JAKARTA, KOMPAS — Perebutan mitra kerja antarkomisi di Dewan Perwakilan Rakyat hanya akan menurunkan kepercayaan publik. Terlebih lagi, yang selalu diperebutkan adalah mitra kerja yang mengelola dana besar. Ini memunculkan dugaan bahwa DPR mengincar dana tersebut. Rebutan mitra kerja belakangan kembali muncul antara Komisi VI dan XI DPR. Kedua komisi itu memperebutkan badan usaha milik negara (BUMN) sebagai mitra kerja dalam hal pembahasan penyertaan modal negara (PMN) di BUMN. Untuk diketahui, total pagu PMN untuk empat BUMN tahun ini senilai Rp 9 triliun. Sebelumnya, pada pertengahan 2015, Komisi II dan V DPR berebut mitra kerja, yaitu Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Tahun lalu adalah tahun pertama dana desa digulirkan pemerintah ke setiap desa dengan alokasi Rp 20,7 triliun. Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, Senin (17/10), mengatakan, rebutan mitra kerja seharusnya tidak terjadi. DPR semestinya memahami tugas setiap komisi. "Tidak elok jika rebutan," tambahnya. Rebutan mitra kerja justru menunjukkan DPR lebih tertarik bermitra dengan "institusi basah" atau yang memiliki anggaran besar daripada "institusi kering" atau yang anggarannya kecil. "Pandangan seperti itu seharusnya dihindari DPR karena bisa menurunkan kepercayaan publik," ujarnya. Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, mengatakan, pembedaan antara "mitra kerja basah" ataupun "kering" sebenarnya sudah bukan rahasia di DPR. Mitra kerja "basah" memang kerap diperebutkan oleh komisi-komisi di DPR. Tak hanya komisi, anggota DPR pun sering kali berebutan untuk bisa duduk di komisi yang bermitra kerja "institusi basah". Di balik perebutan itu, kuat dugaan mereka mengincar dana yang dikelola oleh mitra kerja. "Dugaan ini sudah sering terungkap dari sejumlah anggota DPR yang terjerat kasus korupsi," kata Lucius. Dengan munculnya perebutan BUMN antara Komisi VI dan XI, dia pun menduga hal yang sama sedang terjadi. Pasalnya, jika bukan itu alasannya, permasalahan antara Komisi VI dan XI akan mudah diselesaikan melalui mekanisme forum atau rapat konsultasi di DPR atau cukup rapat kedua komisi. Belum jelas Hingga kemarin, perebutan mitra kerja kedua komisi di DPR itu, yang berujung pelaporan Ketua DPR Ade Komarudin ke Mahkamah Kehormatan Dewan oleh Komisi VI DPR, belum menemui titik terang. Pernyataan Wakil Ketua DPR Fadli Zon berbeda dengan Ketua DPR Ade Komarudin. Fadli mengatakan, perubahan mitra kerja seharusnya diputuskan di rapat paripurna. Sementara rapat paripurna terakhir memutuskan mitra kerja BUMN, termasuk di dalamnya pembahasan PMN, adalah Komisi VI. Selain belum dibahas di rapat paripurna, perubahan mitra kerja Komisi VI pun belum diputuskan dalam rapat pimpinan DPR. Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah juga mengungkapkan hal tersebut. "Belum menjadi keputusan rapat pimpinan," tambahnya. Atas dasar itu, Fadli dan Fahri akan mempertanyakan persoalan itu kepada Ade dalam rapat pimpinan DPR. Ade Komarudin sebelumnya menyampaikan, dirinya mengizinkan Komisi XI untuk ikut membahas PMN karena wewenang membahas PMN tidak hanya di Komisi VI. Ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara (Kompas, 15/10). Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Gerindra Mohamad Hekal mengatakan, Komisi VI melaporkan Ade ke MKD semata agar ada penyelesaian atas perebutan mitra kerja itu. Tidak ada niat mencopot Ade dari posisi Ketua DPR. Apalagi niat untuk mendapatkan kucuran uang dari PMN dan BUMN. Langkah ke MKD diambil karena langkah yang ditempuh selama ini, melalui pimpinan DPR, tidak menemui hasil. (APA) Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Oktober 2016, di halaman 2 dengan judul "Kepercayaan Makin Menurun".