Dulu di Jawa Timur, saya sering nonton ludruk. Salah satu adegan yang melekat dalam ingatan saya: resep berbahasa Inggris. Cukup dengan menjawab "yes" atau "no", pasti orang segera mengira kita menguasai bahasa internasional itu. Dua kata itu ampuh untuk melayani si penanya. Semua pasti beres. Anak-anak kampung saya percaya sekali kata-kata pemain ludruk itu benar adanya. Kita harus yakin seyakin-yakinnya Setya Novanto, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat kita, tidak sedang mencoba resep ludrukan itu ketika bertemu dengan Donald Trump di New York, pekan lalu. Dalam tayangan video di YouTube, terlihat Donald Trump mengakhiri jumpa pers dalam kampanye untuk menjadi Presiden Amerika Serikat. Ia berjalan menjauhi mimbar. Tapi beberapa langkah kemudian pengusaha kondang itu kelihatan bersalaman dengan Setya Novanto, yang rupanya berdiri di baris pertama. Setya satu baris dengan gadis-gadis berpakaian seksi penyokong Trump, yang membawa poster bertulisan "Trump, make America great again" atau "The silent majority stands with Trump". Fadli Zon, Wakil Ketua DPR, dan beberapa anggota delegasi terlihat di belakang gadis-gadis itu. Adegan berikutnya benar-benar merupakan praktek "marketing" ala pemilik Trump Tower di jantung kota New York itu. Trump mengajak Setya kembali ke mimbar. Sambil meletakkan tangan di bahu Setya, pengusaha berharta US$ 6 miliar itu menyebut tamunya "amazing man", "great man", bahkan "powerful man". Ia memperkenalkan Setya sebagai "speaker of the house of Indonesia". Trump bilang Setya Novanto datang untuk bertemu dengan dia. Ketika Trump bertanya, apakah orang-orang Indonesia suka kepadanya, Setya langsung menjawab "yes". Beberapa orang Indonesia di latar belakang langsung bertepuk tangan seperti kegirangan. Di sini saya harus menyalahkan pemain ludruk yang dulu sering saya tonton itu. Siapa bilang jawaban "yes" atau "no" akan membuat semua urusan beres? Buktinya jawaban singkat Setya, "yes", itu menyulut masalah yang buntutnya panjang. Tapi bayangkan kalau Setya menjawab "no", tentu urusan akan lebih runyam. Trump akan merasa dilecehkan. Penyokongnya pasti akan marah tidak hanya kepada Setya, tapi juga kepada Indonesia. Bagaimana mungkin seorang "great man", "powerful man", menyatakan di depan umum "no" ketika ditanya, apakah orang Indonesia suka Trump? Kalau tak sanggup mengimbangi diplomasi "marketing" Trump, misalnya dengan berkelit seraya menjawab "orang Indonesia suka kepada semua orang"-tentu dalam bahasa Inggris-maka jawaban yang paling aman memang "yes". Seandainya warga negara AS ditanya "yes" atau "no" untuk memilih Trump menjadi presiden pengganti Barack Obama, barangkali jawabannya "no". Selain usianya sudah 69 tahun, Trump ini sangat kontroversial. Ia sering terlibat perselingkuhan dengan sejumlah wanita. Dia mencerca orang Meksiko, yang disebutkan masuk AS membawa obat terlarang dan kejahatan. Kalau terpilih, ia akan membangun tembok sepanjang 3.000 kilometer untuk menutup perbatasan AS dengan Meksiko. Catatan lain, Trump sudah empat kali mencalonkan diri sebagai Presiden AS dari Partai Republik dan selalu gagal. Jadi, apa yang membuat Trump ini "yes" di mata Novanto? Mungkin karena Setya mendengar Trump akan menanamkan investasi di Bali dan Lido bersama pengusaha Hary Tanoe. Sebagai pemimpin wakil rakyat, tentu Setya merasa perlu membela kepentingan semua rakyat. Tidak seperti kata pemain ludruk yang dulu saya tonton itu, jawaban "yes" Setya kelihatannya justru mendatangkan masalah besar baginya. *