi publik yang bermakna,” ujar Allan.
Putusan 91/PUU-XVIII/2020 terkait uji formil UU Cipta Kerja bukanlah pembatalan UU secara keseluruhan. Sebab, faktanya UU tersebut masih dianggap berlaku sampai adanya perbaikan. Padahal, seharusnya jika dinilai batal secara formil, UU tersebut harus dibatalkan tanpa syarat apa pun.
Allan menganggap norma mengenai pengujian formil hingga kini masih sebatas hiasan. Sebab, norma-norma itu belum diterapkan secara konsekuen. Padahal, hal itulah yang menjadi kekuatan MK dalam memainkan peran check and balances terhadap pembentuk UU.
Saat ditanya apakah ada kemungkinan MK memiliki sikap berbeda dalam pengujian formil UU TNI, Allan mengatakan, ”Kalau melihat tren putusan pengujian formil, sulit untuk berharap pada MK membatalkan keseluruhan UU-nya. Seandainya nanti dikabulkan dan terjadi pada UU TNI, berarti itulah harapan kita selama ini dalam pengujian formil. (Tapi) Memangnya MK berani?”
Tetap punya harapan
Pada Selasa (5/8/2025), kuasa hukum perkara 81/2025 menyerahkan kesimpulan atas perkara uji formil yang sudah berlangsung dalam tiga-empat bulan kepada Kepaniteraan MK. Salah satu kuasa hukum perkara 81/2025, Muhammad Fadhil Alfathan Nazwar, mengaku tetap optimistis MK akan mengabulkan permohonannya.
Memang, menurut dia, putusan uji formil UU 32/2024 sedikit banyak mengungkap kisi-kisi dari putusan uji formil UU TNI. Setidaknya putusan itu mengungkap sikap MK terhadap proses pembentukan undang-undang yang dilakukan secara tertutup.
”Tapi, secara proses, revisi UU TNI kami nilai lebih parah. Bukan hanya tertutup, substansi pun enggak ada. Bahkan, kami sejak awal mendalilkan, ibaratnya masak mau masak nasi goreng, nasinya saja kita nggak tahu. Artinya, secara perencanaan ini sudah gagal, gagal dengan sendirinya. Gagal secara otomatis,” kata Fadhil.
Selain itu, pihaknya juga tidak menemukan revisi UU TNI dalam daftar RUU kumulatif terbuka. Padahal, pembentuk UU menyebut bahwa revisi UU TNI masuk dalam daftar kumulatif terbuka sebagai tindak lanjut putusan MK.
Menurut Fadhil, hanya ada dua undang-undang yang masuk ke dalam daftar tersebut, dan itu bukan UU TNI.
”Mau dibilang apa lagi? Carry over. Periode sebelumnya tidak sampai pada pembahasan DIM, jadi tidak memenuhi tiga prasyarat carry over. Mau dibilang apa lagi? Prolegnas prioritas? Proses untuk masuk prolegnas prioritas ada prosedur yang harus ditempuh dan ini juga tidak ada lagi. Mau pakai (alasan) apa lagi? Urgensi nasional? Kayaknya banyak undang-undang lain yang kita lihat secara logis lebih punya urgensi,” kata Fadhil.
Berdasakan alasan-alasan tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Sektor Keamanan tetap optimistis nasib perkara uji formil UU TNI tidak akan seperti perkara yang UU 32/2024. Banyak perbedaan antara proses pembentukan UU KSDAHE tersebut dan UU TNI. Boleh dibilang, kedua perkara tersebut memiliki dimensi yang berbeda.
Optimisme memang harus tetap dijaga. Seperti kata Fadhil, meskipun tetap dihinggapi sedikit rasa waswas, mereka tidak punya pilihan lain, kecuali terus menjaga harapan.
Kita tunggu saja hingga pertengahan September mendatang. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, MK harus memutus perkara ini paling lama 60 hari sejak pemerintah dan DPR memberi keterangan. Kedua lembaga pembentu UU itu pun sudah memberikan keterangan pada 23 Juni lalu.