JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi menengarai, kasus dugaan korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik melibatkan banyak pihak. KPK terus mengusut kasus ini untuk mengungkap pihak-pihak yang bertanggung jawab. KOMPAS/LASTI KURNIAMantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Sugiharto seusai menjalani pemeriksaan di Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Senin (7/11). Sugiharto menjadi tersangka dalam kasus pengadaan kartu tanda penduduk berbasis elektronik (e-KTP). Dari penghitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, kerugian negara dalam kasus ini diperkirakan mencapai Rp 2 triliun akibat penggelembungan anggaran. Penyidik KPK, Senin (7/11), di Jakarta, meminta keterangan mantan Ketua Komisi II DPR Chairuman Harahap. Sebelumnya, Chairuman juga pernah diperiksa dalam kasus ini sebagai saksi untuk tersangka mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman. Selain Chairuman, kemarin, KPK juga memeriksa tersangka lain dalam kasus ini, yaitu mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Kemendagri Sugiharto. Pada 1 November lalu, KPK juga telah memeriksa mantan Menteri Keuangan Agus Martowardojo terkait proses penganggaran proyek KTP elektronik. Ketua KPK Agus Rahardjo saat dihubungi di Jakarta, kemarin, mengatakan, e-KTP merupakan salah satu kasus penting yang ditangani KPK dengan perkiraan kerugian negara Rp 2,3 triliun dari total nilai proyek Rp 6 triliun. Penyidik KPK, meyakini ada banyak pihak yang terlibat dalam dugaan penyelewengan pengadaan e-KTP pada 2011-2012 itu. "Ini kasus besar, ada banyak orang yang terlibat. KPK memang baru menetapkan dua tersangka. Namun, penyidik terus memperdalam, mengembangkan, mencari alat bukti, untuk mengungkap siapa lagi yang harus dimintai pertanggungjawaban," kata Agus. Seusai diperiksa KPK pada 27 September lalu, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin membeberkan sejumlah nama yang diduga terlibat dalam kasus pengadaan e-KTP, baik dari kalangan legislatif maupun eksekutif. KOMPAS/LASTI KURNIAMantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Sugiharto seusai menjalani pemeriksaan di Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Senin (7/11). Sugiharto menjadi tersangka dalam kasus pengadaan kartu tanda penduduk berbasis elektronik (e-KTP). Dari penghitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, kerugian negara dalam kasus ini diperkirakan mencapai Rp 2 triliun akibat penggelembungan anggaran. Tujuh jam Seusai diminta keterangan selama sekitar tujuh jam, kemarin, Chairuman mengatakan, DPR hanya menjalankan tugasnya, yaitu membahas dan menyetujui anggaran bersama pemerintah. DPR menyetujui anggaran pengadaan e-KTP karena menilai hal itu penting bagi peningkatan kualitas sistem administrasi negara. Namun, Chairuman menampik adanya dugaan kongkalikong antara anggota DPR dengan pengusaha swasta yang memenangi tender serta pihak pemerintah dalam proyek pengadaan e-KTP. "Tidak ada itu, tidak tahu saya. Kalau dugaannya mark-upanggaran, tentu yang membuat mark-up yang harus bertanggung jawab. Apakah ada suap? Apakah ada pekerjaan yang tidak sesuai spesifikasi? Itu yang harus diperjelas dan saya kira KPK sudah tahu," ujarnya. Terkait pernyataan Nazaruddin bahwa ada banyak pihak yang terlibat dalam kasus ini, Chairuman mempersilakan penyidik KPK untuk menelusurinya. "Tidak mungkin tidak diusut, tetapi soal benar atau tidaknya ada pengaturan dan permainan. Itu urusan penyidik, jangan asal tuding," ujarnya. Secara terpisah, Pelaksana Harian Kepala Biro Hubungan Masyarakat KPK Yuyuk Andriati mengatakan, saksi memiliki hak untuk menampik ataupun membenarkan suatu informasi dalam pemeriksaan. Semua dugaan permainan dan peran setiap pejabat akan dibuktikan dan diungkap saat persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. (AGE) Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 November 2016, di halaman 3 dengan judul "Banyak Pihak Terlibat".