JAKARTA, KOMPAS — Putusan Mahkamah Konstitusi dinilai tidak bisa diterapkan pada kasus etik Setya Novanto. Putusan MK harusnya berlaku pada penegak hukum dalam proses menegakkan hukum. Adapun yang ditangani Mahkamah Kehormatan Dewan adalah penegakan kode etik anggota DPR, yang merupakan dua ranah berbeda. Menurut pengamat hukum tata negara Refly Harun, Kamis (29/9), MKD tidak perlu memutuskan rehabilitasi Novanto karena MKD sebenarnya tidak pernah menjatuhkan putusan bersalah. Jika Novanto merasa nama baiknya tercemar selama proses persidangan, hal itu bukan tanggung jawab MKD. "Itu sudah terkait opini publik, bukan lagi urusan MKD," kata Refly. Pada akhir 2015, Novanto sempat terlibat kasus dugaan pelanggaran etika terkait skandal perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia. Kasus itu berujung pada keputusan mundurnya Novanto sebagai Ketua DPR. Pasca rehabilitasi nama Novanto itu, sejumlah anggota Fraksi Partai Golkar di DPR meminta agar Novanto kembali dijadikan Ketua DPR (Kompas, 29/9). Politisi PDI-P, Junimart Girsang, yang menjabat Wakil Ketua MKD saat sidang putusan kasus dugaan pelanggaran kode etik Novanto, menambahkan, putusan MK seharusnya tidak berlaku surut lalu menganulir putusan MKD sebelumnya. Bahkan, Kejaksaan Agung pun memastikan keputusan MKD tidak akan memengaruhi penyelidikan kasus dugaan pemufakatan jahat terkait perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia yang melibatkan Novanto. Kini, jaksa masih mempelajari keputusan MK terkait uji materi Undang-Undang Pemberantasan Tipikor serta UU Informasi dan Transaksi Elektronik. "Itu (keputusan MKD) tidak ada kaitannya dalam penyelidikan. Yang pasti, terkait penyelidikan kasus tersebut, kami masih mempelajari dua putusan MK terkait rekaman dan pemufakatan jahat," ujar Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah. Terkait kasus Novanto, Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar mulai membicarakan wacana mengganti kursi Ketua DPR yang kini dipegang politisi Golkar juga, Ade Komarudin. Wacana itu khususnya mulai mengemuka pasca putusan MKD untuk merehabilitasi nama Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto dari kasus dugaan pelanggaran etika. Putusan MKD tersebut diambil dalam sidang tertutup pada Selasa (27/9). Putusan itu diambil untuk menindaklanjuti permohonan pemulihan nama baik Novanto yang diajukan sejumlah anggota Fraksi Partai Golkar di DPR. Ketua Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Yorrys Raweyai mengatakan, saat ini Dewan Pimpinan Pusat Partai (DPP) Golkar memang sedang membahas wacana penggantian Ketua DPR. Saat ini, kursi Ketua DPR masih dijabat Ade Komarudin, yang juga Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Golkar. Ade menggantikan Novanto yang mengundurkan diri. Yorrys mengatakan, hal pertama yang dituju adalah rehabilitasi nama baik Novanto. Setelah nama Novanto dipastikan bersih, partai mulai membicarakan posisi Ketua DPR. Ia menegaskan, MKD tidak pernah memberhentikan Novanto dari jabatan Ketua DPR. Justru, Novanto yang mengundurkan diri duluan. Saat ini, partai juga sedang mempelajari mekanisme yang berlaku di DPR. "Ini sedang diwacanakan dan partai sedang dalam tahapan membicarakan. Namun, kami juga harus menyamakan dengan mekanisme di DPR. Secara politik bagaimana, sesuai posisi Novanto sebagai Ketua Fraksi Golkar dan anggota DPR. Ini kan politik, biar berproses," kata Yorrys. Meskipun mulai dibahas, partai juga masih berhati-hati agar tidak memicu dinamika politik baru. Sebab, kursi Ketua DPR saat ini sebenarnya juga sudah diampu politisi senior Golkar. "Sekarang Ketua DPR, kader Golkar juga. Ini harus disikapi arif dan bijaksana karena ini kan hak politik. Yang penting, tahap pertama, yaitu nama baik Novanto, sudah terehabilitasi," katanya. Secara terpisah, Novanto enggan berkomentar banyak. Ia tidak menampik ataupun mengonfirmasi kabar terkait menguatnya wacana pergantian ketua DPR di internal partai. "Waduh, saya bersyukur saja, begini saja sudah terima kasih (teman-teman) mau membantu," kata Novanto. Ade Komarudin juga enggan berkomentar tentang wacana Novanto kembali menjadi Ketua DPR. "Saya tidak mau berandai-andai dulu, satu per satu, saya tunggu surat keputusan dari MKD sampai dulu," kata Ade. (AGE/APA/SAN) Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 September 2016, di halaman 2 dengan judul "Hukum dan Etik, Ranah Berbeda".