JAKARTA – Langkah Polri memanggil politikus Partai Amanat Nasional (PAN) Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio) atas pernyataannya di media massa bahwa penangkapan teroris di Bekasi sebagai pengalihan isu mengundang kritik banyak kalangan. Polri dinilai terlalu reaktif dan terkesan represif terhadap kebebasan berpendapat. Di sisi lain, aparat keamanan kini dinilai makin mudah menggunakan UU ITE untuk menjerat pihak-pihak yang bersikap kritis terhadap kekuasaan. Sekretaris Fraksi PAN di DPR Yandri Susanto mengatakan, langkah Polri itu memicu kekhawatiran bahwa ketika ada komentar miring dan berseberangan dengan pemerintah, urusannya dengan pihak berwajib. Dia berharap itu tidak menjadi kebiasaan aparat keamanan. “Ini imbauan kami ke pihak kepolisian,” ujar Ketua DPP PAN tersebut yang disampaikannya saat melakukan interupsi di rapat paripurna DPR kemarin. Fraksi PAN, kata Yandri, meminta agar Eko tidak perlu memenuhi panggilan tersebut karena tidak sesuai prosedur dan aturan yang berlaku. Menurutnya, dalam surat pemanggilan tersebut tidak disebutkan secara detail mengenai siapa yang melapor. Hanya disebutkan bahwa itu berkaitan dengan pelanggaran UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Di sisi lain, DPR sebagai lembaga tinggi negara memiliki aturan main yang diatur dalam UU Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) dan Peraturan DPR Nomor 1/2014 tentang Tata Tertib DPR. Di situ dinyatakan bahwa jika ada anggota DPR yang dipanggil pihak berwajib harus mendapatkan izin Presiden kecuali kasus korupsi dan terorisme. Yandri juga mengatakan bahwa Eko tidak pernah berkomentar di media dan berbicara mengenai bom Bekasi. Karena itu, pihaknya tengah menelusuri media online yang mengutip pernyataan Eko tersebut. Yandri justru mencurigai ada motif politik di balik pemanggilan Eko yang juga ketua DPW PAN DKI Jakarta ini, khususnya berkaitan dengan dinamika Pilkada DKI Jakarta. “Apakah ada hubungannya dengan dinamika politik di DKI, tentu akan kami dalami. Dinamika boleh tinggi tapi fitnah atau saling menjatuhkan satu sama lain harus dihindari,” ujarnya. Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan, institusi di luar DPR seharusnya tidak terlalu mudah menilai tindakan anggota DPR sebagai pelanggaran hukum. Apalagi memberikan pernyataan itu juga terkait dengan hak anggota Dewan sebagai wakil rakyat. “Anggota Dewan itu pejabat yang dilindungi konstitusi,” kata Fahri. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Komisaris Besar Polisi Rikwanto menyatakan, penyidik mengundang Eko Patrio untuk mengklarifikasi pernyataannya di media massa terkait penangkapan teroris di Bekasi sebagai pengalihan isu. “Dia (Eko) hanya untuk minta keterangan apa yang dimaksud pemberitaan di media,” kata Rikwanto di Jakarta, Kamis. Rikwanto menuturkan pemanggilan Eko sebagai proses penyelidikan dengan cara mengundang secara halus untuk menyampaikan maksud pernyataannya tersebut. Dia mengatakan, penyidik akan melayangkan surat panggilan kedua jika komedian yang menjadi politisi itu tidak memenuhi pemanggilan pertama. Dia mengaku prihatin terhadap pernyataan Eko tentang penangkapan jaringan teroris di Bekasi oleh anggota Densus 88 Antiteror itu. “Kita prihatin saja dan tidak boleh (menuduh pengalihan isu) karena ini tugas negara dan undang-undang,” ujar Rikwanto. Rikwanto menambahkan, apabila Eko tidak merasa diwawancara awak media massa, lebih baik mengklarifikasi sehingga polisi akan menindaklanjuti lebih jauh konten pemberitaan tersebut. Koordinator Regional Southeast Asia Freedom of Expression Network (SafeNet) Damar Juniarto mengatakan, kasus pemanggilan Eko ini jadi problem karena seolah-olah menyeret seseorang ke polisi jadi lebih mudah dengan UU ITE. Orang yang dilaporkan pun bisa dengan mudah merasa dirinya dikriminalisasi. “Pertanyaan krusial jadi mencuat, apakah ini jenis keadilan yang diinginkan ketika revisi UU ITE kemarin disahkan? Bahwa semakin banyak orang dipidanakan karena apa yang diposting atau disampaikan di media sosial? Itu yang harus ditanyakan kepada para pembuat kebijakan di Kominfo dan Komisi I DPR,” ujarnya kemarin. Dia menilai kasus seperti ini mengesankan upaya pemelintiran UU ITE. Pasal-pasal yang ada yang seharusnya menjamin perlindungan warga negara pengguna internet/media sosial, bukan justru dipakai untuk ajang saling menuntut. Menurut dia, jika pelapor bernama Sofyan Armawan itu menuntut dengan pasal pencemaran nama (Pasal 27 ayat 3), maka itu harusnya tidak bisa ditindaklanjuti oleh polisi karena jelas itu delik aduan. “Harus orang yang merasa dirugikan nama baiknya yang melaporkan,” ujarnya. Tapi kalau dia menuntut dengan Pasal 28 ayat 1 (berita bohong) atau 28 ayat 2 (hate speech) UU ITE itu memang delik umum dan siapa pun bisa mengajukan pelaporan ke polisi. Polisi pun harus menjalankan tugas dan kewajiban. Direktur Eksekutif VoxPol Center Pangi Syarwi Chaniago berpandangan, anggota DPR memiliki hak bicara yang dilindungi UU sehingga seharusnya tidak perlu ada yang dicemaskan oleh Eko selama tidak membuat pernyataan seperti yang ditulis di media. Di sisi lain, Pangi menilai bahwa UU ITE kini makin mudah disalahgunakan untuk membungkam pihak yang dinilai berseberangan dengan pemerintah. Dosen ilmu politik di UIN Jakarta itu khawatir kelak akan ada banyak orang yang ditahan kepolisian karena mengkritik pemerintah. “Tentu, orang akan mulai takut berbicara karena penyalahgunaan UU ITE ini. Itu tidak baik bagi perkembangan demokrasi di Indonesia,” ujarnya. Kiswondari/ant