MAHKAMAH konstitusi (MK) mene gaskan bahwa pemanggilan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk kepentingan penyidikan dalam hal tindak pidana harus seizin presiden, bukan melalui persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Menurut mahkamah, MKD hanya mengurusi persoalan etik, bukan pidana. Didasarkan pada alasan tersebut, MK menganulir ketentuan pada Pasal 245 Undang­Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) serta dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Adapun Pasal 245 UU MD3 menyebut pemanggilan dan permintaan keterangan anggota dewan yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Permohonan itu dimohonkan oleh perseorangan warga negara Suproyadi Widodo Eddyono sebagai pemohon I dan Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Pidana selaku pemohon II. “Adanya persetujuan tertulis dari MKD kepada anggota DPR yang sedang dilakukan penyidikan tidak tepat karena MKD, meskipun disebut mahkamah, sesungguhnya merupakan alat kelengkapan DPR yang merupakan lembaga etik dan tidak ada hubungannya dengan sistem peradilan pidana,“ ujar hakim konstitusi Wahiduddin Adams pada saat sidang pleno yang diketuai Arief Hidayat di gedung MK, Jakarta, kemarin. MK tidak menampik adanya perlindungan hukum yang bersifat khusus bagi anggota DPR dalam melaksanakan fungsi dan hak konstitusionalnya, juga prinsip adanya kedudukan yang sama di depan hukum. “Meskipun memang ada perlakuan berbeda, perlakuan demikian tidak boleh bertentangan dengan prinsip negara hukum dan asas peradilan pidana. Apalagi sampai menghambat proses hukum,” ucapnya ketika membacakan pertimbangan mahkamah. Oleh karena itu, penerbitan izin tertulis dari presiden dalam hal pemanggilan anggota DPR RI yang disidik harus dilakukan dalam waktu singkat untuk menjamin kepastian hukum. Sementara itu, MK menyatakan pemanggilan terhadap anggota DPRD untuk tingkat provinsi harus dengan persetujuan menteri dalam negeri, sedangkan DPRD tingkat kabupaten/kota disertai persetujuan gubernur. Putusan itu sebenarnya telah dibahas 10 bulan lalu dan baru dibacakan, kemarin. Putusan itu sudah selesai dibahas dalam rapat permusyawaratan hakim pada 20 November 2014, ketika MK masih diketuai Hamdan Zoelva. Jangan persulit Secara terpisah, ahli hukum tata negara Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf mengatakan putusan itu justru memberikan pembedaan bagi warga negara biasa dengan pejabat atas prinsip kedudukan yang sama di depan hukum. Itu jelas bertentangan dengan prinsip dasar hukum. Pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Chudry Sitompul berharap presiden tidak akan mempersulit dan tebang pilih atas proses hukum yang berlangsung apabila aparat penegak hukum ingin memeriksa anggota dewan. “Karena dalam politik sekarang masyarakat akan terus memantau, dan hal itu bisa memicu kritik dari publik. Namun, secara teoritis, kalau ada anggota dewan yang mendukung pemerintah bisa saja dilama-lamain. Itu secara teori ya, faktanya bagaimana kita lihat aja nanti,“ pungkasnya. (Nov/P-4)