Tumbuh Moderat di Tengah Ketidakpastian   Pengantar Redaksi Redaksi "Kompas" menyelenggarakan diskusi panel ekonomi bertema "Prospek Ekonomi Indonesia 2017" di harian "Kompas", Jakarta, 16 November lalu. Narasumber diskusi adalah Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas; Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Prof Ari Kuncoro, PhD; Vice President of Asian Development Bank Dr Bambang Susantono; pengajar FEB UI Faisal Basri; Guru Besar Ekonomi Internasional S Rajaratnam School of International Studies- Nanyang Technological University dan Guru Besar Ekonomi Emeritus UI, J Soedradjad Djiwandono; serta Komisaris Utama Bank BTPN Dr Mari Elka Pangestu. Diskusi dimoderatori Rektor Unika Atma Jaya Jakarta Dr A Prasetyantoko. Laporan ditulis Ninuk M Pambudy, Sri Hartati Samhadi, Dewi Indriastuti, A Handoko, Hendriyo Widi, dan Gianie dari Litbang "Kompas", disampaikan berikut ini dan di halaman 33-38. Tahun 2016 ekonomi Indonesia diperkirakan tumbuh 5 persen, sedikit lebih baik daripada pertumbuhan tahun lalu sebesar 4,9 persen. Dalam APBN 2017, asumsi pertumbuhan ekonomi tahun depan adalah 5,1 persen. Pilihan menggunakan target moderat tersebut mencerminkan perekonomian tahun depan diperkirakan tidak banyak berbeda dari tahun ini. Dari faktor global, sumber gejolak terhadap perekonomian nasional datang dari kebijakan pemerintahan baru Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump. Janji kampanye Trump yang bersifat proteksionis diprediksi semakin memperlambat laju perdagangan dunia yang saat ini pun sudah cenderung bersifat proteksionis. Pada saat bersamaan, nilai tukar dollar AS menguat terhadap sejumlah mata uang dunia seraya menantikan keputusan bank sentral AS, The Fed, untuk menaikkan suku bunga. Indonesia harus siap apabila aliran dana keluar dari pasar uang. Ekonomi Uni Eropa tidak dapat diharapkan karena pertumbuhan tidak setinggi target. Apalagi, UE menghadapi isu anti globalisasi, anti imigran, dan anti UE di beberapa negara anggota, terutama Perancis sebagai salah satu motor UE. Begitu pula pertumbuhan ekonomi Jepang dan Tiongkok. Pada tahun 2015, pertumbuhan Tiongkok terendah selama 25 tahun. Dunia masih menunggu apakah Trump menepati janji kampanyenya untuk melindungi pasar AS dari Tiongkok. Bahkan, sebelum Trump terpilih, pertumbuhan perdagangan dunia sudah melambat. Apabila pada tahun 1990-an 1 persen pertumbuhan global meningkatkan volume perdagangan 2,5 persen, semakin ke sini pertumbuhan yang sama hanya meningkatkan volume 0,7 persen. Sejak melalui krisis keuangan Asia 1998, ekonomi Indonesia didominasi pendapatan dari harga komoditas yang baik. Namun, empat tahun terakhir, harga komoditas terus turun sehingga memengaruhi pendapatan negara. Organisasi Negara-negara Penghasil Minyak (OPEC) pada 30 November lalu sepakat membatasi produksi minyak mentah mereka untuk mendongkrak harga. Namun, diperkirakan harganya hanya 50-52 dollar AS untuk jenis WTI dan Brent yang jadi patokan dunia karena bangkitnya produksi minyak serpih AS. Optimistis dan realistis   Presiden Joko Widodo saat berbicara dalam Kompas100 CEO Forum pada 24 November lalu mengajak bersikap optimistis di tengah gejolak perekonomian dunia. Ada beberapa hal yang membuat optimisme itu realistis. Bonus demografi tengah dinikmati Indonesia, membuat penduduk usia muda menjadi konsumen sehingga ekonomi dapat tetap tumbuh 5 persen. Ekonomi Indonesia telah bergeser dari berbasis ekspor setelah krisis keuangan 1997/1998 menjadi berbasis konsumsi. Hal lain, pertumbuhan sektor jasa di atas pertumbuhan nasional, yaitu transportasi dan pergudangan, komunikasi dan informasi, keuangan dan asuransi, serta jasa bisnis. Pariwisata dapat menjadi sektor jasa yang cepat menghasilkan devisa dan meratakan pembangunan jika menyertakan masyarakat lokal melalui penyediaan jasa penginapan, restoran, dan cendera mata. Terdapat sejumlah pemimpin daerah yang kreatif menciptakan pertumbuhan tanpa banyak bergantung pada APBN, antara lain, Banyuwangi (Jawa Timur) dan daerah lain, seperti Bantaeng (Sulawesi Selatan), Batang dan Solo (Jawa Tengah), Bojonegoro (Jawa Timur), serta Kota Bandung (Jawa Barat). Meski demikian, ada persoalan struktural di dalam negeri yang perlu diatasi, yaitu terlambatnya Indonesia mengembangkan industrialisasi sejak krisis keuangan 1997/1998. Persoalan struktural itu menyebabkan ekonomi Indonesia melambat saat harga komoditas dunia jatuh, sementara negara- negara yang industri manufakturnya cukup kuat, seperti Vietnam, tetap tumbuh. Bahkan, negara dengan ekonomi lebih besar dari Indonesia, yaitu Tiongkok dan India, ekonominya tumbuh lebih tinggi daripada Indonesia. Jika tidak segera mengembangkan industri manufaktur, Indonesia dapat terjebak menjadi negara berpenghasilan menengah. Indonesia membutuhkan lebih banyak investasi swasta karena kemampuan pemerintah terbatas. Untuk itu, iklim usaha menyeluruh harus dibangun. Salah satunya, stabilitas nilai tukar rupiah menghadapi gejolak dunia. Yang harus diantisipasi jika Bank Sentral AS menaikkan suku bunga-kemungkinan pertengahan Desember-setelah ekonomi AS konsisten menunjukkan perbaikan. Karena itu, dibutuhkan kebijakan moneter untuk membantu kebijakan fiskal. Pada masa lalu, Bank Indonesia mendapat tugas menjaga kestabilan dan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui, antara lain, kredit likuiditas. Tujuannya, menunjang pengembangan kegiatan ekonomi untuk pertumbuhan dan pemerataan hasil pertumbuhan. Kini, BI hanya mendapat tugas stabilisasi, sementara AS masih menugaskan bank sentralnya dalam pemerataan hasil pertumbuhan. Memasuki tahun 2017, ketidakpastian yang berasal dari perekonomian global memerlukan kebijakan komprehensif agar Indonesia mendapat manfaat dari keunggulan kompetitif yang sudah terberi, yaitu sumber daya alam dan penduduk yang besar.