Mundurnya Setya Novanto, politisi Partai Golkar, dari posisi sebagai Ketua DPR merupakan kemenangan suara rakyat. KOMPAS/PRIYOMBODOKetua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) Surahman Hidayat (kiri) bersama wakil ketua, yaitu Junimart Girsang (tengah), Sufmi Dasco Ahmad (kanan), dan Kahar Muzakir (belakang), menunjukkan surat pengunduran diri Setya Novanto sebagai Ketua DPR periode 2014-2019 seusai sidang dugaan pelanggaran etika oleh Novanto di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (16/12) malam. Sidang dinyatakan ditutup setelah MKD menerima surat pengunduran diri Novanto. Langkah politik Novanto untuk mundur sebagai Ketua DPR patut dihargai meski sebenarnya langkah itu bisa dilakukan lebih awal. Kehendak rakyat agar Novanto mundur tecermin dari suara tokoh agama, hasil jajak pendapat harian ini, dan suara di dunia maya. Presiden Joko Widodo yang sempat mengungkapkan kemarahannya juga meminta Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mendengarkan suara rakyat. Kemenangan suara rakyat juga merupakan kemenangan perjuangan nilai luhur, nilai kejujuran, melawan perjuangan untuk menggapai atau sekadar mempertahankan kekuasaan. Sistem politik yang transparan ikut menjadi faktor pendukung menangnya suara rakyat. Surat keputusan mundur Novanto disampaikan kepada pimpinan DPR setelah anggota MKD menyatakan sikap bahwa Novanto telah melanggar etika dari tingkat sedang hingga berat. Sidang MKD kemarin masih diwarnai berbagai siasat politik. Anggota MKD dari Partai Golkar yang selama ini mengambil posisi untuk membela Novanto justru menyatakan Novanto melakukan pelanggaran etika berat. Boleh jadi langkah ini dimaksudkan untuk mengambil hati rakyat, tetapi bisa juga dibaca sebenarnya untuk memperpanjang permainan politik karena harus dibentuk tim panel. Sikap politik yang tidak konsisten ini memang menimbulkan pertanyaan. Mundurnya Novanto bukan berarti masalah ini selesai. Kekosongan pimpinan DPR harus segera ditetapkan dengan komposisi baru pimpinan DPR yang bisa memulihkan citra DPR yang sedang terpuruk. Pembelaan-pembelaan yang disampaikan pimpinan DPR yang lain terhadap Novanto bisa menjadi beban DPR sebagai institusi. Biarlah proses politik internal di DPR segera memutuskan siapa yang akan memimpin DPR menggantikan Novanto. Setelah Novanto mundur, sorot publik akan mengarah kepada Kejaksaan Agung. Kejaksaan tengah menyelidiki dugaan permufakatan jahat yang melibatkan Novanto, pengusaha minyak Muhammad Riza Chalid, dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin. Penyelidikan itu juga harus dituntaskan agar publik mendapatkan gambaran kasus ini, termasuk sosok Riza Chalid yang selama ini seolah tak tersentuh. Kita bersyukur kegaduhan politik mereda setelah Novanto mundur. Kasus ini memberi pelajaran kepada anggota DPR untuk lebih menjaga perilaku politiknya sebagai wakil rakyat dengan sebutan ”yang terhormat”. Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Desember 2015, di halaman 6 dengan judul "Kemenangan Suara Rakyat".