[JAKARTA] Sejumlah anggota Komisi V DPR RI dinilai telah menyalahgunakan kewenangan yang dimiliki untuk berbuat korupsi. Pengakuan Damayanti Wisnu Putranti bahwa pimpinan Komisi V DPR RI dan Kapoksi meminta kompensasi fee Rp10 triliun dari total anggaran Kementerian PUPR yakni Rp100 triliun adalah bukti  bagaimana DPR telah dengan sengaja menghambat pembangunan di negara ini. Direktur Center For Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi  di Jakarta, Jumat (25/11), mengatakan, kasus korupsi yang melibatkan beberapa anggota Komisi V DPR RI dan yang kini sedang bergulir di KPK dalam proyek pembangunan jalan di Maluku adalah bukti penyalahgunaan wewenang yang melekat pada anggota dewan. "Mereka telah melakukan penyalahgunaan hak seperti hak budget atau pengawasan. Kedua hak ini disalahgunakan untuk menghambat pembangunan dengan cara meminta bagian jatah dana APBN," kata Uchok. Uchok melihat kasus yang dilakukan Damayanti dan kawan-kawannya di DPR dimana mereka minta jatah Rp 10 triliun, adalah dalam rangka memperkaya pribadi dan untuk menguasai partai politik. Untuk mencegah praktik buruk anggota dewan, Uchok menyarankan dengan dua cara. Pertama, para pelaku harus divonis seberat-beratnya di atas 15 tahun penjara. Kedua, pembahasan anggaran antara DPR dengan Kementerian PUPR harus dibuka ke publik agar publik juga tahu apa yang akan dikerjakan oleh kementerian itu ke depan. "Saat ini, pembahasan anggaran di DPR ada yang terbuka dan ada juga yang tertutup. Jadi pihak DPR seolah  masih curiga sama rakyatnya sebagai pembayar pajak negeri ini," katanya. Peneliti Formappi, Lucius Karus mengatakan, kasus korupsi Damayanti Cs bukti DPR turut ambil bagian dalam menghambat pembangunan. "Kami mendesak KPK untuk segera memeriksa semua pihak yang terlibat dalam kasus tersebut. KPK jangan pilih kasih dengan melindungi para pimpinan di DPR," katanya. Damayanti saat ini sudah ditetapkan majelis hakim sebagai justice collaborator (JC) atau pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum dalam membongkar kasus ini. [PR/L-9]