Penerapan royalti musik di tempat usaha, seperti kafe, restoran, dan hotel, menuai pro-kontra. Bagaimana solusi terbaik yang menguntungkan semua pihak?

Oleh Caecilia Mediana, Yosepha Debrina Ratih Pusparisa, Aguido Adri, Agustinus Yoga Primantoro

Polemik pemungutan royalti musik di tempat usaha, seperti kafe, restoran, dan hotel, kembali menjadi sorotan. Perdebatan muncul karena sebagian pelaku usaha merasa pemberlakuan tarif tidak mempertimbangkan kondisi bisnis mereka, apalagi musik bukanlah produk utama yang dijual. Meskipun sudah ada regulasi yang mengatur besaran tarif, pelaksanaannya dinilai belum transparan dan belum sepenuhnya melibatkan pihak yang terdampak secara langsung.

Di sisi lain, musisi menilai royalti sebagai bentuk penghargaan yang layak bagi karya mereka. Namun, kekhawatiran muncul ketika tarif yang ditetapkan dianggap memberatkan penyelenggara pertunjukan, terutama skala kecil. Kondisi ini berpotensi mengurangi ruang tampil bagi musisi dan menghambat perkembangan ekosistem musik yang selama ini juga menjadi daya tarik bagi banyak tempat hiburan.

Berbagai pihak sepakat bahwa penghargaan terhadap karya seni melalui royalti penting untuk dijalankan. Meski demikian, dibutuhkan sistem yang transparan, tarif yang wajar, dan mekanisme yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Pendekatan yang seimbang diharapkan dapat menjaga keberlanjutan bisnis, melindungi hak pencipta, dan memastikan ekosistem musik tetap hidup. Bagaimana aspirasi warga dan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap polemik ini?

Michael Erlangga, pemilik kafe di Grogol, Jakarta Barat, berpendapat, mekanisme pemungutan royalti musik di tempat publik sebaiknya dilakukan dengan datang dan berkonsultasi ke Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), mengingat perhitungannya cenderung rumit. Perlakuannya mungkin dapat disamakan dengan kewajiban pebisnis melapor dan membayar pajak ke Direktorat Jenderal Pajak, jika belum tersedia platform daring.

Pengenaan royalti kepada pemilik kafe karena memutar musik dari platform daring kurang tepat, apalagi sebagian besar pemilik kafe sudah membayar biaya langganan ke platform tersebut. Pemungutan royalti di kafe seharusnya ditujukan bagi pemusik yang tampil secara langsung (live music), karena merekalah yang menerima bayaran untuk pertunjukan musik tersebut.

”Bisnis utama kafe seperti yang saya jalankan berfokus pada penjualan makanan dan minuman, bukan dari memutar musik. Kami tidak mencari keuntungan tambahan dari musik yang diputar,” kata Erlangga.

Sementara itu, Ketua PHRI Kota Bogor Yuno Abeta Lahay menyampaikan bahwa pihaknya telah mempertanyakan isu royalti musik sejak 2016. Regulasi yang ada beserta turunannya sudah lama menjadi sorotan, termasuk Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.

 

Menurut dia, ada dua persoalan utama yang dihadapi pelaku usaha. Pertama, tarif yang dikenakan kepada pengusaha. Kedua, transparansi penyaluran pendapatan kepada pemilik hak, baik penyanyi maupun pencipta lagu.

Ia menegaskan bahwa pelaku usaha tetap ingin menghargai hak musisi secara tepat sasaran. Saat ini, pelaku usaha hanya memiliki dua pilihan: tetap memutar musik sebagai daya dukung bisnis dan membayar royalti atau tidak memutar musik sama sekali untuk menghindari biaya tambahan, mengingat musik bukan aspek utama yang dijual hotel dan restoran.

”Ketika isu ini sudah berkembang menjadi polemik, pemerintah seharusnya turun tangan, tidak sekadar mengingatkan adanya aturan yang harus dipatuhi. PHRI berharap sistem pemungutan dibenahi dengan penetapan tarif yang wajar dan transparan. Prinsipnya, jika royalti musik menjadi beban biaya usaha, hal itu pasti dimasukkan sebagai elemen biaya, yang konsekuensinya bisa berupa pengurangan margin atau kenaikan harga menu,” kata Yuno.

Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Tahun 2016, tarif royalti untuk usaha jasa kuliner bermusik, seperti restoran dan kafe, ditetapkan per kursi per tahun Rp 60.000 untuk royalti pencipta dan Rp 60.000 untuk hak terkait sehingga totalnya mencapai Rp 120.000 per kursi per tahun.

Muh Rizki H (30), musisi asal Jakarta, mengatakan, musik bukan sekadar bunyi dan nada, melainkan ”cara bernapas” bagi musisi, penonton, hingga kafe yang menyajikan pertunjukan musik. Karena itu, wacana aturan royalti untuk pertunjukan musik langsung ia sambut dengan hati-hati.

”Saya setuju dengan royalti selama penerapannya bersifat manusiawi. Karya memang harus dihargai, tetapi jangan sampai mempersulit musisi untuk tampil,” kata Rizki yang akrab disapa Oxben.

Menurut dia, kreativitas tidak bisa dibatasi oleh aturan. Inspirasi lagu bisa lahir dari mana saja, mulai dari keresahan, cinta, hingga obrolan ringan di tongkrongan. Royalti memang penting sebagai bentuk apresiasi, tetapi perlu disesuaikan dengan konteks panggung dan kemampuan penyelenggara.

Ia khawatir, tarif yang terlalu tinggi akan membuat kafe atau tempat hiburan kecil menghentikan live music. Padahal, musik adalah nyawa suasana. Tanpa ruang manggung, musisi kehilangan wadah untuk berkembang, penonton kehilangan hiburan, kafe kehilangan daya tarik, dan dampaknya bisa meluas hingga memengaruhi penghasilan semua orang yang bergantung pada musik.

Adapun Maria Magdalena Sinta Wardani (39), pengajar perguruan tinggi swasta di Daerah Istimewa Yogyakarta, belum merasakan dampak dari penerpan kebijakan royalti musik. Sepengamatannya, kafe yang biasa dikunjunginya masih memutar musik, seperti biasa dan harga menunya pun tak berubah.

”Sebagai pengunjung kafe, saya paham bahwa musik memang dapat membangun suasana yang mendukung kenyamanan pelanggan, meski secara pribadi saya tetap bisa menikmati secangkir kopi, walau tanpa iringan musik,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (10/8/2025).

Sejauh ini, ia merasa tak ada perubahan, sehingga tidak terganggu. Namun, jika harga menu naik akibat kebijakan royalti musik, itu akan membebani pelanggan, terutama bagi pelanggan yang datang ke kafe hanya untuk menikmati secangkir kopi.

Shinta pun turut merasa keberatan, bila nantinya biaya royalti musik itu dibebankan langsung kepada konsumen. Kendati demikian, ia paham apabila kebijakan royalti yang diterapkan merupakan hak dari para musisi yang layak dihormati.

”Benar bahwa royalti adalah hak para musisi yang layak dihormati, tetapi skema tarif yang seragam ini berpotensi membebani pemilik usaha, khususnya pelaku UMKM yang mengelola kafe dengan margin keuntungan tipis. Tampaknya pemerintah perlu membuat skema yang mempertimbangkan skala usaha agar industri kreatif dan pelaku usaha lokal sama-sama berkembang. Sebagai penikmat kopi saya berharap UMKM tetap hidup, musisi mendapat penghargaan yang layak, dan konsumen bebas menikmati kopi, dengan atau tanpa musik,” ujarnya.