di Mahkamah Kehormatan Dewan Masyarakat mendambakan perwakilannya yang ada di Senayan, Jakarta, bisa berbuat yang berguna untuk bangsanya dan memelihara martabat sebagai orang terhormat. Namun, budaya malu dan tanggung jawab etis rupanya masih perlu diajarkan kepada mereka. Pembentukan MKD merupakan salah satu cara untuk menjaga etika serta kehormatan dewan atau anggota dewan itu sendiri. Sehingga MKD diberi hak dan kewenangan khusus untuk menegakkan etika tersebut. Kendati demikian, hingga saat ini MKD belum mencapai tujuan utama itu. MASALAH etika di tataran pejabat negeri ini rupanya masih dianggap sesuatu yang tidak penting. Rakyat tidak diper lukan dan tidak usah mengetahuinya, apalagi ikut mengawasi atau memberikan opini pengadilan. Kalau toh ada, dapat dipastikan akan berlalu begitu saja. Hal itu tentu berbeda jauh dengan `rasa etika' pada politisi di negara-negara yang demokratis atau negara yang menjunjung tinggi moralitas dalam bernegara. Sebut saja di negara Asia, seperti Jepang dan Korea Selatan, yang tidak jarang ada politisi mundur gara-gara apa yang dia kerjakan tidak sesuai dengan kelaziman masyarakatnya. Di Indonesia, hal itu janganlah diharapkan, setidaknya di lingkungan politisi Senayan untuk saat ini.   Akhirnya, ada anggapan bahwa profesi yang paling enak di negeri ini bukanlah pengusaha ataupun presiden, melainkan anggota DPR. Sebab, terlalu banyak privilege yang dimiliki. Privilege itu melindungi mereka dari kesalahan-kesalahan sampai tanggung jawab. Sebagai lembaga yang membuat UU, DPR tidak akan kena sanksi jika dalam proses legislasi hasilnya tidak mencapai target yang dia buat sendiri. Bagaimana dalam tugas budgeting? Ini yang sering mereka mainkan hingga mendapat alokasi anggaran yang jumlahnya tidak kecil. Sebut saja dana reses, dana aspirasi, dan tunjangan yang suatu saat bisa bertambah. Lalu, tugas mengawasi jalannya pemerintahan. Di sini, tidak jarang dijadikan sebagai wahana negosiasi untuk mendukung kepentingan fraksi. Karena itu, jangan heran jika ada aturan atau undang-undang yang sifatnya mengatur, membatasi, ataupun penyertaan sanksi bagi anggota dewan yang melanggar aturan tersebut hasilnya tidak transparan. Masyarakat sempat lega pada 2015 lalu, DPR membentuk Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang ditetapkan dengan UU Nomor 17 Tahun 2014 yang sebelumnya bernama Badan Kehormatan (BK) yang diatur dalam UU Nomor 27 Tahun 2009. Mahkamah itu merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. DPR pula yang menetapkan susunan dan keanggotaan MKD dengan memerhatikan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Anggota MKD berjumlah 17 orang dan ditetapkan dalam rapat paripurna. Perubahan nama itu (MKD) di tim pansus sebelumnya dimaksudkan memperkuat posisi dan kewenangan untuk menjaga kehormatan lembaga legislatif tersebut. Dari sisi bahasa, pilihan kata `mahkamah' memiliki makna lebih terhormat dan posisi tersendiri jika dibanding dengan kata `badan'. Setelah bekerja selama setahun, harapan masyarakat terhadap perbaikan kinerja DPR yang lebih baik, karena berfungsinya MKD, tinggal harapan.Berbagai kasus etika yang dilakukan anggota DPR menguap begitu saja. Bahkan, mengenai kasus yang terakhir, yakni adanya dugaan pelanggaran etika yang dilakukan pimpinan DPR, Setya Novanto dan Fadli Zon, terkait ketidakpatutannya menghadiri acara konvensi bakal calon presiden AS Donald Trump dari Partai Republik di sela-sela tugas parlemen mereka, banyak orang yang pesimistis karena diduga kasus itu akan menguap juga. Alasannya beragam, selain ketidakberdayaan MKD di bawah tekanan fraksi-fraksi, hal itu juga didukung adanya anomali UU MD3 bahwa sidang MKD bersifat tertutup. “Bukan soal arif atau tidak (tentang ketertutupan persidangan Setya dan Fadli) itu. UU-nya (menyatakan) begitu,“ ujar pakar hukum tata negara UI Jimly Asshiddiqie. Padahal, menurut dia, yang namanya mahkamah itu seharusnya terbuka. Untuk itu, dia menyarankan ada upaya judicial review soal (sidang) tertutup itu. “UU-nya memang belum mengakomodasi,“ cetus Jimly. Ketertutupan sidang MKD itu terdapat pada Pasal 132 Ayat 1 yang menyebutkan, `Sidang Mahkamah Kehormatan Dewan bersifat tertutup'. Pada Ayat 2, semangat ketertutupan itu juga dinyatakan, `Mahkamah Kehormatan Dewan wajib menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh dalam sidang Mahkamah Kehormatan Dewan'. Meski begitu, Pasal 15 Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara MKD menyebutkan bahwa sidang MKD bersifat tertutup, tetapi bisa dilakukan terbuka jika dinyatakan sebaliknya. Celah itulah yang rupanya dimanfaatkan Wakil Ketua DPR dari Fraksi PKS Fahri Hamzah dengan mengirimkan surat kepada MKD tertanggal 17 September 2015 yang isinya meminta MKD merahasiakan proses penanganan perkara dua pimpinan DPR itu dari publik dan media massa. Jimly, yang merupakan salah satu ahli yang dimintai pendapatnya dalam penyusunan UU MD3 itu, mengakui bahwa masih ada pemikiran lama di DPR bahwa pelanggaran etika hendaknya tak dibuka luas kepada publik. Padahal, gagasannya soal peradilan etika yang modern mestinya tak berbeda dengan peradilan hukum pidana yang mengedepankan transparansi, independensi, dan imparsialitas.Prinsip-prinsip itu diambil demi menghindari kongkalikong dalam persidangan serta keputusan yang dihasilkan merupakan yang paling mendekati keadilan. “Saya waktu itu gembira diadopsinya istilah `mahkamah'. Namun, kalau dipreteli aturannya (UU MD3), itu belum mencerminkan `mahkamah' peradilan modern,“ ucapnya. Jimly menyoroti perihal mekanisme persidangan MKD yang bersifat tertutup. Itu artinya, DPR masih punya persepsi etika itu harus ditutupi, ranah privat. “Kalau UU MD3 itu ada (aturannya) dan harus tertutup, jadi tertutup. Ini konyol sekali, ada kata tertutup. Bikin sendiri, untuk diri sendiri, maumaunya saja,“ selorohnya.Tidak signifikan Persepsi yang mendominasi anggota DPR itulah rupanya yang dijadikan ruh MKD dalam bertugas. Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menunjukkan data MKD dalam rentan waktu 2014-2015 masih belum menunjukkan kinerja yang signifikan. Hal itu terlihat dari lamanya mereka memutuskan perkara pelanggaran kode etik, terlebih ada sanksi yang diberikan hanya berupa teguran. Dampak dari lamanya penyelesaian kasus, menurut dia, berpotensi membuka ruang intervensi dari pihak luar terhadap MKD dalam mengambil keputusan. Selain itu, tidak adanya batasan waktu yang diatur secara rigit untuk menyelesaikan kasus dinilai sebagai rendahnya kinerja MKD. “Yang patut dipertanyakan, kata Lucius, ialah komitmen MKD untuk segera menuntaskan penanganan perkara.“ Belum lagi aspek imparsialitas MKD. Pasalnya, anggota MKD diisi orang-orang yang merupakan wakil dari partai politik di Senayan. “Sulit bagi MKD dapat independen secara mutlak. Selalu ada ruang permainan kepentingan dan sangat mungkin adanya intervensi keputusan yang diambil,“ cetusnya. Guna menghindari adanya intervensi serta menjamin independensi MKD menyelesaikan perkara, Lucius mengatakan harus ada mekanisme transparansi perihal kasus yang tengah ditangani MKD sehingga publik dapat mengawal kinerja MKD. Caranya, MKD lebih proaktif memberitahukan perkembangan secara garis besar kasus yang tengah ditangani, juga tahapannya sampai di mana. Tidak perlu sampai substansi penyelidikan. Keberadaan MKD yang dirasa tidak efektif seperti itu tidak dipungkiri Wakil Ketua DPR Agus Hermanto. Salah satu alasan ialah mahkamah (MKD) ini baru terbentuk sehingga tujuan penegakan etik tersebut belum tercapai seutuhnya. “Tatib dari MKD juga baru disahkan anggota dewan,“ terangnya. Pembentukan MKD, diakui, merupakan salah satu cara untuk menjaga etika serta kehormatan dewan atau anggota dewan itu sendiri sehingga MKD diberi hak dan kewenangan khusus untuk menegakkan etika tersebut. Kendati demikian, dirinya tidak menampik bahwa hingga saat ini lembaga MKD belum mencapai tujuan utama mereka. Namun, menurut anggota DPR Arwani Thomafi (Fraksi PPP) MKD bekerja sesuai dengan fakta-fakta yang ditemukan di lapangan. Dia pun menampik adanya tudingan MKD mempunyai konflik kepentingan dalam mengusut laporan dugaan pelanggaran kode etik terhadap anggota DPR. “MKD dalam bekerja berdasarkan laporan, faktafakta di lapangan. Tidak ada menurut pendapat fraksi A, seperti di Baleg, misalnya. MKD kan basisnya pada fakta persidangan,“ kata mantan anggota Pansus UU MD3 itu. Terkait transparansi proses pengusutan laporan di MKD, diakui Arwani, memang tidak untuk dijadikan konsumsi publik lantaran laporan tersebut bersifat privasi. Menurut dia, keberadaan MKD bukan untuk membuka aib atau mempermalukan anggota dewan, melainkan menegakkan etika atau kehormatan anggota dewan. Terkait proses di MKD terhadap laporan dugaan pelanggaran kode etik atas Ketua DPR Setya Novanto dan Wakilnya Fadli Zon, ia percaya MKD bisa memprosesnya dengan baik.(Ind/Nur/Uta/P-2) arif_hulwan@mediaindonesia.com   EMAIL arif_hulwan@mediaindonesia.com