Kiprah anggota Dewan Perwakilan Rakyat bisa menjadi sensasi politik tatkala aktivitas ataupun perkataannya di hadapan publik bertentangan dengan norma-norma umum dan kapasitas jabatannya sebagai wakil rakyat. Bukan cerita baru bagi rakyat di negara ini tentang tindak tanduk ataupun anggota Dewan yang kerap menyalahi kode etik institusinya. REUTERS/LUCAS JACKSONBakal calon Presiden Amerika Serikat dari Partai Republik, Donald Trump (kanan), berdiri di samping Setya Novanto, Ketua DPR Republik Indonesia, dalam acara di New York, Amerika Serikat, 3 September 2015. Berita terakhir yang cukup mengentak publik adalah kehadiran Ketua DPR Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR Fadli Zon dalam kampanye calon presiden Partai Republik Donald Trump untuk pemilu Amerika Serikat tahun 2016. Padahal, agenda resmi pimpinan Dewan beserta rombongan di AS pada 31 Agustus-2 September lalu adalah menghadiri Forum Ketua Parlemen Sedunia di New York. Meski Setya Novanto dan Fadli Zon membalut pertemuan dengan Trump ini dengan alasan mempromosikan peluang investasi di Indonesia, kehadiran mereka dalam momen kampanye tersebut tetap menuai kontroversi. Sebab, apa yang dikatakan oleh kedua unsur pimpinan Dewan ini tidak sesuai dengan kapasitas mereka. DPR bukanlah lembaga yang berwenang untuk mengambil keputusan negara terkait membangun kerja sama investasi dengan negara lain. Sementara Fadli Zon dalam aksi foto bersamanya dengan Trump juga mendapat sorotan publik karena tindakan itu dianggap mencoreng wibawa DPR sebagai lembaga negara yang berdaulat di Indonesia. Kode etik Berkaca dari kasus Setya Novanto dan Fadli Zon ini, sejumlah tindakan anggota Dewan yang mendapat sorotan publik biasanya terkait dengan kode etik. Di dalam Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik DPR RI, kode etik merupakan norma yang wajib dipatuhi oleh setiap anggota selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPR. Artinya, dengan peraturan tentang Kode Etik DPR ini, para anggota Dewan telah memiliki standar formal yang mengatur perilaku, profesi, dan kapasitas mereka selaku wakil rakyat. Kode etik ini merupakan panduan normatif bagi anggota Dewan dalam menjalankan peran mereka yang berkaitan langsung dengan kepentingan umum, disiplin kerja, tanggung jawab, keterbukaan, dan manajemen konflik kepentingan. Setiap tindakan yang menyalahi panduan perilaku itu bisa dikatakan sebagai pelanggaran kode etik. Sudah tentu kode etik ini memiliki tujuan untuk melahirkan anggota Dewan yang profesional dan dedikatif. Jika ditelusuri ke belakang, sudah banyak daftar "dosa" anggota Dewan yang terungkap ke publik terkait dengan pelanggaran kode etik, mulai dari pernyataan yang menyakitkan, tidak disiplin menghadiri rapat, malas, arogan, egois, hingga korup. Gambaran watak anggota Dewan ini memampangkan lukisan wajah wakil rakyat dengan kualitas yang buruk. Wajar jika masyarakat lalu memandang para anggota Dewan dengan citra yang buruk. Citra buruk Hampir semua hasil survei yang diselenggarakan oleh Litbang Kompas selalu mengungkapkan pencitraan yang buruk terhadap DPR. Boleh jadi, watak anggota Dewan yang kerap berlawanan dengan kode etik itulah yang membuahkan pandangan minor atas wakil rakyat. Harapan publik agar DPR bisa terus memperbaiki kinerjanya dari tahun ke tahun tidak pernah terwujud. Ali-alih memperbaiki kinerja, para anggota Dewan banyak yang terlibat dalam perilaku dan kasus-kasus yang merendahkan martabat DPR