JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menilai ambang batas parlemen perlu ditingkatkan dari saat ini 3,5 persen menjadi 5 persen dari jumlah suara sah secara nasional. Peningkatan ini untuk memperkuat sistem presidensial. Namun, fraksi-fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat punya sikap berbeda-beda. "Dari yang berlaku pada pemilu sebelumnya 3,5 persen, memang harus ditingkatkan. Namun, peningkatannya tidak drastis, paling maksimal hanya 5 persen," kata Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo saat rapat kerja dengan Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyelenggaraan Pemilu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (30/11). Rapat kerja itu digelar untuk mendengar keterangan pemerintah dan pandangan fraksi-fraksi di DPR serta Dewan Perwakilan Daerah atas RUU Pemilu yang disusun oleh pemerintah. Selain Tjahjo, hadir pula Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly. Menurut Tjahjo, jika ambang batas ditingkatkan, akan menyederhanakan jumlah partai di DPR. Dengan jumlah partai lebih sederhana, proses pengambilan keputusan lebih mudah sehingga mendorong penguatan sistem presidensial. Anggota Pansus RUU Pemilu DPR dari Fraksi Nasdem, Tamanuri, yang membacakan sikap fraksinya, sepakat dengan perlunya ambang batas parlemen dievaluasi. "Ambang batas perlu dinaikkan semaksimal mungkin. Ini akan berdampak ke penyederhanaan partai di DPR dan ujungnya memperkuat sistem presidensial," ujarnya. Namun, sikap berbeda disampaikan Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kedua fraksi meminta ambang batas 3,5 persen dipertahankan. Anggota Pansus dari Fraksi PPP, Achmad Baidowi, mengatakan, jika ambang batas dinaikkan, akan lebih banyak suara pemilih saat pemilu tidak terwakili di DPR. "Jika melihat Pemilu 2014 dengan ambang batas 3,5 persen saja, ada sekitar 2 juta suara yang hangus atau tidak bisa terwakili di DPR," ujarnya. Sistem Pemilu Selain ambang batas, sistem pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD juga banyak disoroti fraksi-fraksi di DPR, dan juga DPD. Di RUU Pemilu disebutkan, sistem pemilunya adalah terbuka terbatas. Dengan sistem ini, pemilih bisa mengetahui para calon anggota DPR dan DPRD. Namun, penentuan calon terpilih berdasarkan nomor urut calon yang ditetapkan oleh partai. Menurut Anggota Pansus dari Fraksi PAN, Viva Yoga, meski namanya terbuka, tetapi pelaksanaannya seperti sistem tertutup. Ini bertentangan dengan keputusan kongres PAN dan yang tercantum di Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PAN bahwa penentuan caleg terpilih harus dengan suara terbanyak. Artinya, sistem yang diberlakukan harus tetap terbuka. Anggota Pansus dari Fraksi Partai Hanura Rufinus Hotmaulana Hutauruk pun menilai sistem terbuka terbatas sama saja dengan sistem tertutup yang akan mengingkari kedaulatan pemilu di tangan rakyat. Menurut Tjahjo, sistem terbuka terbatas jadi jalan tengah antara sistem terbuka dan tertutup. Pasalnya, kehendak masyarakat, parpol, dan putusan Mahkamah Konstitusi terbelah ke kedua sistem itu. (APA/AGE) Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Desember 2016, di halaman 5 dengan judul "Ambang Batas Diperdebatkan".