Meski tidak ditetapkan sebagai bencana nasional, BNPB memastikan pemerintah pusat tetap memberikan dukungan optimal untuk penanganan bencana alam di Sumatera.

Oleh Adrian Fajriansyah

Bencana Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat belum berstatus bencana nasional. Pemerintah mengklaim dengan status bencana daerah tingkat provinsi, pemerintah pusat melalui kementerian dan lembaga terkait tetap mendukung optimal setiap penanganannya.

”Mengenai perlu atau tidak status bencana nasional, yang jelas, bencana alam Sumatera telah berstatus bencana daerah tingkat provinsi. Meski demikian, penanganan bencana Sumatera tetap optimal,” kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letnan Jenderal Suharyanto saat konferensi pers dari Bandara Silangit, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumut, yang disiarakan kanal Youtube @bnpb_indonesia, Jumat (28/11/2025) petang.

Suharyanto mengatakan, meski ditetapkan bencana daerah tingkat provinsi, pemerintah pusat lewat kementerian/lembaga terkait tetap mendukung sekuat tenaga dan semaksimal mungkin untuk penanganannya.

Buktinya, Presiden memberikan bantuan yang mulai didistribusikan sejak Jumat pagi. TNI/Polri mengerahkan peralatannya besar-besaran. ”Kami pun mengerahkan segala kekuatan yang kami miliki ke semua wilayah terdampak bencana,” ujarnya.

Menurut Suharyanto, status bencana nasional sebenarnya tidak perlu didiskusikan panjang lebar. Sebab, yang dimaksud dengan bencana nasional adalah bencana yang menyebabkan dampak sangat besar, baik secara korban jiwa maupun materiil.

Maka dari itu, sepanjang sejarah Indonesia, baru ada dua bencana alam yang ditetapkan sebagai bencana nasional, yakni gempa bumi dan tsunami Aceh pada 2004 dan pandemi Covid-19 sepanjang 2020-2023.

Berdasarkan penelusuran Kompas, gempa dan tsunami Aceh 2024 menyebabkan 227.898 jiwa meninggal, sedangkan pandemi Covid-19 menyebabkan sekitar 160.000 jiwa meninggal.

”Hanya dua bencana alam itu yang pernah ditetapkan menjadi bencana nasional di Indonesia. Itu karena skala jumlah korban dan tingkat kesulitan aksesnya yang tinggi dibandingkan dengan bencana-bencana lain,” ujar Suharyanto.

Selain dua bencana alam tersebut, Suharyanto menuturkan, banyak bencana lain yang skala jumlah korban dan tingkat kesulitan aksesnya tergolong cukup tinggi, seperti gempa Cianjur di Jawa Barat 2022, gempa, tsunami, dan pencairan tanah Sulawesi Tengah 2018, serta gempa Lombok di Nusa Tenggara Barat 2018.

”Namun, semua bencana itu tidak ditetapkan sebagai bencana nasional,” katanya.

Masih terkendali

Terkait bencana alam Sumatera saat ini, lanjut Suharyanto, itu memang terkesan mencekam. Apalagi di media sosial, sempat viral informasi mengenai ada warga terdampak yang tidak bisa ditemukan.

Nyatanya, saat pihak terkait turun ke lokasi terdampak bencana saat hujan reda, kondisinya tidak sedramatis kesan yang ditampilkan di media sosial.

 

Tak dimungkiri, di awal dilanda cuaca ekstrem yang dipicu siklon tropis Senyar dan Koto, dampak bencana yang timbul di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat cukup serius.

Setidaknya, per Jumat malam, total jumlah korban meninggal mencapai 174 jiwa, korban hilang 79 orang, dan korban luka-luka 12 orang, serta ribuan rumah maupun fasilitas umum rusak ringan hingga berat.

Dampak paling serius terjadi di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumut. Jumlah korban meninggal dan korban hilang di Tapanuli Tengah paling besar dibandingkan kabupaten/kota lain yang terdampak bencana Sumatera.

Setidaknya, per Jumat malam, ada 47 korban meninggal di Tapanuli Tengah. Selain itu, akses transportasi dari dan menuju Tapanuli Tengah masih putus.

Namun, penanganan bencana di Tapanuli Tengah masih bisa terkendali. Dari pantauan udara, akses jalan darat yang terganggu hanya berada di beberapa titik karena jalan tertimbun longsor dan jembatan yang dilanda longsor.

Akses jalan darat itu tidak bisa dilalui saat masih diguyur hujan. Namun, setelah hujan reda, akses itu diyakini bisa segera ditembus.

”Akses jalan itu tidak betul-betul terputus. Terbukti, sepeda motor dan yang jalan kaki masih bisa melewatinya. Nanti, kalau tanahnya sudah kering, akses jalan itu pasti bisa segera ditembus dengan dikeruk menggunakan alat berat secara bertahap,” tutur Suharyanto.

Suharyanto menyampaikan, pihaknya bersama para instansi terkait menargetkan semua akses jalan darat yang masih terputus dari dan menuju wilayah terdampak bencana bisa ditembus dalam waktu dekat.

Seiring terbukanya akses jalan, mereka akan mempercepat penanganan darurat bencana, terutama operasi pencarian dan penyelamatan (SAR) serta pendistribusian bantuan logistik, seperti makanan, obat-obatan, dan peralatan pengungsian.

Tidak bisa ditangani provinsi

Sebelumnya, isu mengenai status bencana alam Sumatera menjadi perhatian publik di media sosial. Banyak yang bertanya-tanya kenapa bencana alam Sumatera tidak ditetapkan bencana nasional. Padahal, dampaknya sangat luas dan berefek sangat serius terhadap masyarakat dan infrastruktur.

Anggota Dewan Perwakilan Daerah asal Aceh, Azhari Cage, berpendapat, bencana alam Sumatera tidak bisa hanya ditangani pemerintah provinsi. Sebab, provinsi memiliki keterbatasan anggaran dan sumber daya sehingga penanganan bencananya akan lebih lambat.

Sebaliknya, penanganan bencana Sumatera harus dilakukan cepat, tepat, dan akurat. Sebab, tak sedikit warga yang masih terisolasi yang membuat mereka semakin rentan terjangkit penyakit pascabencana dan kelaparan. Kalau tidak segera tertangani ataupun mendapatkan pertolongan, jumlah korban jiwa berpotensi semakin besar.

Melihat dampak luar biasa yang ditimbulkan, Azhari menilai, bencana alam Sumatera sepatutnya ditetapkan sebagai bencana nasional. Paling tidak, bencana itu mengakibatkan ratusan ribu warga mengungsi, ribuan rumah rusak, akses jalan dan jembatan putus, serta jaringan komunikasi lumpuh.

 

”Saya meminta kepada yang terhormat Presiden Prabowo Subianto untuk menetapkan bencana Sumatera sebagai bencana nasional. Sebab, bencana ini butuh penanganan menyeluruh dari semua pihak di daerah hingga pusat agar hasilnya lebih optimal,” kata Azhari.

Butuh pertolongan cepat

Koordinator Relawan Peduli Bencana Aceh, Fachrul Razi, mengatakan, apa pun status bencana alam Sumatera, semua pihak terkait harus bergerak cepat memberikan pertolongan kepada masyarakat.

Sebab, dambak bencana di Aceh melebihi yang dibayangkan. Dari informasi yang dihimpun dari banyak pihak, banjir belum sepenuhnya surut di hampir semua wilayah terdampak. Banyak rumah warga yang rusak karena ambruk dihantam banjir dan tertimbun lumpur yang terbawa banjir.

Selain itu, tak sedikit warga masih terisolasi karena akses transportasi dan komunikasi terputus. Karena itu pula, jumlah warga yang terdampak kemungkinan jauh lebih besar daripada pendataan yang dilakukan pemerintah.

”Kemungkinan di wilayah yang belum terjamah akses transportasi dan komunikasi, ada warga yang terdampak tetapi jumlahnya belum diketahui secara akurat,” tuturnya.

Di sisi lain, karena dampak bencana sudah berlangsung selama empat hari atau sejak bencana pertama kali terjadi pada Selasa (25/11/2025), warga terdampak mulai mengeluhkan sakit demam dan penyakit kulit, serta kelaparan. Alasannya, banyak warga yang belum mendapatkan bantuan fasilitas pengungsian, seperti tenda, alas tidur, selimut, dan pakaian ganti.

Stok makanan pun kian menipis karena tidak ada warung yang buka dan tidak ada pasokan atau distribusi bahan makanan dari daerah penghasil akibat akses transportasi masih putus. Kalau stok tersedia, jumlahnya sangat terbatas sehingga harganya melambung tinggi dan mendapatkanya harus rebutan.

”Kondisi itu terjadi di wilayah yang akses transportasi dan komunikasinya telah berangsur normal, seperti di Banda Aceh dan sekitarnya. Kalau di wilayah pedalaman, seperti di pesisir timur dan pegunungan yang masih terisolasi, mungkin situasinya jauh lebih parah. Kami harap pemerintah segera bergerak cepat untuk memberi pertolongan kepada masyarakat, khususnya bantuan makanan, obat-obatan, dan peralatan pengungsian,” ujarnya.