Bukan Pilihan Kedua Beberapa waktu lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan mengaku terheran-heran dengan harga listrik dari energi terbarukan di Uni Emirat Arab yang murah (Kompas, 5/12). Di negara yang berlimpah minyak itu, listrik dari tenaga surya dijual seharga kurang dari 3 sen dollar AS per kWh. Sementara di Indonesia, harganya di atas 10 sen dollar AS per kWh. Kerisauan Jonan membandingkan harga jual listrik, termasuk ongkos produksi minyak, antara negara di Timur Tengah dan Indonesia rasanya kurang tepat. Mengacu pada pendapat Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa, ada sejumlah hal yang membuat harga listrik tenaga surya di UEA jauh lebih murah. Faktor itu antara lain ketiadaan beban pengadaan lahan serta durasi matahari bersinar terik atau efektif di UEA jauh lebih lama ketimbang di Indonesia yang paling lama hanya sekitar empat jam. Selain itu, pemerintah di sana memastikan listrik energi terbarukan yang diproduksi swasta akan dibeli. Situasi itu berbeda jauh dengan di Indonesia. Selain didera kerepotan membebaskan lahan, perizinan juga menjadi momok untuk membangun pembangkit listrik. Hal lain yang sangat penting adalah pengembang listrik swasta dari energi terbarukan dibayangi ketidakpastian pembelian listrik oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Dalam hal ini, PLN adalah satu-satunya pembeli listrik yang dihasilkan swasta. Bagaimana energi terbarukan bisa berkembang di Indonesia kalau listriknya tidak dibeli? Tentu akan sia-sia. PLN juga memperhitungkan betul aspek bisnis jual beli ini. Jika lebih mahal dari biaya pokok penyediaan (BPP) listrik, siapa yang akan menanggung selisih harganya? Soal subsidi listrik dari energi terbarukan diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Namun, usulan subsidi dalam pembahasan APBN 2017 ditolak DPR. Kondisi suram itu sedikit terobati dengan rencana pemerintah membebaskan swasta membangun listrik dari energi terbarukan dan menjual langsung kepada konsumen tanpa melalui PLN. Karena itu, mereka juga perlu membangun jaringan bertegangan rendah. Bahkan, apabila harga jualnya lebih tinggi dari harga BPP, mereka bisa mengajukan subsidi ke DPR. Sebaiknya, berbagai ide terkait dengan energi terbarukan direalisasikan, jangan sekadar rencana di atas kertas. Komitmen mewujudkan bauran energi nasional, dengan porsi energi terbarukan 23 persen dari seluruh energi pada 2025, harus tetap dijaga. Jika tidak, energi terbarukan selamanya akan menjadi pilihan kedua, atau malah terakhir, bukan yang pertama. (Aris Prasetyo)