Tak cukup hanya marah, Presiden harus memastikan Kejaksaan Agung dan Polri bergerak cepat menangani kasus itu di jalur pidana. Silakan tanggapi Editorial ini melalui: http://www.metrotvnews.com KERAGUAN akan profesionalisme Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR dalam menyelesaikan kasus `papa minta saham' menemukan pembenaran. Keraguan itu telah menjelma menjadi ketidakpercayaan, bahkan kemarahan. Tak cuma rakyat, Presiden pun ikut marah. Anomali sungguh mengakrabi sebagian besar pemimpin dan anggota MKD. Mereka duduk di lembaga mulia, sapaan mereka pun `yang mulia', tetapi tabiat dan perilaku jauh dari mulia. Mereka mengemban misi suci sebagai penjaga dan penegak keluhuran martabat DPR sebagai wakil rakyat, tetapi sepak terjang dalam menangani kasus `papa minta saham' justru membuat rakyat antipati. Antipati itu mencapai titik kulminasi pada Senin (7/12) ketika MKD melanjutkan sidang dengan agenda pemeriksaan terhadap Ketua DPR Setya Novanto sebagai teradu. Di situlah rakyat marah karena MKD malah kompromistis dan memenuhi semua kemauan Novanto. Mereka oke-oke saja ketika Novanto meminta sidang ditunda dari pagi menjadi siang hari. Mereka oke-oke saja ketika Novanto menghendaki sidang dilakukan tertutup, beda ketimbang dua sidang sebelumnya tatkala Menteri ESDM Sudirman Said dimintai keterangan sebagai pengadu dan Presdir PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin sebagai saksi. Lebih dari itu, sidang terhadap Novanto tak lebih dari ajang bagi yang bersangkutan menyampaikan eksepsi. Bukannya mencecar habis-habisan untuk menggali klarifikasi terkait dengan rekam an `papa minta saham', MKD malah memberikan panggung seluas-luasnya bagi Novanto untuk membela diri. Kisah memilukan dan memalukan itulah yang juga ikut memantik kemarahan Presiden Joko Widodo. Kemarahan yang terpendam setelah ia membaca transkrip rekaman yang isinya mencatut namanya dan Wapres Jusuf Kalla terkait dengan pembagian saham PT Freeport itu pun meletup. Freeport itu pun meletup. Jokowi, jelas Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki, sebenarnya ingin menunggu dan menghormati proses yang berjalan di MKD. “Tetapi ketika sidang yang menghadirkan Setya Novanto justru digelar secara tertutup, beliau marah,“ ucap Teten. Seorang presiden wajib mengelola emosi sebaik mungkin.Ia tak boleh gampang marah, tapi harus marah ketika ada yang mempermainkan negara atau lembaga negara. Artinya, meski Jokowi tak peduli ketika diolok-olok, disebut presiden gila, presiden saraf, presiden koppig, kali ini ia pantas marah lantaran Setya Novanto dan pengusaha minyak Riza Chalid telah mengusik wibawa kepresidenan. Jika dipandang dari segala sisi, bermufakat mencatut nama presiden dan wapres demi memperoleh saham perusahaan ialah tindakan yang tak patut, tak pantas, tak beretika. Lebih tidak patut lagi ketika MKD yang mengadili dugaan pelanggaran etik itu juga tak beretika. Etika mana yang jadi anutan ketika mereka malah memperlakukan pengadu dan saksi seperti pesakitan saat sidang? Etika mana yang menjadi landasan ketika mereka justru membela habis-habisan teradu? Kemarahan Presiden Jokowi ialah kemarahan rakyat. Ia menjadi penegas bahwa MKD kian menjauh dari harapan rakyat agar Novanto ditindak tegas. Kemarahan itu sekaligus mengonfirmasikan bahwa langkah Sudirman Said melaporkan perkara tersebut ke MKD atas restu Presiden. Bukan seperti yang diucapkan Menko Polhukam Luhut Pandjaitan bahwa Sudirman Said melangkah sendirian. Harus kita katakan, MKD kini telah menjadi `musuh bersama'. Ia tak lagi dipercaya rakyat. Tinggal tangan hukum yang layak dijadikan tumpuan asa keadilan. Karena itu, tak cukup hanya marah, Presiden harus memastikan Kejaksaan Agung dan Polri bergerak cepat menangani kasus itu di jalur pidana.   URL http://www.metrotvnews.com