APBN Harus Menjadi Jalan Keluar Masalah Ekonomi   JAKARTA, KOMPAS — Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tidak boleh menjadi sumber masalah, tetapi sebaliknya harus menjadi jalan keluar bagi ekonomi nasional. Pemerintah harus pintar membaca data ekonomi, memperkirakan potensi krisis, dan menyiapkan antisipasinya. KOMPAS/ALIF ICHWANSeminar nasional bertema "Tantangan Pengelolaan APBN dari Masa ke Masa" digelar di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (30/11). Pembicara seminar itu adalah mantan Wakil Presiden Boediono (kiri), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (tengah), dan mantan Menteri Keuangan Chatib Basri (kanan). Seminar membahas soal peranan APBN sebagai instrumen dalam mengelola ekonomi untuk mewujudkan Indonesia yang adil, makmur, mengurangi kemiskinan, serta meningkatkan produktivitas dan daya saing.   Demikian salah satu benang merah seminar nasional bertajuk "Tantangan Pengelolaan APBN dari Masa ke Masa", Rabu (30/11), di Jakarta. Hadir sebagai narasumber adalah mantan Wakil Presiden Boediono, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dan mantan Menteri Keuangan Chatib Basri, dengan moderator Kepala Badan Kebijakan Fiskal Suahasil Nazara. "Pada periode 1950-1960, APBN menjadi sumber masalah karena lepas kendali. Itu pelajaran luar biasa. Jangan sampai APBN menjadi penyebab krisis. APBN tidak boleh menjadi bagian dari masalah, tetapi harus menjadi solusi," kata Boediono. Boediono mengingatkan bahwa pemerintah sekarang harus waspada terhadap kejutan-kejutan yang bisa membuat perekonomian tidak stabil. Karena itu, pemerintah harus mempertajam analisis melihat prospek ekonomi ke depan dan menyiapkan antisipasinya. Salah satu antisipasinya adalah menyusun APBN yang kokoh dan kredibel. "Jangan sampai defisit melebihi batas yang ditentukan. Lalu, waspadai utang. Jangan sampai kita lalai sehingga utang terus meningkat dan menyulitkan kita di kemudian hari. Ingat, utang tidak hanya oleh pemerintah, tetapi juga oleh swasta," ujar Boediono. Sri Mulyani berpendapat, APBN memang tidak boleh menjadi sumber masalah. Akan tetapi, tak jarang APBN harus menanggung beban akibat hal-hal yang sulit diprediksi, seperti perubahan iklim atau kenaikan harga minyak. Perubahan iklim bisa menyebabkan kelangkaan produksi pangan sehingga harga pangan meroket. Sementara harga minyak tinggi menyebabkan subsidi bahan bakar minyak saat itu turut membengkak. "Kita memang bisa membaca tren, tetapi sangat sulit untuk memprediksikan apa yang sesungguhnya akan terjadi," ucap Sri Mulyani. Sementara itu, Chatib Basri menyoroti pentingnya keterlibatan pemerintah yang baru menjelang masa transisi seiring berakhirnya pemerintahan yang lama dalam penyusunan APBN. Apabila perwakilan pemerintahan yang akan datang tidak terlibat dalam penyusunan APBN menjelang berakhirnya pemerintah lama, APBN disusun tidak secara agresif. "Pada masa saya sebagai Menkeu, terjadi transisi pada 2014. Pemerintahan yang baru tidak bisa diajak terlibat menyusun APBN sehingga APBN saat itu didesain hanya untuk tiga atau empat bulan pertama tahun berikutnya dengan harapan akan ada revisi melalui APBN Perubahan," kata Chatib Basri. Fungsi koordinasi Boediono menambahkan, saat menghadapi situasi krisis, koordinasi lintas sektor amat penting. Ia menyebut empat institusi yang harus bekerja sama mengatasi krisis. Keempat institusi tersebut adalah Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan, dan Otoritas Jasa Keuangan. Namun, kata Boediono, hal itu tidak mudah dilakukan. "Dalam keadaan krisis, faktanya, makin sulit dilakukan koordinasi. Dalam keadaan normal saja sulit. Semua kembali ke zona nyaman masing-masing saat krisis. Persoalan ini harus bisa diatasi," ujar Boediono. Sri Mulyani setuju bahwa dalam situasi krisis, yang paling penting adalah melawan zona nyaman atau harus melepas ego tiap-tiap sektor. Namun, kata dia, hal itu adalah justru yang paling berat dilakukan. Dibutuhkan keberanian dan kerelaan untuk berkorban dalam mengatasi krisis bersama-sama. Sementara itu, Chatib Basri menyoroti pentingnya komunikasi saat terjadi krisis. Komunikasi yang harus disampaikan kepada publik di dalam negeri ataupun di dunia internasional harus tidak berdampak pada timbulnya kepanikan. Kepintaran berkomunikasi saat krisis sangat diperlukan bagi pengambil kebijakan. (APO)