JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan Partai Golkar mengembalikan Setya Novanto ke posisi sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat sepenuhnya merupakan kewenangan partai. Namun, pendapat publik serta potensi memburuknya citra DPR akibat kebijakan tersebut hendaknya juga dipertimbangkan. Ini karena Novanto pernah tersangkut masalah dugaan pelanggaran kode etik DPR terkait pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk meminta saham PT Freeport Indonesia. Kasus itu sempat mencuat dan disidangkan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) tahun lalu. Wakil Ketua Fraksi PDI-P Arif Wibowo, di Jakarta, Selasa (22/11), mengatakan Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) mengatur penggantian pimpinan DPR, termasuk posisi ketua DPR, merupakan kewenangan sepenuhnya partai politiknya. "Memang penggantian itu harus dibawa ke rapat paripurna untuk memperoleh persetujuan semua anggota DPR. Namun, sifat dari rapat itu hanya pengesahan, anggota tidak dalam kapasitas bisa menolak atau menerima keputusan partai. Urusan penggantian sepenuhnya kedaulatan partai," ujarnya. Hanya sebelum sampai pada keputusan itu, hendaknya partai mempertimbangkan pendapat yang berkembang di publik. Publik tetap menilai Novanto melanggar kode etik sekalipun rekaman yang menjadi dasar pengaduan kasus Novanto dinyatakan tidak legal oleh putusan Mahkamah Konstitusi. Kegaduhan baru Sekretaris Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Yandri Susanto juga mengingatkan pentingnya Golkar mempertimbangkan citra DPR jika Novanto kembali menjabat Ketua DPR. "Jangan sampai penggantian itu menimbulkan kegaduhan baru yang membuat DPR mendapat sorotan negatif dari publik. Hal ini penting karena saat ini DPR sedang berjuang untuk memperbaiki kinerja di sisa masa tugas hingga tahun 2019," kata Yandri. Sekretaris Fraksi Partai Hanura Dadang Rusdiana justru berharap Golkar mengevaluasi kembali kebijakannya. Ia yakin, penggantian Ketua DPR akan menuai kegaduhan baru. Publik akan bereaksi karena sekalipun putusan MK telah menyebutkan bukti rekaman yang menjadi dasar kasus Novanto tidak sah, tetapi percakapan permintaan saham itu betul-betul terjadi. Kredibilitas DPR pun otomatis bakal ikut terkena dampaknya dan akan membuat publik semakin tidak percaya kepada DPR. "Hendaknya Golkar berani berkorban untuk bangsa dengan tidak memaksakan Setya Novanto menjadi Ketua DPR. Lagi pula, Ade Komarudin juga masih kader Golkar. Dan, selama menjabat Ketua DPR tidak pernah ada masalah, justru ada perbaikan-perbaikan untuk meningkatkan kinerja DPR," ujarnya. Sementara Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyarankan agar Novanto dan Ade Komarudin bertemu untuk membahas posisi Ketua DPR, mencari solusi dan kesepakatan bersama. "Itu akan jauh lebih baik bagi Partai Golkar, baik pula bagi lembaga DPR," ujarnya. Lapor presiden Novanto yang juga Ketua Umum Partai Golkar telah melaporkan usulan penggantian Ketua DPR itu kepada Presiden Joko Widodo. Itu disampaikan saat bertemu Presiden di Istana Merdeka, kemarin. "Presiden menyerahkan persoalan itu ke partai. Beliau tidak ingin ikut campur dan tidak ingin memengaruhi. Semua itu merupakan urusan Partai Golkar secara internal," katanya. Presiden pun enggan memberi komentar banyak. Menurut Presiden, pemilihan Ketua DPR merupakan urusan internal partai dan DPR. "Persoalan itu tidak ada hubungannya dengan kami. Apalagi hubungannya dengan kabinet, tidak ada," katanya. Rapat pleno Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar, Senin (21/11) lalu, memutuskan untuk mengusulkan kembali Novanto jadi Ketua DPR, menggantikan Ade Komarudin. (APA/DRI/NDY) Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 November 2016, di halaman 2 dengan judul "Perhatikan Opini Publik".