JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2016 mengandung risiko. Asumsi pertumbuhan ekonomi dikhawatirkan terlalu optimistis. Sementara realisasi yang meleset dari asumsi akan berdampak pada pendapatan, belanja, dan defisit anggaran. Pokok-pokok Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2016 disampaikan oleh Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro dalam rapat kerja dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat, Kamis lalu. Pertumbuhan ekonomi sebagai asumsi dasar dipatok 5,3 persen atau tetap seperti asumsi awal APBN 2016. Meski demikian, postur anggaran mengalami koreksi turun. Target pendapatan negara dipotong Rp 88 triliun, dari Rp 1.822,5 triliun pada APBN 2016 menjadi Rp 1.734,5 triliun pada RAPBN-P 2016. Sementara anggaran belanja negara dipangkas Rp 47,9 triliun, dari Rp 2.095,7 triliun menjadi Rp 2.047,8 triliun. Dengan demikian, defisit pun melebar. Defisit anggaran pada APBN 2016 ditargetkan Rp 273,2 triliun atau 2,15 persen dari produk domestik bruto (PDB). Dalam RAPBN-P 2016, target defisit menjadi Rp 313,3 triliun atau 2,48 persen dari PDB. Pada APBN-P 2016, pemerintah juga menurunkan target penurunan angka kemiskinan dari semula 9,0 persen hingga 10 persen menjadi 10 persen hingga 10,6 persen dari populasi. Adapun tingkat pengangguran terbuka dipatok lebih rendah dari semula 5,2 persen hingga 5,5 persen jadi 5,4 persen hingga 5,7 persen dari jumlah angkatan kerja. Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada Revrisond Baswir, di Yogyakarta, Jumat (3/6), menyatakan, RAPBN-P 2016 masih menyisakan risiko di sisi pendapatan, belanja, dan defisit. Hal itu bermula dari asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen. Revrisond menilai, asumsi itu terlalu optimistis dibandingkan dengan proyeksi beberapa lembaga keuangan. Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional, misalnya, masing-masing memperkirakan pertumbuhan 5,0 persen dan 4,9 persen. "Artinya, pertumbuhan ekonomi berisiko lebih lambat dari target. Kalau realisasinya melambat dari asumsi, target pendapatan pun pasti tidak akan tercapai," ujarnya. , 1 2   Risiko lain, menurut Revrisond, terdapat pada asumsi penerimaan dari uang tebusan program pengampunan pajak. Kementerian Keuangan mengasumsikan uang tebusan mencapai Rp 165 triliun. Sementara Bank Indonesia memperhitungkan penerimaan dari uang tebusan senilai Rp 53,4 triliun. Penghematan Sementara itu, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan menegaskan, pemotongan alokasi APBN untuk Kementerian Perhubungan sebesar Rp 3,75 triliun tidak terlalu mengganggu kinerja Kemenhub. Jonan mengatakan, Kemenhub menunda atau membatalkan belanja modal dan belanja barang sebesar Rp 1,5 triliun. Namun, anggaran sebesar Rp 2,25 triliun yang dipotong selebihnya bisa dikompensasi melalui penghematan dan penggunaan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). "Anggaran Kemenhub tahun 2016 mencapai Rp 48,4 triliun. Namun, karena dikurangi sebesar Rp 3,75 triliun, sisanya Rp 44,7 triliun. Tetapi, dari kontrak-kontrak tender yang sudah dilakukan, didapat penghematan mencapai Rp 1 triliun. Jadi, sudah kontrak, tetapi harga yang didapat lebih murah daripada harga yang diperkirakan," kata Ignasius Jonan. Selain itu, juga terdapat kelebihan dana dari sisa evaluasi oleh inspektorat jenderal sebesar Rp 266 miliar. Ditambah penghematan perjalanan dinas sebesar Rp 224 miliar. Dengan demikian, total penghematan mencapai Rp 1,5 triliun. Kemenhub juga menggunakan penerimaan bukan pajak sebesar Rp 706 miliar untuk menambah anggaran belanja. "Ada beberapa pekerjaan yang diputuskan untuk tidak dilaksanakan sebesar Rp 425 miliar. Ada juga belanja modal dan belanja barang yang dibatalkan Rp 1,1 triliun," ujar Jonan. Pekerjaan belanja modal dan belanja barang yang dibatalkan, misalnya, pembangunan sebagian jalur ganda lintas selatan Jawa (Jombang-Surabaya). Pembangunan kapal patroli dikurangi dari 30 unit jadi sekitar 20 unit. Penyediaan rambu jalan raya diturunkan jadi 20 dari target pemenuhan 30 persen. (LAS/ARN)