JAKARTA, KOMPAS — Draf revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang disusun oleh pemerintah menitikberatkan upaya aparat keamanan mencegah suatu aksi teror. Namun, dalam pembahasan sejauh ini, Dewan Perwakilan Rakyat masih gamang menyetujui usulan perluasan fungsi aparat untuk menindak pelaku perencana teror yang belum terjadi. Hal itu tergambar dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) 10 fraksi di DPR terkait revisi UU Anti Terorisme. Beberapa alasan melatarbelakangi kegamangan itu, yakni kekhawatiran munculnya penyalahgunaan kewenangan oleh aparat, tindakan represif, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terduga teroris. Sementara itu, belakangan ini, Kepolisian Negara RI sedang fokus pada operasi penangkapan terduga teroris sebelum aksi peledakan bom sempat terjadi. Kejadian terbaru, Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri mencegah peledakan bom bunuh diri di Istana Negara oleh tiga terduga teroris, Dian Novia Yuli, Nur Solihin, dan Agus Supriyadi, akhir pekan lalu. "Dengan senjata, kita bisa membunuh pelaku teroris. Tetapi, dengan pendidikan, kita bisa membunuh terorisme. Artinya, pencegahan tidak terbatas pada aksi penindakan aparat hukum. Itu rawan sekali disalahgunakan. Lagipula, menangkap terduga teroris sebelum menjalankan aksi bukan tujuan utama, melainkan ketika jumlah terduga teroris menurun," kata Ketua Panitia Khusus RUU Anti Terorisme DPR Muhammad Syafii saat dihubungi, Senin (19/12). Dalam DIM yang diserahkan kepada pemerintah, pekan lalu, mayoritas fraksi di DPR menolak sejumlah pasal terkait perluasan tugas pencegahan aksi terorisme itu. Salah satunya, Pasal 28 yang mengatur penangkapan terduga teroris paling lama 30 hari. Batas waktu itu lebih panjang dibandingkan yang berlaku di UU Anti Terorisme saat ini, yakni 7 x 24 jam dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yakni 1 x 24 jam. Terkait penolakan fraksi-fraksi itu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Komisaris Besar Rikwanto menghargai hal itu. Namun, ia mengatakan bahwa semua itu belum final. Sementara itu, Densus 88 terus menyisir jaringan teroris terkait penemuan bom Bekasi pada 10 Desember lalu. Sejumlah orang diamankan. Pada Minggu (18/12) malam, dua orang berinisial TS dan NJR yang diduga sebagai peracik bom ditangkap di Surakarta., Jawa Tengah. Dengan demikian, sudah 14 orang yang diamankan terkait penemuan bom Bekasi. "Dua di antaranya, yaitu Dian Yulia Novi dan Tasnima, diketahui akan menjadi 'pengantin'. Dian untuk di depan Istana dan Tasnima untuk di luar Jawa. Wilayah tepatnya masih dilakukan pendalaman," ujar Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Besar (Pol) Martinus Sitompul di Markas Besar Polri di Jakarta, Senin. (AGE/IAN) Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Desember 2016, di halaman 8 dengan judul "DPR Gamang Beri Perluasan Pencegahan".