Desember Masih Butuh Rp 172 Triliun JAKARTA, KOMPAS — Direktorat Jenderal Pajak harus menghimpun pemasukan minimal Rp 172 triliun pada Desember guna mencapai rencana defisit anggaran negara sebesar 2,7 persen terhadap produk domestik bruto. Pada saat yang sama, total utang yang direncanakan sudah tuntas ditarik semua pada awal Desember. "Untuk mencapai penerimaan Rp 172 triliun tersebut berat sebab kondisinya tidak sama seperti tahun lalu. Artinya, arus kas pemerintah pada akhir tahun ini bisa jadi ketat," kata Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo di Jakarta, Kamis (8/12). Menurut Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Yon Arsal, realisasi penerimaan pajak sampai dengan 30 November mencapai Rp 965 triliun atau tumbuh 11 persen ketimbang periode yang sama pada 2015. Dengan demikian, untuk mencapai proyeksi penerimaan pajak sampai akhir tahun senilai Rp 1.137 triliun, masih butuh tambahan Rp 172 triliun.     Target penerimaan pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2016 adalah Rp 1.355 triliun. Namun, pada Agustus, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memproyeksikan penerimaan pajak sampai dengan akhir tahun meleset Rp 218 triliun di bawah target atau menjadi Rp 1.137 triliun. Selanjutnya, rencana anggaran mutakhir didasarkan atas asumsi tersebut. Belanja negara kemudian dipotong Rp 137,6 triliun. Dengan demikian, defisit melebar dari target 2,35 persen terhadap PDB menjadi 2,7 persen PDB. Pada Desember 2015, Ditjen Pajak berhasil mengumpulkan pemasukan pajak senilai Rp 184 triliun. Namun, capaian itu, menurut Prastowo, sulit diulangi pada tahun ini karena kondisi berbeda. Saat itu, Ditjen Pajak antara lain menempuh cara ijon dan penundaan pembayaran restitusi pajak. Ijon merujuk pada cara Ditjen Pajak meminta sejumlah wajib pajak besar membayarkan kewajiban pajak yang semestinya dilakukan pada 2016 menjadi akhir 2015. Sementara restitusi pajak adalah kelebihan pembayaran pajak yang diklaim wajib pajak kepada negara. Faktor lain, Prastowo mengatakan, penyerapan anggaran belanja, terutama belanja modal, yang melambung pada Desember 2015. Hal ini memberikan sumbangan melalui Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas proyek pemerintah. Sulit diulangi Ketiga faktor tersebut, menurut Prastowo, sulit diulangi pada Desember 2016. Alasannya, ijon dan penundaan restitusi pajak bertentangan dengan semangat pengampunan pajak yang berlaku per Juli 2016 sampai dengan Maret 2017. Sementara realisasi belanja pemerintah kemungkinan tidak akan melejit seperti 2015 mengingat pemerintah telah memotong belanja Rp 137,6 triliun. Dengan kondisi itu, Prastowo memperkirakan realisasi penerimaan pajak sampai dengan akhir tahun akan mencapai sekitar 82 persen. Tahun lalu capaiannya 81,5 persen. Beberapa hari setelah dilantik sebagai menteri keuangan, Sri Mulyani mengatakan, pihaknya akan menghindari cara-cara penghimpunan pajak melalui ijon. Alasannya, cara itu tidak baik bagi pemerintah.   Direktur Surat Utang Negara Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Loto Srinaita Ginting menyatakan, Kementerian Keuangan telah selesai menarik utang sesuai target neto, yakni Rp 407,88 triliun. Dengan demikian, tidak akan ada lagi lelang Surat Berharga Negara untuk kebutuhan anggaran 2016. Namun, jika dibutuhkan, pihaknya telah menyiapkan antisipasi. (BKY/LAS)