JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diminta membuat regulasi guna mengatur dan mengontrol tugas dan fungsi politisi. Ini perlu dilakukan untuk mencegah penyelewengan yang dilakukan politisi mengingat selama ini tak sedikit politisi yang tersandung masalah hukum, terutama korupsi. Peneliti senior pada Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris, dalam acara "Peluncuran Modul Naskah Kode Etik Politisi dan Buku Panduan Kaderisasi dan Rekrutmen Partai Politik Ideal", di Jakarta, Kamis (24/11), mengatakan, politisi dan partai politik merupakan pilar utama demokrasi. Bahkan, di Indonesia, segenap unsur pemerintahan ataupun swasta sangat ditentukan oleh politisi atau partai politik. "Jika politisi melakukan tugas dan fungsinya dengan baik, demokrasi dan pembangunan Indonesia pun akan baik. Sebaliknya, kalau politisi melakukan tugas dan fungsinya dengan buruk, demokrasi dan pembangunan Indonesia juga akan buruk," ujarnya. Namun, menurut Syamsuddin, fakta menunjukkan banyak politisi yang tidak menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. Tak sedikit politisi yang berbicara tidak santun sehingga memicu keresahan di masyarakat. Bahkan, tak sedikit pula politisi yang terjerumus kasus hukum. Syamsuddin menuturkan, kondisi itu tak lepas dari tidak adanya aturan hukum yang mengikat mengenai kode etik politisi. Selama ini, kode etik politisi hanya diatur oleh internal partai. Masyarakat pun tidak bisa mengontrol. Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif mengutarakan, politisi memang salah satu pasien utama lembaganya. Setidaknya, 32 persen kasus yang ditangani KPK melibatkan politisi atau perwakilan partai. "Kondisi ini sangat miris karena kualitas politisi akan sangat memengaruhi kualitas negara ini," katanya. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto pun sepakat dengan usulan perlunya UU kode etik politisi. "Politik sesungguhnya ilmu yang mulia karena bertujuan mewujudkan kesejahteraan umat manusia. Namun, fakta saat ini, para politisi dan partai politik bukan memikirkan kesejahteraan masyarakat melainkan hanya ingin berkuasa. Bahkan, tak sedikit berupaya mencapai tujuannya dengan cara kotor. Agar tidak semakin kebablasan, kita patut memiliki undang-undang mengenai kode etik politisi ataupun partai politik," ujarnya. (DRI) Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 November 2016, di halaman 2 dengan judul "Cegah Penyimpangan, Etika Politisi Perlu Diatur".