JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Sistem Pengawasan Internal Pemerintahan kembali gagal masuk dalam program legislasi nasional. Padahal, regulasi ini penting untuk mencegah korupsi di pemerintahan. Pasalnya, regulasi tersebut akan memperkuat inspektorat yang ada di setiap instansi pemerintah. Rancangan Undang-Undang Sistem Pengawasan Internal Pemerintahan (RUU SPIP) sebenarnya sudah masuk di Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2015-2019. Namun, RUU itu tidak kunjung masuk di prolegnas tahunan. Begitu pula untuk rencana Prolegnas 2017, RUU SPIP tidak ada di dalamnya. "Tidak ada yang menginisiasi RUU itu masuk Prolegnas 2017. Pemerintah juga tidak," ujar Ketua Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Supratman Andi Agtas, Jumat (25/11). RUU yang masuk di Prolegnas 2017 telah disepakati dalam rapat antara Panitia Kerja (Panja) Prolegnas 2017 DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan Pemerintah, Kamis (24/11) malam. Menurut rencana, pekan depan, hasil rapat akan dibawa ke Baleg DPR untuk diambil keputusan sebelum disahkan di rapat paripurna DPR. Jika pemerintah konsisten dengan upaya pencegahan korupsi, menurut Supratman, memang seharusnya pemerintah mengusulkan RUU SPIP itu masuk dalam Prolegnas 2017. "Usulan itu sama sekali tidak ada, jadi susah juga buat DPR," tambahnya. Ketua Panja Prolegnas 2017 DPR Firman Subagyo membenarkan bahwa pemerintah tidak mengusulkan RUU SPIP di Prolegnas 2017. Oleh karena tidak ada usulan dari pemerintah, juga dari DPR dan DPD, RUU itu tidak masuk dalam rencana Prolegnas 2017. "Sebenarnya ada dasar kuat bagi RUU SPIP untuk masuk Prolegnas 2017. Ini karena dalam penetapan prolegnas tahunan di antaranya mengacu pada rencana kerja pemerintah dan aspirasi masyarakat. Upaya pencegahan korupsi yang bisa dicapai jika RUU SPIP disahkan, memenuhi kedua unsur itu," ujarnya. Meski tidak mungkin lagi untuk masuk ke dalam Prolegnas 2017, jika pemerintah serius ingin mencegah korupsi, RUU itu bisa dimasukkan ke Prolegnas 2017 saat pembahasan prolegnas perubahan tahun 2017, pada pertengahan tahun depan. Menurut Firman, peluang terbuka bagi RUU baru masuk saat pembahasan prolegnas perubahan. Pasalnya, sebagian besar dari RUU di Prolegnas 2017 atau 40 dari 50 RUU yang disepakati merupakan RUU yang masuk di Prolegnas 2016. Separuh dari RUU itu kini sudah dibahas di komisi, panja, atau pansus di DPR, dan diperkirakan sudah disahkan sebelum pertengahan tahun depan. "Dengan banyak RUU selesai, RUU baru seperti RUU SPIP bisa masuk ke dalam Prolegnas 2017 saat pembahasan prolegnas perubahan, pertengahan tahun depan," tambahnya. Reformasi birokrasi Menurut Wakil Ketua Komisi II DPR periode 2009-2014 Abdul Hakam Naja, RUU SPIP merupakan salah satu dari tiga regulasi penting untuk memastikan reformasi birokrasi. Dua regulasi lainnya, yaitu UU Aparatur Sipil Negara dan UU Administrasi Pemerintahan, sudah disahkan menjelang akhir periode DPR tahun 2009-2014. "Sementara RUU SPIP tidak terkejar untuk dibahas. Soalnya, DPR saat itu fokus pada penyelesaian RUU Aparatur Sipil Negara dan Administrasi Pemerintahan," tambahnya. Dia mendorong pemerintah dan DPR saat ini untuk bisa membahas dan mengesahkan RUU SPIP. "RUU itu krusial sebagai pengawal reformasi birokrasi. Jika tidak segera dituntaskan, arah reformasi menjadi kurang sempurna," ujarnya. Ini karena di dalam RUU SPIP, peran aparatur pengawas internal pemerintahan atau inspektorat di setiap instansi pemerintah diperkuat. Keberadaan inspektorat tidak lagi hanya sebatas aksesoris, tetapi memastikan terjadinya pembenahan sistem di instansi pemerintah. Hal ini salah satunya penting untuk mencegah atau mendeteksi korupsi di pemerintahan. Pada draf RUU SPIP yang pernah diperoleh Kompas dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi sebagai penyusun RUU SPIP, kedudukan inspektorat nantinya tidak lagi subordinat menteri/kepala lembaga/kepala daerah. Ini akan membuat inspektorat independen dan obyektif dalam melaksanakan tugasnya tidak seperti selama ini. Adapun untuk meningkatkan kapabilitas pengawas di inspektorat, pengawas diharuskan memenuhi standar kompetensi tertentu. Secara terpisah, Deputi Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur, dan Pengawasan di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yusuf Ateh mengakui pengawasan internal pemerintah tidak berdaya guna. Selain tak memiliki independensi dari pimpinan yang semestinya diawasi, kompetensi aparat pengawas internal pemerintah atau APIP masih rendah. Umumnya masih sangat sedikit APIP yang memiliki sertifikasi auditor. "APIP tak bisa berfungsi karena secara struktural berada di bawah sekretaris daerah atau di bawah menteri. Secara pribadi, dia juga bisa berputar dari satu dinas ke dinas lain, demikian pula di kementerian lembaga. Bagaimana bisa memiliki independensi, padahal independensi adalah mahkota pemeriksa," kata Yusuf. Ketua Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia Syahrul Yasin Limpo meminta supaya APIP bisa berperan lebih bahkan didampingi KPK menyupervisi pemda dalam menjalankan administrasi pemerintahan daerah. (APA/INA) Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 November 2016, di halaman 5 dengan judul "Regulasi Pencegahan Korupsi Gagal Masuk Prolegnas".