JAKARTA, KOMPAS — Kejaksaan Agung akan memanggil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto untuk dimintai keterangan terkait dengan penyelidikan kasus dugaan permufakatan jahat dan percobaan korupsi dalam perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia. KOMPAS/LASTI KURNIAGenerasi Muda Partai Golkar, yang diwakili antara lain Ketua DPP Partai Golkar hasil Munas Bali Ahmad Doli Kurnia (kedua kiri), Ketua DPP Partai Golkar hasil Munas Jakarta Ace Hasan Syadzily (kanan), dan pengurus lainnya, Rabu (9/12), menyampaikan pernyataan sikap dan mendesak kader Partai Golkar, Setya Novanto, mundur dari jabatannya sebagai Ketua DPR. Mereka menilai, sikap Setya Novanto dalam kasus rekaman PT Frreport Indonesia telah merusak citra Partai Golkar di mata masyarakat. Sementara itu, Rabu (9/12), Novanto melalui kuasa hukumnya, Firman Wijaya, melaporkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said ke Badan Reserse Kriminal Polri atas dugaan pencemaran nama baik/fitnah dan pelanggaran informasi. Sinyal tentang pemanggilan Novanto disampaikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Arminsyah. "Kuncinya sudah didapat dari keterangan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia (FI) Maroef Sjamsoeddin, tetapi pihak lain yang ada dalam rekaman tersebut juga perlu dimintai keterangan," ujarnya. Sejauh ini, Kejagung baru meminta keterangan dari Maroef dan Sudirman. Mengacu pada rekaman pembicaraan 8 Juni 2015, Kejagung masih memerlukan keterangan dari pengusaha Muhammad Riza Chalid dan Novanto. Rekaman itu berisi pembicaraan mengenai permintaan saham ke PT FI dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. "(Riza) sudah diundang Senin lalu, tapi tidak hadir. Kami akan berupaya dan bekerja sama dengan intelijen kami untuk mencari yang bersangkutan," kata Arminsyah Kepala Polri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti menyatakan, pihaknya siap meminta bantuan Interpol untuk memanggil Riza yang saat ini berada di luar negeri. Itu akan dilakukan jika sudah ada permintaan resmi. Namun, Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal I Ketut Untung Yoga Anna menyatakan, pemanggilan itu hanya bersifat personal karena Riza masih berstatus sebagai saksi. "Kalau sudah tersangka, baru kami bisa ajukan red notice kepada Interpol untuk dijadikan salah satu daftar pencarian orang," katanya. Hormati hukum Terkait dengan pelaporan ke Bareskrim, Firman mengatakan, pihaknya merasa perlu melakukan langkah serius atas tuduhan pencatutan nama yang dilontarkan Sudirman. Sudirman dianggap telah menyebarkan prasangka buruk yang merugikan Novanto melalui opini yang beredar di media. Menurut Firman, upaya hukum (pelaporan) ditempuh demi menghindari spekulasi atas pihak yang benar atau salah dalam kasus itu. Langkah itu juga sebagai bentuk Novanto menghormati instansi penegak hukum. Laporan itu disertai dengan penyerahan bukti kepada penyidik berupa pemberitaan di media. MKD tak serius Sementara itu, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang tengah menyelidiki dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Novanto dinilai tak serius. Hingga kemarin, MKD belum juga mengeluarkan putusan ada atau tidaknya pelanggaran etika oleh Novanto. Anggota MKD dari Fraksi Partai Nasdem, Akbar Faizal, pesimistis perkara tersebut dapat diselesaikan sebelum masa sidang berakhir 18 Desember. Padahal, sebelumnya MKD menargetkan perkara dugaan pelanggaran etik Novanto bisa diselesaikan pada masa sidang ini. MKD terkesan mengulur-ulur waktu. Rapat Pleno MKD, Senin (7/12) malam, memutuskan untuk meminta rekaman pembicaraan asli ke Kejagung. Namun, hingga kemarin MKD belum juga mengajukan permintaan resmi ke Kejagung. Wakil Ketua MKD Sufmi Dasco Ahmad saat dikonfirmasi mengatakan, pihaknya akan meminta alat bukti rekaman asli pada Kamis ini. Terkait dengan hal itu, Jaksa Agung HM Prasetyo menyatakan, pihaknya tidak menghalangi MKD jika ingin meminta rekaman yang diserahkan Maroef Sjamsoeddin. Hanya saja, MKD diminta menempuh prosedur resmi, yaitu mengajukan surat tertulis yang disertai alasan yang jelas. Meski akan membuka akses, Prasetyo mempertanyakan keperluan MKD meminta rekaman. "Kan, semuanya sudah bersaksi. Untuk apa lagi rekaman itu. MKD, kan, masalah etika, sedangkan penegakan hukum itu kebenaran material yang dipermasalahkan, butuh bukti. Saat ini, rekaman ini menjadi salah satu bukti," ujar Prasetyo. Terkait dijadikannya rekaman sebagai alat bukti, kuasa hukum Novanto, Firman, keberatan. "Pak SN sudah menjelaskan bahwa itu rekaman ilegal sehingga sulit diterima kebenarannya, apalagi sampai diterima sebagai alat bukti," ujarnya. (SAN/NTA/AGE/IAN) Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Desember 2015, di halaman 2 dengan judul "Kejagung Panggil Setya".