Peraturan Menteri tentang Perfilman Segera Uji Publik   JAKARTA, KOMPAS — Empat peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan mengenai perfilman segera diuji publik. Permen-permen itu mendesak untuk disahkan karena memuat aturan teknis pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, yang sejak diundangkan baru membuahkan satu peraturan pemerintah tentang sensor film. Keempat draf permendikbud tersebut meliputi Permendikbud ?tentang Peredaran Film; Permendikbud tentang Pengutamaan dan Perlindungan Film Indonesia dan Insan Film; Permendikbud tentang Pengarsipan Film Indonesia; serta Permendikbud tentang Cara Pendaftaran dan Permohonan Izin Usaha Perfilman. Sebetulnya UU Perfilman mensyaratkan sedikitnya 8 permendikbud, 2 keputusan presiden, dan 2 PP. Kepala Pusat Pengembangan Perfilman Nasional Kemdikbud Maman Wijaya ?mengatakan, setelah uji publik, tim penyusun akan berkonsultasi dengan Komisi X DPR sebelum dicanangkan. "Uji publik berupa seminar dan diskusi grup terfokus dimulai 22 Juni 2016 sebanyak tiga kali. Kami berusaha kerja efektif agar tidak tertunda-tunda lagi," kata Maman, Rabu (8/6), di Jakarta. Keempat draf permendikbud tersebut lebih efisien dan padat ketimbang rencana semula tujuh permendikbud. Rencana sebelumnya, perihal insan perfilman asing dalam pembuatan film nasional akan dibuatkan peraturan tersendiri. Lalu, pertunjukan film? juga diatur dalam peraturan tersendiri. "Jadi, empat itu sudah memuat semua," kata Maman. Regulator bukan operator Mencermati empat permendikbud itu, Ketua Badan Perfilman Indonesia Kemala Atmojo mengingatkan, pemerintah adalah regulator, bukan operator. Pemerintah diharapkan tidak terjebak turut mengatur secara rinci hubungan bisnis antarlembaga swasta yang mempunyai aturan dan mekanismenya sendiri. Pemerintah perlu memahami, film dan perfilman memiliki banyak dimensi. Ada dimensi artistik yang bisa sangat subyektif, ada juga dimensi ekonomi yang bisa sangat obyektif. "Selain itu, ada unsur hak cipta yang menjadi hak eksklusif pemiliknya, baik atas keutuhan karya maupun eksploitasinya. Itu harus dipertimbangkan baik-baik dalam membuat regulasi," kata Kemala. Pemerhati dan akademisi film, Ekky Imanjaya, melihat satu hal yang menjadi penekanan dalam permendikbud, yakni pemberitahuan jumlah penonton dan pendapatan. Selama ini tidak pernah ada data resmi yang dilansir pemerintah tentang hal itu. Padahal, seharusnya pemerintah mengumumkan setelah dapat laporan dari perusahaan film. Situs filmindonesia.or.id menampilkan pendapatan satu film dengan asumsi Rp 30.000 per penonton. Disebutkan pada 2013, film Laskar Pelangi meraih pendapatan Rp 139 miliar, lalu Habibie & Ainun Rp 135 miliar. "Itu, kan, baru asumsi. Tidak ada data resmi dari pihak berkepentingan," kata Ekky. (IVV)