JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memutuskan menyelesaikan sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia berat, terutama Peristiwa 30 September 1965, melalui jalur non-yudisial. Langkah ini diharapkan dapat menghindari konflik berkepanjangan yang berpotensi membelah bangsa. KOMPAS/LASTI KURNIAPengunjung melihat diorama peristiwa 30 September 1965 di Museum Jenderal Besar AH Nasution, di Teuku Umar, Menteng, Jakarta, Sabtu (10/9). Museum tersebut berada di rumah Nasution yang ditempatinya hingga wafat pada 2000. Rumah itu baru dijadikan museum pada 2008. Terkait hal itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, Minggu (2/10), di Jakarta, menuturkan, pemerintah tengah merancang suatu dewan yang bertugas menyelesaikan berbagai konflik di masyarakat. Pada peringatan G30S/PKI di Jakarta, Sabtu, Wiranto dalam pidatonya menyatakan, penyelesaian non-yudisial diputuskan dengan mempertimbangkan kepentingan nasional dan semangat kebangsaan yang membutuhkan kebersamaan dalam menghadapi tantangan. Pendekatan non-yudisial dilakukan, lanjut Wiranto, tanpa ada nuansa menyalahkan dan disertai upaya yang tidak menyulut kebencian dan dendam. Pendekatan non-yudisial ini juga dibenarkan hukum dan pelaksanaannya tidak menimbulkan dampak negatif berkepanjangan. "Kita memiliki warisan budaya Nusantara yang mengedepankan cara non-yudisial, yakni musyawarah mufakat apabila terjadi perselisihan atau konflik di masyarakat," kata Wiranto. Wakil Ketua Komisi III DPR Trimedya Pandjaitan menilai, pemerintah telah mengambil keputusan tepat untuk menyelesaikan peristiwa yang terjadi pada 30 September 1965. "Langkah yudisial ataupun non-yudisial yang ditempuh sama-sama akan menimbulkan pro dan kontra. Jadi, apa pun yang ditempuh, yang terpenting pemerintah serius menyelesaikan kasus dugaan pelanggaran HAM masa lalu," katanya. Antara Foto/Yudhi MahatmPresiden Joko Widodo didampingi Wapres Jusuf Kalla (kanan) menghadiri upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta, Sabtu (1/10). Upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila 2016 diselenggarakan dengan tema "Kerja Nyata untuk Kemajuan Bangsa sebagai Wujud Pengamalan Pancasila". Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, menilai, langkah non-yudisial yang diambil pemerintah lebih baik daripada yudisial. "Diskursus di publik bisa lebih terkendali daripada jika mengambil langkah yudisial yang justru bisa memicu konflik antara kelompok pro dan kontra," ujarnya. Berulang kali disebut Komisioner Komnas HAM, Siti Noor Laila, mengingatkan, pernyataan penyelesaian secara non-yudisial ini sudah berulang kali disebutkan pemerintah. "Yang menjadi persoalan, langkah konkretnya apa. Apa yang akan dilakukan negara. Jika memang serius dengan cara non-yudisial, mari dirumuskan. Jangan terus menyatakan cara penyelesaian tanpa ada kejelasan," katanya. Menurut Noor Laila, saat ini muncul wacana baru, yaitu dilakukan rekonsiliasi alami dalam penyelesaian non-yudisial ini. Yang dimaksud rekonsiliasi alami adalah dengan mendasarkan pada hubungan baik yang terjalin antara korban dan lingkungannya saat ini. Namun, oleh karena diskriminasi masih sering terjadi, langkah tegas pemerintah amat ditunggu. Jaksa Agung HM Prasetyo menjelaskan, langkah konkret penyelesaian perkara ini tidak hanya ada di jajarannya. Ada lembaga lain yang juga terlibat dan pendapatnya mesti didengar. (SAN/APA/NTA/OSA/ONG/IAN) Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Oktober 2016, di halaman 4 dengan judul "Penyelesaian Non-yudisial Dipilih".