JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat tidak perlu mencari-cari celah untuk melakukan kunjungan kerja ke luar negeri dan sebaiknya fokus pada pembahasan legislasi di dalam negeri. Tidak ada korelasi langsung yang terbukti antara kunjungan kerja anggota DPR ke luar negeri dan produktivitas DPR di bidang legislasi. Sebastian Salang dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia menyatakan hal itu saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (6/11), terkait rencana 12 anggota Komisi IV dan 13 anggota Komisi VII DPR melakukan kunjungan kerja (kunker) ke Maroko dan kemudian Spanyol. Kegiatan yang dibiayai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) itu akan berlangsung 7-18 November. Agenda utama perjalanan itu adalah mengikuti Konvensi Perubahan Iklim Ke-22 dan Protokol Kyoto Ke-12 di Maroko. Namun, DPR minta perjalanan dilanjutkan ke Spanyol. Anggota Komisi IV merasa perlu mengunjungi Taman Nasional Ordesa di Huesca, Spanyol, untuk mengumpulkan informasi terkait revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati. Sementara anggota Komisi VII ingin melihat instalasi pengolahan limbah di Madrid, Spanyol. KLHK mengagendakan perjalanan ke Spanyol pada 9-12 November atau saat konvensi belum tuntas (Kompas, 5/11). Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Firman Subagyo mengatakan, yang dilakukan Komisi IV dan Komisi VII dapat dimaklumi sepanjang anggaran yang dikeluarkan untuk kunjungan tersebut tidak ganda. Jika KLHK telah menanggung anggaran, DPR seharusnya tidak mengeluarkan surat pertanggungjawaban kunker lagi. Menurut dia, anggota DPR terpaksa memanfaatkan kunker ke luar negeri yang dibiayai instansi lain. Pasalnya, DPR membatasi kunker ke luar negeri dalam rangka pembahasan RUU demi efisiensi anggaran. Kebijakan meniadakan kunker ke luar negeri bermula dari keprihatinan Ketua DPR Ade Komarudin terhadap rendahnya pencapaian target legislasi. Ia lalu mengumpulkan fraksi-fraksi pada 18 Januari 2016 untuk menyepakati komitmen peningkatan kinerja legislasi dan penghematan anggaran DPR. Selain memangkas waktu reses, saat itu juga disepakati peniadaan kunker ke luar negeri, kecuali untuk alat kelengkapan yang berhubungan langsung dengan urusan internasional. Misalnya, Komisi I (urusan luar negeri dan pertahanan), Badan Kerja Sama Antar Parlemen, dan Komisi VIII (terkait penyelenggaraan ibadah haji) (Kompas, 19/1). Wakil Ketua Komisi VII DPR Fadel Muhammad menuturkan, pembatasan ke luar negeri membuat sejumlah anggota DPR kecewa. "Dengan dibatasi, penyusunan RUU jadi kontraproduktif. Tak ada salahnya ke luar negeri asal ditargetkan dan dapat dipertanggungjawabkan," katanya. Namun, Sebastian Salang mengingatkan, selama ini tidak terlihat adanya korelasi langsung antara kunker anggota DPR ke luar negeri dan produktivitas DPR di bidang legislasi. "Jika keran studi banding luar negeri dibuka kembali, DPR justru lebih terlena dan sibuk sehingga tugas utamanya terabaikan, logika berpikirnya jangan dibolak-balik. Kebijakan pembatasan kunker ke luar negeri itu sudah tepat," kata Sebastian. Apa yang dilakukan anggota Komisi IV dan Komisi VII, lanjut Salang, bisa berbahaya karena mereka menggunakan anggaran institusi lain untuk kunker yang bukan merupakan agenda instansi tersebut. (AGE) Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 November 2016, di halaman 2 dengan judul "DPR Jangan Mencari Celah".