ADA persoalan serius, sangat serius, yang menerpa negeri ini. Persoalan itu ialah tidak hadirnya pemimpin berkualitas negarawan. Pemimpin yang ada, pada umumnya, hanya sibuk kasak-kusuk merebut dan mempertahankan kekuasaan, kadang dengan segala cara. Kasus megaskandal `papa minta saham' yang diduga melibatkan Ketua DPR Setya Novanto adalah contoh terangbenderang soal kasak-kusuk mempertahankan kekuasaan.Desakan agar Novanto mundur dari jabatan Ketua DPR dianggap sebagai angin lalu saja. Masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Akan tetapi, di tengah bangsa ini mengalami deflasi pemimpin yang haus kekuasaan, meski penolakan publik kian masif, masih ada orang yang patut dicontoh. Dicontoh karena kala merasa gagal mengemban tugas, ia sukarela menanggalkan jabatan. Contoh itulah yang diperihatkan Direktur Jenderal Pajak Sigit Priadi Pramudito. Ia mengundurkan diri dari jabatannya per Rabu, 2 Desember 2015. Alasannya, realisasi penerimaan pajak jauh dari target. Kita mengapresiasi sikap Sigit Priadi Pramudito. Sama sekali tidak ada orang yang menyuruh dia mundur. Ia menjadi dirjen pajak bukan karena ditugaskan, melainkan melamar melalui lelang terbuka jabatan. Pengunduran diri itu merupakan bentuk tanggung jawab saat target tidak tercapai. Tidaklah berlebihan bila ada yang menyebut pengunduran diri Sigit Priadi Pramudito sebuah tamparan bagi Novanto yang tetap ngotot mempertahankan jabatannya. Sigit telah memberi pelajaran sangat berharga bagi Novanto. Pengunduran diri bagi pejabat mestinya bukan sesuatu yang luar biasa. Peri hal pengunduran diri itu sudah termaktub dalam etika kehidupan berbangsa sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPR Nomor VI Tahun 2001 yang masih berlaku hingga saat ini. Terkait etika pemerintahan diamanatkan agar penyelenggara negara siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara. Itu artinya, pengunduran diri tidak mesti menunggu keputusan pengadilan berkuatan hukum tetap, juga tidak perlu menunggu hasil sidang MKD. Seandainya Setya Novanto merupakan penyelenggara negara yang mengedepankan etika, dan punya rasa malu, tentu ia sukarela mengundurkan diri saat ini juga. Sebab, modus `papa minta saham' yang dibicarakan secara terbuka dalam sidang MKD, kemarin, disiarkan langsung televisi. Sidang itu mendengarkan keterangan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said sebagai pengadu. Setya Novanto memang tidak pernah langsung mengungkapkan soal permintaan saham saat dia bersama pengusaha minyak Riza Chalid bertemu dengan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin. Namun, kata Sudirman, “Kalau didengar rekamannya secara utuh, meski yang mengatakan (minta saham) Pak Riza, tetapi yang mengondisikan, merespons, dan memberikan penekanan-penekanan adalah Pak SN (Setya Novanto).“ Pertemuan yang disebut Kejaksaan Agung sebagai permufakatan jahat itu menjadi alasan kuat untuk Novanto mundur. Elok nian bila Novanto belajar dari Sigit Priadi Pramudito. Pejabat yang tak becus memenuhi aspirasi rakyat, minggir saja dari jabatan, sebelum dipinggirkan secara paksa. Sukarela mundur tentu lebih bermartabat daripada dipaksa mundur.   URL http://www.metrotvnews.com