Penambahan posisi Wakil Ketua DPR dan MPR dari PDIP lewat revisi Undang-undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dapat membuat pemerintah bekerja lebih tenang. “Sebetulnya konteksnya bagaimana menjaga keseimbangan dan stabilitas politik pimpinan DPR jadi sangat penting. Terutama eksekutif karena kalau tidak seirama akan selalu menimbulkan konflik atau bisa juga perjalanan roda pemerintahan terganggu,” jelas koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang, di Jakarta, kemarin. Hanya, Sebastian menyayangkan cara-cara yang digunakan di DPR dalam proses perombakan pimpinan DPR. Harmonisasi UU MD3 di Badan Legislasi DPR jelas memperlihatkan kepentingan yang bersilangan antarparpol. Misalnya, Golkar berkepentingan agar Novanto, yang merupakan ketua umum mereka, kembali ke Ketua DPR. PDIP kemudian memanfaatkannya agar dapat memperoleh posisi Wakil Ketua DPR-MPR. PKS pun mengambil manfaatnya dengan meminta kembali kursi pimpinan MKD. “Karena itu sih kita tidak berharap banyak perubahan itu akan membawa perubahan lebih baik. Ini perubahan (UU MD3) suka-suka, akomodasi kepentingan mereka saja,” ucap Sebastian. Anggota DPR Fraksi NasDem Taufiqulhadi mengatakan Fraksi NasDem tidak sepakat bila revisi UU MD3 dilakukan hanya terbatas, sekadar menambah satu kursi pimpinan di lembaga legislatif. “Lebih baik dari awal sebelum habis periode ini, maka sebaiknya kita lakukan perubahan UU MD3 dengan mengembalikan posisi pemilu bahwa parpol pemenang menjadi Ketua DPR. Sekarang ada Ketua DPR bukan dari parpol pemenang, itu anomali demokrasi,” terangnya, kemarin. Ia menyampaikan seharusnya semua fraksi di DPR berpikir bagaimana cara mengembalikan posisi tersebut. “Kalau dikembalikan kursi (ke pemenang pemilu), tidak perlu ditambah (kursi pimpinan). Partai pemenang pemilu langsung menjadi Ketua DPR dan semua AKD (alat kelengkapan dewan) yang lain mengikuti itu, jadi tidak ada penambahan-penambahan,” jelasnya. (Kim/Nur/P-4)