BELUM pernah rakyat melihat Presiden Jokowi marah. Sekali ia marah, kemarahan tepat sa saran, seaspirasi de ngan kemarahan publik. Menonton tayangan itu di Metro TV, menyimak kata-katanya, nadanya, terasa negara dan bang sa ini memiliki presiden, pemimpin. Kemarahan itu mengekspresikan ketegasan, pemisah an, dan wibawa. Presiden tegas menghormati Mahkamah Kehormat an Dewan. Ia menyatakan, “Proses di MKD harus dihormati.“ Ternyata, bukan hanya proses di MKD tak patut dihormati, MKD sebagai lembaga pun tidak layak dihormati. Rakyat marah kepada MKD. Presiden Jokowi juga marah, seaspirasi dengan publik. Akan tetapi, ia tegas memisahkan penghinaan terhadap dirinya sebagai presiden dengan penghinaan terhadap presiden RI sebagai lembaga negara. Dalam hal itu Jokowi konsisten. Sampai saat ini, misalnya, ia tidak membawa ke muka hukum tabloid Obor Rakyat yang menghina dirinya pribadi semasa pilpres. “Saya tidak apa-apa disebut presiden gila, saraf, presiden koppig, tidak apa-apa. Namun, jika sudah menyangkut wibawa, mencatut meminta saham 11%, ini yang saya tidak mau, tidak mau. Ini masalah kepatutan, kepantasan, moralitas, dan itu masalah wibawa negara.“ Frasa `saya tidak mau, tidak mau' yang diulang, menunjukkan ketegasan pemimpin. Di lain segi, kemarahan Presiden menguak kebenaran dan distorsi. Yang dilakukan Sudirman Said benar. Sebelum ke MKD, ia minta petunjuk Presiden. Perkara lalu digelar di MKD, rekaman diperdengarkan dalam sidang terbuka. Sudirman ternyata bukan hanya melaksanakan petunjuk Presiden. Ia membawa pesan sangat serius, yang kemudian tampak dalam kemarahan Presiden. “Tetapi...tetapi, tidak boleh yang namanya lembaga negara dipermain-mainkan. Lembaga itu bisa kepresidenan atau lembaga negara lain,“ kata Presiden. Dua lembaga negara, kepresidenan dan DPR, memang dipermain-mainkan. Lembaga presiden dipermain-mainkan. DPR dipermain-mainkan dengan MKD bersidang tertutup, justru kala memeriksa pokok perkara, teradu Ketua DPR Setya Novanto. Kemarahan Presiden juga membuka distorsi informasi untuk publik yang dilakukan Menkopolhukam Luhut Pandjaitan terhadap Menteri ESDM Sudirman Said. Harian Kompas (20/11) menulis, selengkapnya, “Luhut mengatakan tak ada restu dari Presiden kepada Sudirman untuk membawa kasus itu ke MKD.'' “Aneh saja, kenapa Sudirman melaporkan itu ke MKD. Tanyakan saja kepada dia,“ katanya. Luhut juga menegaskan, ``pemerintah tak ingin memperpanjang pencatutan nama ini.“ Pemerintah mana yang dimaksud Luhut? Presi den Jokowi, yang memimpin pemerintah RI yang sah, nyatanya marah lembaga kepresidenan dicatut. Menko Polhukam Jenderal (Purn) Luhut Pandjaitan mestinya minta maaf kepada koleganya, Menteri ESDM Sudirman Said, karena telah menilai perbuatan melaporkan ke MKD sebagai an act of insubordination to the President (The Jakarta Post, 19/11). Bukankah insubordinasi merupakan pelanggaran serius dalam militer? MKD memang sejak awal didesain lebih untuk melindungi diri sendiri, anggota DPR. Kalau anggota DPR saja dilindungi, terlebih Ketua DPR. Baiklah pula diingat, Ketua DPR Setya Novanto hanya dihukum ringan karena bertemu bakal calon presiden AS Donald Trump, yang sekarang dipersoalkan sebagai penebar kebencian terhadap Islam. Di mata publik, moral MKD sudah bangkrut.Publik tinggal berharap pada Kejaksaan Agung membawa kasus ke pengadilan. Publik akan senang karena pengadilan pasti terbuka.