Mulai 30 November 2016, Setya Novanto kembali menjabat sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat menggantikan Ade Komarudin. Pergantian yang merupakan keputusan Partai Golkar, tempat asal Novanto dan Ade, ini sah karena telah disetujui sembilan fraksi lain di rapat paripurna DPR. Namun, dalam proses kembalinya Novanto sebagai ketua DPR, sempat memunculkan pertanyaan terkait putusan Mahkamah Kehormatan Dewan. Pertanyaan ini bermula ketika beredar pesan singkat ke pers berisi konferensi pers oleh MKD, Rabu (30/11). ANTARA/AKBAR NUGROHO GUMAYKetua Mahkamah Kehormatan Dewan Sufmi Dasco Ahmad (tengah), Wakil Ketua Sarifudin Sudding (kanan), dan Wakil Ketua Guntur Sasono (kiri) usai menyampaikan hasil putusan perkara yang melibatkan Ketua DPR Ade Komarudin di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (30/11). Rabu pagi itu, di ruang sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) di Kompleks Parlemen, Senayan, pimpinan dan anggota MKD memberikan keterangan tentang keputusan dugaan pelanggaran kode etik oleh Ade. "Putusan kami ini tak ada hubungannya dengan usulan Fraksi Golkar untuk mengganti ketua DPR. Kami hanya bekerja sesuai aturan dan jadwal yang sudah disusun," kata Wakil Ketua MKD dari Fraksi Partai Hanura Sarifudin Sudding. Ade dijatuhi sanksi terkait dua perkara pelanggaran kode etik. Pertama, pembagian kewenangan mitra komisi untuk urusan pencairan penyertaan modal negara (PMN) badan usaha milik negara. Dugaan pelanggaran itu dilaporkan oleh 36 anggota Komisi VI yang tidak setuju keputusan Ade mengikutsertakan Komisi XI dalam urusan pencairan dana PMN. Perkara kedua adalah laporan Badan Legislasi ke MKD karena Ade diduga mengulur waktu pengesahan RUU Pertembakauan. Dalam perkara kedua ini, MKD menjatuhkan sanksi tingkat sedang berupa pemberhentian Ade dari jabatan ketua DPR. Putusan MKD itu terkesan mendadak. Sebab, awalnya, agenda MKD pada pagi hari itu adalah pemeriksaan Ade dan Menteri BUMN, bukan sidang pengambilan keputusan. Rapat paripurna untuk memberhentikan Ade dan menggantinya dengan Novanto pun sebenarnya dijadwalkan baru sore hari. Sekretaris Fraksi Partai Amanat Nasional Yandri Susanto adalah salah satu yang terkejut dengan putusan MKD itu karena hal itu dinilai terburu-buru. Apalagi, sebenarnya pergantian ketua DPR sudah dijadwalkan sore harinya. Dengan demikian, putusan MKD sebenarnya tak diperlukan karena Ade pasti tak lagi jadi ketua DPR. Kejanggalan Ada beberapa kejanggalan dari putusan MKD tersebut. Pertama, Ade belum sempat diperiksa dan dimintai keterangan oleh MKD. MKD memang telah mengirimkan surat panggilan sebanyak dua kali, tetapi Ade sudah minta penjadwalan ulang dengan alasan sedang berobat ke luar negeri. Pasal 24 Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara MKD, MKD membolehkan pengambilan keputusan tanpa kehadiran terlapor. Namun, hal itu dengan catatan yang bersangkutan tak memenuhi panggilan MKD sebanyak tiga kali tanpa alasan sah. Adapun Ade tak memenuhi panggilan sebanyak dua kali disertai alasan dan surat resmi. "Kalau mau tertib dengan tata acara, harusnya sidang pengambilan keputusan dapat ditunda sampai Ade memenuhi panggilan. Apalagi, sudah ada surat dari yang bersangkutan untuk meminta penjadwalan ulang," kata politisi PDI-P Junimart Girsang, yang menjadi Wakil Ketua MKD dari 2014 hingga awal 2016. Kejanggalan lain, sidang terhadap kedua perkara Ade dilakukan kilat. Sidang pemeriksaan terhadap pengadu dan saksi dikebut dalam dua hari, yaitu pada 23 dan 28 November. KOMPAS/ALIF ICHWANAnggota DPR dari Fraksi Golkar, Setya Novanto (dua dari kiri), memberi salam kepada anggota DPR setelah mengucapkan sumpah sebagai Ketua DPR kembali. Putusan MKD yang ternyata tak bulat diambil adalah kejanggalan lain. Wakil Ketua MKD dari Fraksi PDI-P Trimedya Panjaitan mengatakan, fraksinya tak hadir dalam pengambilan keputusan dan menyatakan ketidaksetujuannya. "Kami tak hadir, artinya kami tak setuju. Sebab, ada prosedur yang belum dipenuhi," katanya. Sekretaris Jenderal Golkar Idrus Marham justru akan mempelajari lebih dulu keputusan MKD. Khususnya, terkait ada tidaknya larangan bagi Ade menduduki jabatan politik di DPR karena bukti pelanggaran kode etik. "Jangan sampai kami mau perjuangkan posisi baru untuk Ade, tetapi dilarang karena implikasi dari keputusan MKD," kata Idrus. Ia menampik pihaknya meminta MKD mempercepat keputusan pemberhentian Ade. Lagu lama Pertanyaan terhadap kerja MKD bukan hanya terjadi kali ini. Saat MKD memproses kasus dugaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan wakil Presiden Jusuf Kalla dalam permintaan saham ke PT Freeport Indonesia tahun 2015 juga sempat dipersoalkan. Akibat kasus tersebut, Novanto akhirnya mengundurkan diri dari jabatan ketua DPR pada Desember 2015 dan digantikan oleh Ade. Pertanyaan juga muncul belakangan ini karena MKD seperti membiarkan tingginya tingkat ketidakhadiran anggota DPR dalam rapat paripurna ataupun di rapat-rapat alat kelengkapan di DPR. Padahal, kode etik DPR jelas mengatur sanksi bagi anggota DPR yang tidak pernah hadir dalam rapat-rapat di DPR. Pembiaran MKD terhadap pelanggaran yang dilakukan pimpinan ataupun anggota DPR sendiri sebenarnya tak perlu dipertanyakan. Peneliti Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Khairul Fahmi menyatakan, kinerja yang baik itu memang sangat sulit diharapkan dari setiap anggota MKD untuk bekerja secara independen tanpa diintervensi. Intervensi sangat mungkin terjadi, terutama dari fraksi atau partai asal setiap anggota MKD. Pasalnya, sekalipun duduk di MKD, mereka masih anggota fraksi dan kader partai. "Saat ada arahan dari fraksi atau partai, tak mungkin mereka berani menolaknya. Ini yang membuat janji yang selalu diutarakan oleh anggota MKD, bahwa mereka akan bekerja independen dan profesional, menjadi sulit dipercaya," katanya. Jika MKD ingin publik memercayai bahwa mereka bekerja profesional, independen, dan obyektif, DPR perlu mempertimbangkan masuknya unsur dari luar DPR ke MKD. Unsur luar itu bisa akademisi atau tokoh masyarakat. "Yang terpenting mereka non-partisan," kata Khairul. Tentu, keberadaan unsur dari luar itu sekaligus juga sebagai alat publik untuk mengawasi kerja MKD agar tak diskriminatif, subyektif, dan sewenang-wenang. (AGNES THEODORA/A PONCO ANGGORO) Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Desember 2016, di halaman 2 dengan judul "MKD dan Kepentingan DPR".