Makroekonomi: Plus dan Minus   Ada beberapa gejala mencemaskan yang ditunjukkan oleh perekonomian Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Gejala itu adalah kian menguatnya risiko Indonesia masuk dalam perangkap pendapatan menengah (”middle income trap”) serta kian tersingkir dan semakin tertutupnya Indonesia dalam kancah perdagangan global. Kondisi ini ironis dengan posisi Indonesia sebagai salah satu perekonomian besar dan pasar besar, yakni urutan sepuluh dunia pada 2015. Di tengah situasi ekonomi global yang belum sepenuhnya kondusif, perekonomian Indonesia sendiri secara umum masih terseok-seok. Selama ini, kita selalu berlindung pada dalih perlambatan ekonomi Indonesia adalah dampak tak terhindarkan dari perlambatan ekonomi global, yang juga dirasakan semua negara. Namun, kini argumen itu tak lagi valid karena sejumlah perekonomian di kawasan terbukti justru mampu membuat lompatan ekspor dan pertumbuhan mengesankan di tengah lingkungan kondisi ekonomi global yang sama. Contohnya, Vietnam dan Filipina, dan dalam skala lebih kecil juga Kamboja dan Laos. Cukup banyak gebrakan ditempuh pemerintah dalam dua tahun terakhir, termasuk dengan meluncurkan 13 paket kebijakan ekonomi untuk menggenjot pembangunan infrastruktur. Namun, lemahnya implementasi paket belum menunjukkan efek di lapangan. Kendati menunjukkan peningkatan pertumbuhan pada triwulan II-2016, kita belum sepenuhnya keluar dari tren penurunan pertumbuhan ekonomi, angkanya masih naik turun, dengan pertumbuhan 2016 diprediksi Menteri Keuangan hanya 5,1 persen. Dari PDB per kapita nominal, Indonesia bahkan mengalami penurunan dalam tiga tahun terakhir, demikian pula pendapatan nasional bruto (gross national income/GNI) per kapita dua tahun terakhir diukur dalam dollar AS, kendati dalam rupiah meningkat. Bahkan, Indonesia sudah disalip Filipina pada 2015. Dibandingkan perekonomian besar lain seperti Tiongkok dan India, PDB per kapita kita juga mengalami perubahan paling lambat. Hal ini sangat memprihatinkan karena artinya Indonesia sudah mengalami penurunan tingkat pendapatan per kapita pada saat pendapatan per kapita masih rendah. Di posisi ini, Indonesia berada pada posisi bawah, hanya sedikit lebih baik dari Vietnam, Timor-Leste, Laos, India, dan Kamboja, dan kian tertinggal dari negara-negara lain. GNI per kapita rendah dan pertumbuhannya yang tertatih-tatih ini kian menguatkan kekhawatiran Indonesia terjebak perangkap pendapatan menengah karena dari pengalaman dan pola pertumbuhan yang terjadi di banyak negara selama ini, sulit berharap terjadinya lompatan katak (leapfrogging) dalam pendapatan. Dengan menggunakan AS sebagai acuan, suatu negara dikategorikan low income jika GNI per kapita kurang dari 15 persen GNI AS, medium income jika 15-50 persen GNI AS, dan high income jika di atas 50 persen GNI AS. Dilihat dari GNI per kapita dalam dollar AS, probabilitas Indonesia masuk ke high income dalam 10 tahun hanya 9 persen. Sementara probabilitas masuk high income dalam 20 tahun 12 persen, dan probabilitas dalam 30 tahun hanya 18 persen. Artinya, sulit sekali bagi Indonesia keluar dari ancaman perangkap pendapatan menengah, kecuali dilakukan terobosan-terobosan. Untuk bisa lolos dari middle income trap, kita tak bisa hanya business as usual. Kuncinya ada pada SDM (terwakili oleh tingginya SDM berpendidikan sekunder dan tersier), dan besarnya peran produk teknologi tinggi dalam total ekspor. Di kedua hal ini kita sangat lemah. Sebagai perbandingan adalah Korea Selatan. Pendidikan tersier di Indonesia pada 2011 adalah 74,8 persen, sedangkan Korea Selatan 95,6 persen. Sementara pendidikan tersier Indonesia hanya 27,2 persen, sedangkan Korea Selatan 100 persen. Pengalaman Korea Selatan, industrialisasi menjadi penting untuk keluar dari jebakan middle income ini. Sementara pada Indonesia, yang terjadi adalah gejala deindustrialisasi dengan peranan industri manufaktur dalam perekonomian terus menurun, tercatat 20,7 persen pada semester I-2016. Pertumbuhan industri Indonesia mengalami penurunan saat masih pada level rendah. Berbeda dengan Korea Selatan yang industrialisasinya berada pada level tinggi dan terus meningkat, industrialisasi Indonesia kehilangan tenaga di tengah jalan, dengan daya saing juga rendah. Demikian pula, kapasitas manufaktur juga sangat rendah. Padahal, manufaktur adalah mesin untuk terjadinya perubahan teknologi yang mampu mengangkat produktivitas nasional. Semua itu hanya dimungkinkan dengan adanya penguatan SDM, khususnya pendidikan dan kesehatan, serta suntikan R&D (riset dan pengembangan) untuk menghasilkan inovasi. Ironisnya, R&D kita terendah di kawasan, dan jumlah ilmuwan dan insinyur juga sangat terbatas. Berbeda dengan Tiongkok, Thailand dan Vietnam serta negara-negara Asia lain yang sumbangan manufaktur ke total ekspor terus meningkat, industri dan ekspor kita semakin tidak berteknologi tinggi, dan keunggulan komparatifnya masih tak bergeser dari komoditas primer. Manufaktur per kapita kita bahkan sudah disusul Kamboja. Dari sini, jelas terlihat Indonesia tidak berada pada jalur transformasi struktural yang ideal. Dengan kondisi seperti ini, akan sulit diharapkan kita akan bisa keluar dari middle income trap. Kondisi ini juga menyebabkan Indonesia kian tersisih dari kancah perdagangan global. Data Bank Dunia menunjukkan, Indonesia satu-satunya negara dengan ekspor per PDB yang mengalami penurunan. Dalam lima tahun terakhir, kita mengalami penurunan baik ekspor maupun impor dan Indonesia menjadi pemain minor dan pinggiran dalam rantai proses produksi dan pasokan global. Konteks politik Dari sisi konteks politik, merapatnya elemen-elemen masyarakat yang selama ini kritis terhadap Jokowi-JK dan konsolidasi politik yang terjadi pada pemerintahan Jokowi-JK yang sebelumnya tak didukung mayoritas di parlemen, selain memperkuat posisi pemerintah, juga memunculkan implikasi negatif. Implikasi tersebut yakni melemahnya fondasi serta ekonomi biaya tinggi dan distorsi yang tecermin dari naiknya incremental capital output ratio(ICOR)—rasio pertumbuhan investasi untuk setiap persen pertumbuhanoutput—akibat membengkaknya biaya yang harus dibayar untuk mengakomodasi kepentingan kelompok atau partai yang merepet ke pemerintah. Realisasi sejumlah proyek mengalami kendala atau menjadi mahal. Beberapa contoh adalah Blok Masela yang membengkak biayanya, proyek Pembangkit Jawa 5 yang harus dibatalkan tendernya pada fase 2 karena harus mengakomodasi dua peserta tersisa, dan pembangunan infrastruktur tak fokus. Belum lagi praktik bagi-bagi kuota seperti pada kasus daging yang membuat harga daging sulit turun. Secara umum, kondisi 2017 dinilai lebih menjanjikan. Lebih-lebih jika pencapaian amnesti pajak bisa menjadi motor kembalinya investasi asing yang sempat menjauhi negara-negara berkembang akibat tekanan pasar global ke Indonesia. Selain mengamankan APBN yang defisitnya sempat melampaui target pada akhir 2015, sukses program amnesti pajak juga akan meningkatkan basis pajak dan juga likuiditas ke dalam sistem keuangan nasional yang diharapkan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi melalui berbagai investasi produktif. Meluasnya basis pajak akan meningkatkan potensi penerimaan pajak ke depan dan mengurangi ketergantungan pada utang. Sebaliknya, jika tak dikelola dengan baik, banjir dana repatriasi bisa berdampak inflatoir dan membahayakan stabilitas makroekonomi. Prospek ekonomi juga akan bergantung pada implementasi paket-paket kebijakan ekonomi dan transformasi yang sifatnya struktural pada perekonomian nasional.